Yi Yuen lantas memejamkan matanya dan menangis dalam diam. Wajah kedua orangtuanya dan wajah sang kekasih terlihat begitu nyata. Rasanya, itu bukanlah suatu mimpi hingga membuatnya enggan untuk meninggalkan mereka.
Dewi Bulan yang baru saja datang lantas mendekatinya dan menggenggam tangannya. “Cucuku, syukurlah kamu sudah siuman. Nenek dan kakek sangat mengkhawatirkanmu.”
Melihat Yi Yuen menangis, Dewi Bulan lantas menyeka air mata gadis itu. “Cucuku, apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis seperti itu?”
Yi Yuen hanya diam dan menatap lekat wajah neneknya itu. Perlahan, dia berusaha untuk duduk dan dibantu oleh Dewi Bulan. Sambil bersandar, Yi Yuen tersenyum di antara air matanya.
“Aku bermimpi bertemu dengan ayah dan ibu. Aku ingin tetap tinggal bersama mereka, tapi mereka memintaku untuk kembali. Nenek, aku sangat merindukan mereka.”
Tangis Yi Yuen pecah hingga membuat Dewi Bulan memeluknya. Dengan lembut, wanita itu mengelus punggung Yi Yuen sekadar untuk menenangkan gadis itu. “Menangislah, cucuku. Menangislah.”
Di dalam pelukan Dewi Bulan, Yi Yuen menangis menumpahkan rasa sedih atas kerinduan pada orangtuanya. Tak hanya dirinya, Dewi Bulan juga merasakan kesedihan yang sama. Kesedihan atas perpisahan dengan buah hatinya.
Di dalam pelukan Dewi Bulan, Yi Yuen merasa lebih tenang. Walau sedih, tapi dia harus bisa menerima kenyataan dan melanjutkan jalan takdirnya sesuai yang dipesankan kedua orangtuanya.
“Cucuku, Nenek tahu kamu masih sedih atas kepergian ayah dan ibumu, tapi kamu harus bisa menerima takdirmu itu. Jalanmu masih panjang dan ada orang-orang yang sangat menyayangimu. Apa kamu tidak menyayangi kakek dan nenekmu ini? Atau, kamu sudah tidak lagi peduli dengan sahabat-sahabatmu?”
Mendengar ucapan Dewi Bulan, Yi Yuen mengeratkan pelukananya. Dia mulai menyadari kebenaran atas ucapan neneknya itu. Sejenak, dia tersenyum dan perlahan melepaskan pelukannya. “Maafkan aku, Nek, karena sudah membuatmu khawatir. Tentu saja aku menyayangi kalian dan bahagia karena aku masih memiliki kalian yang selalu ada di sisiku. Aku juga peduli dan menyayangi sahabat-sahabatku. Karena itu, aku tidak akan menangis lagi. Aku akan menyimpan kenangan ayah dan ibu di dalam hatiku karena itulah yang mereka harapkan dariku. Aku tidak akan mengecewakan mereka.”
Yi Yuen berusaha tegar dengan seuntai senyum yang terlihat di bibirnya walau hatinya selalu luluh jika mengingat kedua orangtuanya. Namun, itulah tekad yang sudah dia tanamkan di dalam hatinya. Dia harus kuat dan melanjutkan jalan hidupnya.
Kondisi tubuh Yi Yuen yang lemah berangsur membaik. Perhatian dan kasih sayang begitu tercurah untuknya dari kakek dan neneknya. Mereka begitu perhatian hingga membuat Yi Yuen semakin menyayangi mereka.
Waktu berlalu hampir sebulan lamanya dan Yi Yuen masih berada di Istana Khayangan. Sementara semua sahabatnya terlihat begitu gusar karena tidak mendapat kabar dari gadis itu.
“Ling, tenanglah. Yakinlah kalau Yi Yuen di sana baik-baik saja,” ucap Kangjian yang mencoba menenangkan gadis itu.
Ling yang terlihat khawatir hanya bisa mengangguk pasrah. Sudah sebulan ini dia terus memikirkan Yi Yuen yang sama sekali tidak terdengar kabar berita. Dia begitu khawatir jika gadis yang bersamanya sejak masih bayi itu benar-benar tidak akan kembali lagi bersamanya.
Yi Yuen yang mulai pulih tampak duduk di ruangan ayahnya. Sudah sebulan dia berada di Istana Khayangan dan dia sudah memutuskan untuk meninggalkan tempat itu dan memilih tinggal di alam manusia.
“Cucuku, apa keputusanmu itu tidak bisa diubah? Apa kamu ingin meninggalkan kami?” tanya Dewi Bulan yang kini duduk di sampingnya. Begitupun dengan Dewa Kebijaksanaan yang duduk di samping istrinya itu.
“Istriku, tenanglah. Kita dengarkan dulu alasan Yi Yuen,” ucap Dewa Kebijaksanaan yang terlihat lebih tenang.
Yi Yuen tersenyum dan menggenggam tangan pasangan suami istri itu. “Kakek, Nenek, maafkan aku. Aku sudah memikirkan masak-masak dan keputusanku sudah bulat. Aku akan meninggalkan Istana Khayangan dan memilih hidup di alam manusia, tapi itu bukan berarti aku akan melupakan kalian. Aku akan mengunjungi kalian karena aku sangat menyayangi kalian.”
Yi Yuen tersenyum dan memeluk Dewi Bulan yang hanya bisa pasrah menerima keputusan cucunya itu. “Baiklah jika itu maumu. Kami akan menerima keputusanmu itu,” ucap Dewi Bulan yang terlihat sedih.
Saat itu juga, Yi Yuen mengadakan pertemuan di aula Istana Khayangan. Suasana Istana yang mulai kembali tenteram membuat Yi Yuen memilih untuk meninggalkan tempat itu dan menyerahkan tampuk kepemimpinan pada kakeknya, Dewa Kebijaksanaan. Para dewa dewi dan semua penghuni Istana Khayangan tak menolak saat Yi Yuen menyerahkan kekuatan putih pada kakeknya itu.
“Kakek, kekuatan putih layak berada di tanganmu. Tidak ada yang sebegitu peduli dengan istana ini kecuali dirimu. Kakek yang lebih pantas memimpin istana ini.”
Cahaya putih sebesar mutiara kini diserahkan pada Dewa Kebijaksanaan. Lelaki itu telah dipercaya untuk melindungi Istana Khayangan dan dia tidak menolak karena tidak ada satu pun yang bersedia menggantikannya.
“Cucuku, sering-seringlah datang mengunjungi kami. Hanya kamu keluarga kami dan jika butuh bantuan, jangan sungkan untuk meminta pada kami. Cucuku, jagalah dirimu baik-baik dan ingatlah kalau kamu tidak sendiri. Istana Khayangan adalah rumahmu dan kapan saja pintu langit akan selalu terbuka untukmu,” ucap Dewa Kebijaksanaan saat mengantar Yi Yuen menuju pintu langit.
Yi Yuen mengangguk dan tersenyum pada kakek dan neneknya itu. “Aku akan selalu ingat pesan kalian. Aku menyayangi kalian.”
Yi Yuen lantas memeluk mereka silih berganti. Setelah itu, Yi Yuen kemudian pamit undur diri dan pergi dengan senyum yang terlihat di wajahnya. Dengan sekelebat, Yi Yuen menghilang dan pergi menuju bumi.
Di atas tebing, Yi Yuen berdiri sambil memandang hamparan hijau yang menyejukkan matanya. Tak hanya itu, kicauan burung yang beterbangan membuatnya tersenyum saat menyaksikan kumpulan hewan bersayap itu membentuk satu formasi yang indah. Ditambah dengan embusan angin yang bertiup lembut hingga membuat Yi Yuen enggan meninggalkan tempat itu. Tempat di mana dia pernah menyaksikan keindahan yang sama dengan seseorang yang tak bisa hilang dari hatinya.
Setelah puas menyaksikan keindahan tempat itu, Yi Yuen kemudian pergi. Gadis itu bermaksud mengunjungi gubuk Zhang Bingjie di Gunung Taishan. Dia ingin mengunjungi tempat itu sebelum dia menemui sahabat-sahabatnya.
Di depan halaman, langkah Yi Yeun terhenti saat melihat kepulan asap yang terlihat mengepul dari arah ruang dapur. Seketika, dia tersenyum saat melihat Kangjian yang baru saja datang sambil membawa beberapa ekor ikan di tangannya. Wajah pemuda itu terlihat bahagia saat melihat sahabat yang sudah membuatnya menanggung rasa kekhawatiran.
Pemuda itu lantas berlari dan mendekati Yi Yuen yang hanya tersenyum. “Nona, aku tahu kamu pasti akan datang. Ayo, Ling pasti bahagia saat melihatmu.”
Benar saja, saat melihat Yi Yuen, Ling terlihat bahagia dengan air mata yang tidak mampu dia tahan. Gadis itu menangis karena sahabatnya itu telah kembali.
“Kalian kenapa bisa ada di sini? Apa kalian sengaja menungguku di tempat ini?”
“Iya, Nona. Kami sangat khawatir padamu. Karena itu, setiap hari kami datang ke sini untuk menunggumu dan berharap kita akan bertemu di tempat ini,” jelas Kangjian yang membuat Yi Yuen tersenyum.
“Bibi, jangan menangis lagi. Aku sudah kembali dan semuanya sudah berakhir. Sekarang, kita akan kembali tinggal bersama. Aku bermaksud untuk kembali membuka kedai kita dan mengobati orang-orang yang membutuhkan bantuan kita. Apa kalian juga mau ikut tinggal bersamaku?”
Ling dan Kangjian mengangguk serempak tanda setuju. Wajah mereka terlihat bahagia saat Yi Yuen mengajak mereka tinggal bersama. Setelah menikmati kebersamaan di tempat itu, mereka akhirnya kembali ke kedai.
Kondisi kedai yang tampak tak terurus kini mulai diperbaiki. Berkat bantuan Pangeran Muda yang memerintahkan orang pekerja untuk memperbaiki kedai itu, akhirnya dalam waktu singkat kedai itu sudah kembali bisa ditempati.
Suatu malam, kelima sahabat itu tengah duduk di halaman kedai. Mereka terlihat akrab sambil menikmati aneka kudapan dan arak yang tidak terlalu memabukkan.
“Yi Yuen, kenapa kamu tidak menerima tawaranku untuk menjadi tabib istana? Dengan begitu, kamu bisa tinggal di kerajaan bersamaku,” ucap Pangeran Muda yang sedikit kecewa dengan penolakan Yi Yuen.
“Maafkan aku. Hanya saja aku ingin melanjutkan perjuangan ibuku. Aku sudah berjanji padanya untuk membantu siapa saja yang membutuhkan pertolonganku. Lagipula, Pangeran Muda bisa datang mengunjungiku kapan saja. Pintu kedai ini selalu terbuka untukmu.”
Mendengar jawaban Yi Yuen, pemuda itu hanya bisa tersenyum walau itu senyuman yang dipaksakan. Walau sesungguhnya, ada sesuatu alasan dibalik permintaannya itu. Alasan yang tidak mungkin dia utarakan karena khawatir akan kembali mendapat penolakan.
Walau hati kecilnya sulit melupakan Yi Yuen, tapi sejak mengetahui kalau gadis itu bukanlah manusia biasa, Pangeran Muda perlahan mulai mengerti. Dia tidak mungkin memaksa perasaannya karena dia sadar suatu saat dirinya pasti akan mati dan meninggalkan gadis itu yang memiliki kehidupan yang abadi.
Ya, Yi Yuen memiliki kehidupan yang abadi. Kehidupan yang akan dijalaninya hingga takdir kembali memanggilnya. Dan selama itu, dia harus menyaksikan semua sahabat-sahabatnya pergi. Satu persatu sahabatnya telah kembali ke nirwana dan hanya bersama Ling, dia mengarungi kehidupan dan menjalaninya dengan selalu membantu siapa pun yang membutuhkan.
Pangeran Muda yang sudah menikah dan mempunyai keturunan telah meninggalkan istana dan penduduknya dengan kehidupan yang aman dan tenteram. Wang Wei juga telah menghabiskan masa tuanya bersama keluarga kecilnya hingga wafat dalam kebersamaan sebuah keluarga yang bahagia. Sementara Kangjian begitu setia mendampingi Yi Yuen hingga membuatnya enggan untuk menikah. Pemuda itu telah menghabiskan masa tuanya di kedai dan menjadi sosok sahabat dan juga ayah bagi Yi Yuen.
Dan kini, sudah tiga abad berlalu. Yi Yuen dan Ling telah mendiami Gunung Taishan sejak Yi Yuen memutuskan untuk tinggal jauh dari hiruk pikuk kota. Kedai tempatnya tinggal dulu kini telah menjadi pusat kota karena terkikis perubahan zaman. Dia ingin hidup lebih dekat dengan alam walau tak sedikit penduduk yang datang mencarinya di gunung itu.
Yi Yuen juga tak jarang mengunjungi kakek dan neneknya yang telah menjadi penguasa Istana Khayangan. Di tangan mereka, penghuni Istana Khayangan lebih merasa nyaman dan tenteram. Walau sudah diajak untuk menetap di Istana Khayangan, nyatanya Yi Yuen lebih memilih untuk tetap tinggal di bumi.
“Cucuku, kenapa kamu selalu menolak jika kami mengajakmu tinggal di Istana Khayangan? Apa ada sesuatu yang membuatmu enggan untuk tinggal di sini?” tanya Dewi Bulan yang penasaran dengan penolakan cucunya itu.
Yi Yuen hanya tersenyum pada wanita itu. “Nenek, maafkan aku. Ada alasan kenapa aku memilih tinggal di bumi. Aku hanya ingin bertemu dengan ayah dan ibu. Mereka telah berjanji padaku kalau suatu saat nanti, kami akan bertemu. Karena itu, aku akan menunggu mereka, tak peduli berapa lama kehidupan yang harus aku lalui. Setidaknya, aku ingin melihat senyum dan tawa mereka.”
Dewi Bulan lantas memeluk Yi Yuen dan mengelus punggunya lembut. “Jika itu yang kamu inginkan, Nenek tidak akan memaksamu lagi. Semoga saja, keinginanmu itu akan segera terwujud.”
Yi Yuen masih bersabar dan menunggu saat itu tiba. Selama ratusan tahun, dia masih tetap bersabar. Kehidupan yang kini telah berubah membuatnya mengikuti perputaran zaman. Kini, tidak ada lagi pemerintahan dari sebuah kerajaan. Tak ada lagi orang-orang yang berlalu lalang dengan menunggangi kuda. Tak ada lagi penerangan dari obor dan pelita. Semua telah berubah menjadi kehidupan metropolitan yang penuh hura-hura. Gaya berpakaian yang dulu tertutup kini telah berubah mengikuti fashion yang sangat jauh berbeda. Begitupun dengan rumah-rumah sederhana beratap jerami, telah berganti menjadi rumah beton dengan bertingkat-tingkat.
Dan, di sebuah rumah yang cukup mewah, Yi Yuen tengah bersiap-siap bersama Ling yang berdiri di sampingnya.
Penampilan kedua gadis itu sangat jauh berbeda. Mereka terlihat cantik dengan balutan gaun berwarna peach dengan belahan bagian samping sebatas lutut hingga memperlihatkan betis yang putih dan mulus. Rambut panjang sepunggung milik Yi Yuen dibiarkan terurai hingga membuatnya terlihat semakin feminim.
Pemilik rumah yang pernah memakai jasa mereka untuk mengusir roh jahat di rumah itu telah mengundang mereka untuk menghadiri acara di rumah tersebut. Yi Yuen dan Ling sudah dikenal sebagai dua wanita yang memiliki kemampuan khusus. Mereka sering diminta untuk mengusir roh atau siluman yang menempati suatu bangunan atau untuk mengusir gangguan makhluk halus. Karena itu, mereka diundang untuk menghadiri acara yang dibuat sang empunya rumah.
Yi Yuen lantas masuk ke dalam rumah mewah yang sudah ramai dengan kehadiran para tamu. Terlihat mobil-mobil mewah yang terparkir di halaman rumah yang cukup besar. Hingga mereka tiba di dalam sebuah ruangan yang sudah penuh dengan para tamu yang sedang menikmati alunan musik klasik dan hidangan yang tertata rapi di atas meja.
Melihat kedatangan mereka, sontak membuat semua orang yang ada di tempat itu menatap dengan takjub. Mereka begitu mengagumi kecantikan dua wanita yang bagi mereka memiliki kecantikan bak seorang dewi.
Sang empunya rumah lantas mendekati mereka dan mempersilakan mereka untuk duduk di sebuah meja yang sudah disiapkan. Kedua gadis itu lantas duduk dan memerhatikan sekitar tempat itu.
“Rumah ini sudah aman. Tidak ada makhluk halus yang berani muncul di rumah ini lagi,” ucap Ling setelah memerhatikan tempat itu dengan penglihatan gaibnya.
“Baguslah, setidaknya mereka sudah aman dari gangguan makhluk-makhluk itu,” ucap Yi Yuen sambil meneguk segelas anggur.
Yi Yuen terlihat begitu anggun hingga menarik perhatian beberapa pemuda yang tak lepas dari pandangan mereka. Pemuda-pemuda itu begitu terpikat dengan kecantikan Yi Yuen yang begitu sempurna. Namun, gadis itu sama sekali tidak terpengaruh dan terlihat acuh.
“Dewi, apa sebaiknya kita pergi saja dari sini? Aku tidak tahan melihat mereka yang terus memandangimu. Aku bisa saja mencolok mata mereka dan … ”
“Biarkan saja, toh mereka hanya memandangiku. Lagipula, aku sama sekali tidak tertarik pada mereka. Ayo, kita bersulang.”
Kedua gadis itu lantas bersulang dan mencoba menikmati acara yang disuguhkan. Hingga Yi Yuen terkejut saat melihat sepasang suami istri yang baru saja datang. Yi Yuen terkejut hingga membuatnya bangkit dari tempat duduknya.
“Mereka … ”
Yi Yuen tertegun saat melihat sepasang suami istri yang terlihat begitu mesra. Keduanya saling bergandengan tangan dan tak ingin saling berjauhan. Suami istri yang terlihat serasi itu sepintas memandangi Yi Yuen. Sejenak, mereka tertegun beberapa saat dan akhirnya tersenyum ke arah gadis itu. Yi Yuen lantas membalas senyuman mereka dan menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat.
Tanpa sadar, Yi Yuen menitikkan air mata saat melihat wajah mereka. Setidaknya, di kehidupan ini mereka masih tetap bersama. Ling yang menyadari itu lantas menggenggam tangan Yi Yuen sekadar untuk menguatkannya.
“Dewi, mereka selalu berjodoh dan itu artinya mereka tidak akan pernah terpisahkan. Mulai sekarang, jangan khawatirkan mereka lagi karena mereka telah bahagia.”
Yi Yuen mengangguk dan menghapus air matanya. Benar, dia sudah harus bisa menerima takdir mereka. Walau di setiap kehidupan mereka bertemu sebagai orang yang tak saling mengenal, tapi itu sudah cukup bagi Yi Yuen. Dia sudah cukup bahagia walau harus melihat mereka dari jauh.
“Ayo, kita pulang.”
Yi Yuen kemudian bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju halaman rumah di mana sebuah mobil mewah miliknya sedang terparkir. Hingga tiba di depan mobil, langkah mereka terhenti saat empat orang pemuda datang menghampiri mereka.
“Hei, gadis cantik! Jangan pergi dulu dan temani kami sebentar. Aku yakin kalian tidak akan rugi jika menemani kami malam ini,” ucap salah satu pemuda yang menatap Yi Yuen tajam.
“Pergilah! Jangan ganggu kami!” Ling berusaha bersabar walau kedua tangannya sudah mengepal.
“Ayolah, jangan jual mahal. Katakan saja berapa yang harus kami bayar agar kalian bisa menemani kami.”
Dengan geram, Ling lantas menampar pemuda itu. Tak terima ditampar, keempat pemuda itu semakin berani dan mengepung kedua gadis itu.
“Hei, kalian! Apa hanya itu yang bisa kalian lakukan?”
Tiba-tiba saja, seorang pemuda telah berdiri menatap mereka. Seketika, Yi Yuen terkejut hingga membuatnya tidak menyadari kalau salah satu pemuda berniat menamparnya.
Tak di nyana, pemuda itu kemudian berlari dan meraih tubuh Yi Yuen yang kini dalam pelukannya. Yi Yuen tak berkutik saat pemuda itu menatapnya. “Apa kamu tidak apa-apa?”
Yi Yuen mengangguk dan menatap wajah yang selama ini begitu dia rindukan. Wajah sang kekasih yang sudah lama ingin dilihatnya.
Pemuda itu lantas menghajar keempat pemuda yang berusaha memukulnya. Kecakapan pemuda itu dalam bertarung nyatanya masih sama seperti dulu. Bahkan, dengan mudah dia membuat keempat pemuda itu terkapar sambil memegang wajah mereka yang babak belur.
Seorang wanita tampak berlari saat melihat empat orang pemuda yang kini sudah terkapar dan mendekati pemuda yang menghajar mereka.
“Putraku, ada apa ini? Kenapa kamu menghajar mereka? Bukankah Ibu sudah pernah bilang untuk tidak menghajar orang sembarangan?”
Yi Yuen kini menatap wanita itu dan juga pemuda yang ternyata adalah anaknya. “Ibu, apa Qiang sekarang menjadi putramu?” batin Yi Yuen sambil menunduk menahan air mata.
“Qiang, ada apa ini?” Seorang lelaki dengan wibawa mendekati pemuda itu.
“Maafkan aku, Yah. Tapi, mereka sudah mengganggu kedua gadis itu. Apa aku akan diam saja bila melihat kedua gadis itu diganggu?”
Lelaki itu hanya bisa menepuk pundak anaknya dan mengerti dengan sikapnya itu.
“Nak, kamu tidak apa-apa, kan?” tanya wanita itu sambil menatap wajah Yi Yuen. “Apa ada yang sakit? Nak, kenapa kamu menangis?” Wanita itu tampak panik saat melihat Yi Yuen menangis. Spontan, wanita itu lantas memeluknya hingga membuat Yi Yuen memeluknya dengan erat.
“Ibu, aku merindukanmu,” batin Yi Yuen dengan perasaan sedih dan juga bahagia.
Sementara pemuda yang bernama Qiang hanya bisa melihat ibunya yang begitu perhatian pada gadis yang sedari tadi mengganggu hatinya. Gadis yang sudah menarik perhatiannya sejak pertama kali dia melihatnya.
“Gadis itu, kenapa aku begitu peduli padanya? Kenapa aku tidak bisa berpaling dari menatap wajahnya?”
Setelah mengucapkan terima kasih, Yi Yuen dan Ling akhirnya meminta undur diri. Walau berat, Yi Yuen harus bisa mengikhlaskan untuk meninggalkan mereka. Tak mungkin baginya untuk tetap bersama karena di mata mereka dia hanyalah orang asing.
Melihat Yi Yuen akan pergi, Qiang merasakan sesuatu yang aneh saat melihat air mata di wajah gadis yang baru pertama kali dilihatnya itu. Tak terasa, dia ikut menitikkan air mata hingga membuatnya berlari mengejar gadis itu.
“Tunggu!” Qiang kini berdiri di depan Yi Yuen yang masih menangis hingga tiba-tiba dia berjalan mendekat dan spontan menghapus air mata di wajah gadis itu.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Apa kamu tahu siapa aku?”
Yi Yuen menatap lekat ke arah pemuda itu. “Jika aku mengatakan kalau kita pernah bertemu di kehidupan sebelumnya, apa kamu akan percaya?” Pemuda itu terdiam hingga membuat Yi Yuen tersenyum kecut. “Kembalilah, aku tahu kamu tidak akan percaya.”
Yi Yuen kemudian membuka pintu mobilnya dan beniat untuk masuk, tapi tiba-tiba langkahnya terhenti.
“Jika aku tidak percaya, maka buat aku untuk percaya. Jika aku pernah melepaskanmu, maka kali ini jangan biarkan aku kembali melepaskanmu. Bukankah, itu yang pernah aku ucapkan padamu?”
Yi Yuen kemudian berbalik dan di depannya kini dia melihat sosok Qiang dengan penampilannya yang dulu. Pemuda itu terlihat tampan dengan jubah hijau yang dikenakannya.
Yi Yuen kembali menitikkan air mata saat melihat Qiang berjalan mendekatinya. Pemuda itu lantas menyeka air mata gadis itu dan memeluknya. “Bukankah aku pernah bilang untuk mengingatkanku kalau di pertemuan kita nanti aku tidak mengenalmu? Lantas, kenapa kamu ingin pergi begitu saja dariku? Tidakkah, kamu merindukanku?”
Yi Yuen terhentak dan menatap lekat tatapan mata Qiang yang menatap mesra ke arahnya.
“Jika aku tidak mengingatmu maka dekati aku dan buat aku kembali mengingatmu. Jika tidak, maka selamanya kamu akan tersiksa karena kerinduanmu itu. Apa kamu ingin selamanya tersiksa seperti ini?”
Ucapan Qiang membuat Yi Yuen tersadar dan seketika bayangan Qiang dari masa lalu itu pun menghilang. Kini, di depannya tampak seorang pemuda dengan wajah yang sangat mirip dengan Qiang. Walau penampilannya berbeda, tapi tatapan mata pemuda itu terlihat sama hingga membuat Yi Yuen menjadi luluh.
“Baiklah, aku tidak akan mengabaikanmu lagi. Aku akan membuatmu kembali ingat padaku dan aku tidak akan melepaskanmu,” batin Yi Yuen dengan senyum di sudut bibirnya.
Kali ini, dia tidak akan melepaskan cintanya lagi. Dia tidak akan menghindar dari takdir cintanya. Dan dia masih tetap berdiri saat pemuda itu perlahan berjalan mendekatinya.
“Nona, bisakah aku bertemu denganmu lagi?”
Mendengar ucapan pemuda itu, Yi Yuen tersenyum dan mengangguk perlahan. “Baiklah, kita pasti akan bertemu lagi,” jawab Yi Yuen hingga membuat pemuda itu tersenyum.
Kini, takdir telah mempertemukan mereka kembali. Takdir telah mempertemukan dua hati yang selama ini saling merindukan. Dua hati yang tidak akan bisa saling melupakan walau harus menjalani beberapa kehidupan.