Zhi Ruo duduk ditemani Li Quan di depan gundukan batu yang merupakan makam Yuen. Gundukan batu itu tidak terlalu tinggi dan tersusun rapi dengan beberapa tanaman bunga yang ditanam di sekelilingnya.
“Yuen, maafkan aku karena diriku, kamu harus pergi. Terima kasih atas semua kebaikan dan pengorbananmu. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah melupakan persahabatan kita. Sampaikan salam untuk ibuku. Katakan padanya kalau aku baik-baik saja dan aku pasti akan hidup bahagia.” Zhi Ruo menunduk dengan air mata yang perlahan jatuh. Menyadari itu, Li Quan lantas memeluknya.
Zhi Ruo merasa tenang dalam pelukan Li Quan. Dengan lembut pemuda itu menyeka air matanya dan mengecup dahinya mesra. “Zhi Ruo, maukah kamu menjadi pendamping hidupku? Aku ingin membahagiakanmu dan menjalani kehidupan selayaknya manusia biasa bersamamu. Aku ingin kita membangun keluarga kecil yang bahagia. Apa kamu bersedia?” Li Quan menatap Zhi Ruo yang kini tersenyum dan mengangguk pelan. “Baiklah, kalau begitu, hari ini juga kita akan menikah.”
Seketika, Li Quan merangkul Zhi Ruo dan mereka melayang di atas udara melewati pohon dan dahan-dahan yang diiringi embusan angin yang meniup lembut.
Di dalam rangkulan Li Quan, Zhi Ruo tersenyum sembari menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu, hingga mereka tiba di atas bukit yang sangat tinggi. Di atas batu terjal, mereka berdua duduk sambil memandangi hamparan dataran luas dengan warna kehijauan khas dari sebuah hutan yang terjaga kelestariannya.
Dari atas sana, mereka dimanjakan dengan pemandangan yang sangat indah. Anak sungai tampak riak mengalir hingga ke hulu. Air bening yang menyegarkan itu tampak eksotis dengan anak-anak air terjun yang bisa dilihat dari atas tempat mereka duduk.
Semilir angin berembus dengan lembut membawa kesejukan tiada tara. Langit biru dengan awan putih menghiasi cakrawala dengan burung-burung yang beterbangan tak tentu arah.
Kini, mereka berdua duduk berlutut di atas batu. Zhi Ruo tampak cantik dengan hiasan bunga yang dirangkai indah seperti mahkota yang bertengger di atas kepalanya. Rambutnya terurai lepas. Senyumnya terlihat menawan dengan bibir yang merekah indah. Di hadapan alam semesta, mereka berdua duduk dan meminta restu atas pernikahan sederhana. Pernikahan yang jarang terjadi antara manusia dan seorang dewa.
Setelah bersujud beberapa kali di hadapan hamparan dataran luas, kini mereka duduk saling berhadapan. Li Quan tampak tersenyum saat melihat Zhi Ruo yang terlihat anggun dengan hiasan kepala yang sengaja dibuat olehnya. “Istriku, kamu sangat cantik. Aku mencintaimu.” Li Quan berucap seraya mengelus lembut wajah gadis yang kini sudah resmi menjadi istrinya.
Perlahan, sebuah kecupan mendarat di dahi Zhi Ruo diiringi sebuah pelukan. “Terima kasih karena kamu masih setia menungguku. Aku bahkan tidak pernah berpikir kalau kita akan dipertemukan kembali. Zhi Ruo, aku berjanji akan selalu bersamamu dan mencintaimu selama hidupku.”
Zhi Ruo mengangguk dan mengeratkan pelukannya. Li Quan lantas membopong istrinya itu dan kembali mereka melayang di atas udara menuju satu tempat yang sudah dia persiapkan. Di sebuah goa, Li Quan turun perlahan.
Goa itu sangat jauh berbeda dengan goa pada umumnya. Di mulut goa, ada sebauh taman yang sangat indah. Taman yang dipenuhi dengan aneka tanaman bunga. Di sebelah taman, ada kolam yang tidak terlalu dalam dengan anak air terjun yang jatuh ke dasar kolam. Gemericik air terdengar syahdu. Bahkan, beberapa kupu-kupu terlihat memenuhi taman sekadar untuk menghisap sari bunga.
Li Quan berjalan memasuki ruangan goa sambil membopong Zhi Ruo yang takjub dengan keindahan di tempat itu. Goa yang terlihat biasa saja itu ternyata sangat luas. Bahkan, ada sebuah batu datar yang mirip seperti tempat tidur. Di atas batu tersebut terhampar kulit harimau yang dijadikan pengalas tidur yang tentunya menghangatkan tubuh. Tak hanya itu, sebuah selimut dari kulit beruang tampak teronggok di sisi batu.
Dengan lembut, Li Quan meletakkan tubuh Zhi Ruo di atas batu datar itu. Melihat Zhi Ruo yang tersenyum padanya, Li Quan lantas membalas dengan mendaratkan sebuah kecupan hangat di bibir ranum sang istri yang kini pasrah dalam pelukannya. Kecupan-kecupan hangat yang diiringi embusan napas yang kian memburu, membuat keduanya kini larut dalam kehangatan cinta.
Dengan lembut dan tanpa buru-buru, Li Quan membelai wajah cantik istrinya. Tangannya yang kekar, begitu piawai memainkan melodi cinta hingga membuat Zhi Ruo terlena. Wajah cantik Zhi Ruo tampak merona kemerahan saat perlahan tubuhnya dibaringkan di atas kulit harimau yang hangat nan lembut. Kini, Zhi Ruo akan melakukan tugasnya sebagai seorang istri. Tanpa mengelak, tanpa ragu, dia mempersembahkan jiwa dan raganya untuk lelaki yang sangat dicintainya.
Kini, keduanya larut dalam permainan cinta yang begitu mengasyikkan. Cinta yang tulus akan menghadirkan suasana yang intim tanpa keragu-raguan. Semua mereka lakukan atas dasar cinta.
Wajah Zhi Ruo masih memerah bak buah cherry saat Li Quan berbaring di sampingnya. Di balik selimut, dia menyembunyikan wajahnya. Li Quan tersenyum saat melihat tingkah istrinya. Perlahan, dia meraih selimut dan menatap wajah yang merona itu tanpa kedip. “Ada apa? Apa kamu malu padaku?” tanya Li Quan sambil mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah istrinya. Zhi Ruo hanya terdiam dan menatap wajah sempurna yang abadi. Wajah tampan tanpa cela nan sempurna begitu terpampang jelas di depan matanya.
“Suamiku, aku mencintaimu,” ucap Zhi Ruo sambil membelai lembut wajah tampan yang masih basah dengan peluh.
Wajah tampan itu kembali tersenyum sembari mendaratkan kecupan di bibir ranum yang begitu menggemaskan di matanya. Tak hanya sekali, bahkan kecupan itu mendarat berkali-kali dengan irama yang lembut. Kecupan yang menimbulkan gairah nakal yang kembali terulang. Gairah menggebu dengan desahan lembut yang membuat setiap pecinta menjadi iri. Hingga mereka terkulai saat pelampiasan hasrat cinta telah berhasil ditaklukkan.
Dengan peluh yang membasahi tubuh, mereka berpelukan di balik selimut dengan sisa deru napas yang masih terengah. Sungguh, kenikmatan cinta telah menyatukan dua insan yang berbeda menjadi satu dalam ikatan cinta. Perbedaan yang nyatanya bisa ditembus dengan perasaan cinta.
“Apa kamu bahagia?” tanya Zhi Ruo yang kini dalam pelukan Li Quan. Lelaki itu mengangguk sembari mengecup puncak kepala istrinya itu.
“Aku bahagia, sangat bahagia. Aku berharap, kita akan selamanya seperti ini. Kita akan hidup berdua selamanya dan saling mencintai.”
“Walau nantinya aku tak cantik lagi karena termakan usia?”
Li Quan menatap Zhi Ruo yang kembali menyembunyikan wajah di balik dada bidang miliknya. “Aku tak peduli. Walau aku tahu kamu akan menua, aku akan tetap ada di sisimu. Bagiku, kecantikan wajah hanya sementara, tetapi kecantikan hatimu yang aku harapkan. Ah, andaikan saja aku bisa menua dan melewati masa tua bersamamu, itu pasti akan sangat membahagiakan.” Li Quan mengeratkan pelukannya dan membayangkan hal itu hingga bibirnya mengukir senyuman.
Setelah berkelana dalam kenikmatan cinta, keduanya masih berbaring dan enggan untuk melepaskan. Namun, matahari yang mulai senja membuat Li Quan akhirnya bangkit dan duduk di samping Zhi Ruo yang masih tertidur lelap. Melihatnya, Li Quan tersenyum dan mengecup dahinya dan membelainya lembut. “Tidurlah, aku akan segera kembali dan membawakan makanan untuk makan malam kita.”
Li Quan lantas mengenakan jubahnya. Dia kemudian keluar dari goa dan bergegas menuju hutan. Tak lama kemudian, dia kembali dengan membawa aneka buah-buahan dan hasil binatang buruan. Dengan terampil, kelinci hasil buruannya itu lalu dipanggangnya.
Semerbak harum daging panggang seketika menyeruak dan menggelitik hidung Zhi Ruo hingga membuatnya terjaga. Sambil tersenyum, Li Quan berjalan mendekatinya dan mengecup dahinya. “Maaf, jika aku sudah membangunkanmu.”
“Tidak mengapa, lagipula aku yang harus minta maaf, karena aku tertidur hingga tidak sempat menyiapkan makan malam untuk kita. Maafkan aku.”
“Tidak perlu minta maaf. Ayo, kita makan malam, setelah itu aku akan mengajakmu ke suatu tempat.”
Mereka lantas makan malam bersama. Zhi Ruo tampak bahagia, begitu pun dengan Li Quan yang tak henti menatap ke arahnya dengan tatapan penuh cinta.
“Kenapa melihatku seperti itu? Apa ada sesuatu yang aneh di wajahku?” tanya Zhi Ruo sambil meraba-raba wajahnya karena khawatir ada sisa makanan yang menempel di wajahnya itu.
“Tidak, aku hanya suka melihat wajahmu yang memerah. Apa kamu tahu kalau merah di wajahmu itu sangat membuatku bergairah?”
Zhi Ruo lantas menundukan wajahnya saat Li Quan menatapnya, karena saat ini wajahnya bersemu merah karena tatapan mata Li Quan yang menatap tajam ke arahnya.
“Ah, ayolah, jangan menunduk. Tidakkah, kamu kasihan pada suamimu ini.” Tanpa bertanya, Li Quan lantas meraih tubuh istrinya dan membawanya ke tempat tidur.
“Hei, apa yang kamu lakukan?” tanya Zhi Ruo saat dirinya diletakkan di atas tempat tidur.
“Kenapa? Bukankah, kamu menyukainya?”
Sontak, wajahnya kembali merona hingga membuat Li Quan ingin merasakan kembali kenikmatan cinta yang belum lama mereka rasakan. Zhi Ruo hanya pasrah saat suaminya ingin menaklukan hasrat cintanya. Dengan penuh kebanggaan, Zhi Ruo menyerahkan kembali jiwa dan raganya untuk dinikmati oleh suaminya. Hingga menjelang malam, mereka terkulai dalam kenikmatan cinta yang sulit untuk diungkapkan dengan kata.
Dengan lembut, Li Quan menyeka sisa peluh di wajah cantik istrinya sembari tersenyum. “Apa kamu lelah?”
“Apa aku pantas untuk mengeluh di depanmu? Sebagai istri, aku tidak mungkin mengelak dari keinginanmu karena itu kewajibanku.” Jawaban Zhi Ruo membuat Li Quan tersenyum dan kembali mendaratkan kecupan di bibir ranumnya.
“Kalau begitu, malam ini aku tidak akan mengganggumu. Aku akan membawamu ke suatu tempat yang akan membuatmu nyaman. Ayo, bergegaslah!”
Tak perlu bagi mereka untuk barjalan menaiki tebing terjal ataupun melewati hutan, karena dengan kekuatan yang dimiliki Li Quan, dengan secepat kilat mereka bisa sampai ke tempat yang ingin mereka tuju.
Malam itu, bulan purnama tak lagi terlihat utuh. Namun, cahayanya bersinar terang. Di atas bukit dengan hamparan rumput ilalang yang tidak terlalu tinggi, mereka berdiri.
Zhi Ruo tampak takjub dengan keindahan tempat itu. Bagaimana tidak, langit hitam yang terbentang luas tampak indah dengan bintik-bintik putih yang berkerlip menghiasi angkasa. Terkadang, bintik putih itu jatuh seperti seekor kunang-kunang yang terbang rendah. Semua keindahan itu begitu nyata hingga membuat Zhi Ruo menggenggam erat tangan suaminya.
“Suamiku, tempat ini sangat indah. Kenapa dulu aku tidak pernah melihat tempat ini? Ah, aku sangat menyukai tempat ini.” Zhi Ruo berlari pelan ke tengah hamparan dan mendongakkan kepalanya ke atas. “Wah, lihatlah bulan itu! Sepertinya, aku bisa meraihnya dengan tanganku.” Zhi Ruo mengulurkan tangannya seakan sedang berusaha menyentuh setengah bulatan putih yang mengambang itu.
“Kalau kamu mau, aku bisa membawakannya untukmu,” ucap Li Quan yang kini memeluknya dari belakang.
“Tidak perlu, begini saja aku sudah sangat bahagia.”
Zhi Ruo mengenggam tangan Li Quan yang kini melingkar di pinggangnya. Keduanya tampak bahagia saat menatap langit hitam yang dipenuhi cahaya bintang.
Hamparan rumput ilalang rupanya begitu lembut saat keduanya memutuskan berbaring di atasnya. Kepala Zhi Ruo kini beralaskan lengan suaminya yang kekar. Sambil memandang langit hitam yang terlihat memukau, Zhi Ruo menunjuk salah satu bintang yang terlihat lebih terang dari bintang lainnya yang berada sedikit jauh dari kumpulan bintang lainnya. “Lihatlah bintang itu, kasihan dia hanya sendirian. Apakah karena dia bersinar lebih terang dari bintang lainnya, makanya dia dijauihi?”
“Apa kamu ingin aku menyingkirkan semua bintang-bintang itu?”
“Tidak perlu, aku yakin walau dia sendiri, dia pasti kuat. Lihatlah, walau tidak ditemani bintang lainnya, tetapi dia ditemani bulan yang kini ada di dekatnya.” Zhi Ruo tersenyum karena tiba-tiba bintang itu sudah mendekat ke arah bulan.
Kunang-kunang tiba-tiba muncul dari balik ilalang seakan mereka sedari tadi sedang bersembunyi. Cahaya kerlap-kerlip begitu indah saat kumpulan hewan bercahaya itu beterbangan di atas mereka. Sungguh, pemandangan yang sangat indah, hingga membuat Zhi Ruo takjub dan terpana. Matanya menatap penuh kekaguman dengan keindahan yang terlukis indah di depan matanya.
Walau ingin menikmati keindahan itu, tapi matanya tak mampu untuk tetap terjaga. Zhi Ruo akhirnya tertidur di samping suaminya yang kini memeluknya sambil menatap kunang-kunang. “Tidurlah dan nikmati mimpimu. Aku berharap, kita akan selamanya seperti ini karena aku tidak ingin lagi berpisah denganmu.”
Kecupan pengantar tidur mendarat di kening Zhi Ruo yang kini tersenyum terbuai mimpi. Mimpi tentang masa depan mereka yang akan selalu hidup bersama dan hanya terpisahkan oleh kematian.