Perlahan Aqila membuka matanya, ia menatap langit-langit dengan seksama. Setelah itu ia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan. Matanya menyipit mencari tahu ada dimana ia sebenarnya. Ingatannya kembali saat ia dan Delon sedang berada di dalam mobil dan mengalami kecelakaan.
Aqila terkejut ketika melihat Rangga sedang tertidur di sampingnya. Kepalanya di letakkan di tepi ranjang dengan tumpuan lengannya. Raut wajahnya terlihat lelah. Aqila memperhatikan dengan seksama, dengan hati-hati jarinya menyentuh pipi Rangga.
Tak lama kemudian Rangga terbangun dan menatap Aqila. Ekspresinya sulit diartikan, sorot matanya sayu.
“Qil,” panggilnya dengan lirih.
“Lo udah bangun?” tanyanya. Rangga segera duduk tegak dan meraih tangan Aqila. Ia menggenggamnya erat.
Aqila menarik sudut bibirnya sedikit berusaha tersenyum. Tubuhnya masih lemah sehingga ia tidak mampu menggerakkan bibir untuk mengucapkan sepatah kata.
Melihat Aqila tersenyum, Ranga pun ikut tersenyum. Ia berusaha terlihat baik-baik saja di depan Aqila.
“Ya udah lo istirahat dulu aja. Gak usah banyak gerak,” ujar Rangga lembut sambil membelai puncak kepala Aqila.
Aqila hanya mengangguk lemah. Ia mencoba memalingkan wajahnya untuk melihat Delon. Namun nihil, ia tak menjumpai Delon ada di ranjangnya.
“Delon,” suara Aqila sangat lirih, hampir saja tidak terdengar oleh Rangga.
Rangga bingung harus memulai dari mana. Ia tak sanggup jika harus menceritakan sekarang. Ia takut kondis Aqila kembali memburuk ketika mendengar kabar bahwa Delon meninggal.
“Udah istirahat dulu aja, gue mau ngabarin ke mama lo kalo lo udah sadar,” sahut Rangga seraya beranjak dan segera menelepon mama Aqila.
Setelah selesai menelepon, Rangga kembali duduk dan mengelus-elus puncak kepala Aqila dengan lembut. Aqila hanya menatapnya tanpa berkomentar apa-apa.
Setelah cukup lama, kedua orang tua Aqila akhirnya datang. Mereka segera menghampiri Aqila dan tersenyum bahagia karena pada akhirnya Aqila tersadar dari tidur panjangnya.
Setelah merasa tenaganya sedikit pulih, Aqila berusaha menanyakan Delon kepada mamanya.
“Mah,” panggilnya.
“Iya sayang, kamu butuh apa?” tanya mamahnya lembut.
Rangga dan Papa Aqila duduk di sofa memperhatikan mereka berdua.
“Delon mana?” tanya Aqila lirih.
Deg, mama Aqila kaget mendengar pertanyaan putri semata wayangnya itu. Ia bingung harus menjawab apa. Ia menoleh ke arah Rangga dan suaminya.
Papa Aqila mengangguk menandakan bahwa ia menyuruh untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Delon udah gak ada,” jawab mama Aqila dengan hati-hati berharap tidak menyakiti hati Aqila.
“Delon udah sembuh?” tanya Aqila tidak mengerti.
Mama Aqila menggeleng. “ Enggak, Delon meninggal beberapa hari yang lalu.”
Dada Aqila sesak, tanpa sadar air matanya keluar membasahi pipi mulusnya. Tangannya meremas seprai dengan kuat. Ia merasakan tubuhnya bergetar.
Mama Aqila panik melihat kondisi Aqila.
“Sayang kamu gak apa-apa?” tanya mama Aqila dengan suara bergetar.
Tubuh Aqila bergetar, ia menangis pilu sambil memejamkan matanya. Rasanya ia tak sanggup menahan semua ini.
***
“Sah,” semua orang serempak mengucapkan kata sah.
Hari ini Aqila menikah dengan Rangga di rumah sakit. Ia tak mempunyai pilihan lain selain menyetujui permintaan Mamanya. Ya, mama Aqila meminta agar Aqila menikah dengan Rangga.
Awalnya Rangga menolak karena Aqila tidak mencintainya. Tapi Mama Aqila meyakinkan Rangga bahwa Aqila akan bisa mencintainya karena mereka pernah dekat. Mama Aqila membuat pilihan tersebut karena ia tidak mau mebatalkan rencana pernikahan begitu saja sedangkan semuanya sudah siap.
Prosesi akad dilakukan di rumah sakit, sedangkan resepsi akan dilaksanakan di gedung, hanya saja tanggalnya yang di ubah.
Beberapa hari kemudian, Aqila diperbolehkan pulang. Rangga memboyong ke rumahnya dan tinggal bersama neneknya.
Nenek Rangga menyambut kedatangan mereka dengan senang hati. Ia sudah memasak untuk mereka dan sudah menyiapkan kamar.
Aqila segera memeluk Nenek Rangga dan mencium tangannya, begitu juga dengan Rangga. Setelah itu mereka makan siang bersama. Hanya ada suara denting sendok dan piring yang terdengar.
“Nanti kalian nempatin kamar atas, udah nenek siapin semuanya,” ujar nenek setelah selesai makan.
“Iya Nek terimakasih. Maaf udah ngrepotin,” ujar Aqila karena merasa tidak enak.
“Gak apa-apa, nenek seneng kok, rumah jadi rame,” ujar nenek sambil tersenyum senang.
Setelah itu mereka mengobrol, bercerita banyak hal. Mulai dari kehidupan kecil Rangga, kehidupan sang Nenek, sampai menceritaka kebun dan peternakan yang dikelola.
Ketika hari sudah semakin sore, Aqila pamit untuk mandi dan beristirahat sejenak.
Setelah mandi, Aqila duduk termenung di tepi ranjang. Pikirannya tak karuan. Memikirkan Delon, kehidupanya sekarang, dan memikirkan perasaanya terhadap Rangga.
Tiba-tiba Rangga muncul dari balik pintu dan berjalan ke arah Aqila. Ia duduk di samping Aqila sambil mengamatinya sengan seksama.
“Maafin gue Qil,” ujar Rangga lirih.
“Buat?” Aqila menoleh dan menatap Rangga dengan intens.
“Maaf karena lo harus nikah sama gue, lo boleh minta cerai kapan aja kok Qil, gue rela,” ujar Rangga dengan serius.
Aqila menghela nafas sejenak. Ia meraih tangan Rangga dan menggenggamnya dengan erat.
“Jodoh, rezeki, dan maut itu udah ada yang ngatur. Gue bisa berencana buat nikah sama siapa aja, tapi Tuhan juga punya rencana buat gue. Apa yang emang bukan buat gue pasti akan hilang, gitu juga sebaliknya Ga. Jujur gue masih belum terima kalo Delon ninggalin gue, tapi gue juga gak bisa putus asa gitu aja.” Ujar Aqila dengan lembut.
“Ga, mungkin sekarang gue belum bisa cinta sama lo. Tapi gue bakal belajar untuk mencintai lo dengan tulus. Gue akan berusaha jadi isteri yang baik buat lo dan jadi ibu yang baik untuk anak kita kelak. Gue cuma butuh waktu, lo mau kan nunggu gue?” tanya Aqila dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya.
Rangga menghembuskan nafas lega. Ia tak menyangka bahwa Aqila akan setegar dan sekuat itu.
“Makasih Qil, gue akan nunggu lo dan gue juga akan jadi yang terbaik buat lo,” ucap Rangga.
Aqila melepaskan genggaman tangannya dan memeluk Rangga dengan erat. Ia tak mampu lagi menahan air matanya yang sudah menggenang di pelupuk mata. Ia bersyukur karena Rangga bisa menunggu dan menerimanya.
Rangga pasti akan menunggu sampai Aqila bisa benar-benar mencintainnya. Tanpa paksaan dan tanpa tuntutan. Kita harus belajar agar tidak memaksa orang yang kita cintai untuk mencinta kita, itulah yang saat ini Rangga pikirkan.