Roda Kehidupan episode 1

Aku dan Kalian

Magelang, Mei 2003

“Duapuluh sembilan! Modar koe!” Kataku bungah seraya membanting kartu di atas meja.

Tiba-tiba…

“Taaarrrr…” Konsentrasiku buyar ketika Bu Wati melemparkan penghapus papan tulis ke arahku pada jam pelajaran terakhir di hari sabtu yg seharusnya indah ini. Iya, seharusnya.

“ADIIIITTT… SEDANG APA KAMU?” Suara lantang dari seorang guru ke muridnya pertanda keadaan sedang genting.

“Eeemmm… Maaf Bu, iii…ini sedang ngerjain tugasnya.” Jawabku terbata-bata.

Entah Bu Wati percaya atau tidak yg jelas aku selamat dari cerkaman maut sang macan. Ah sudahlah lupakan tentang permainan kartu bernama samgong dengan Prapto barusan.

Telah menjadi kebiasaanku saat pelajaran paling membosankan seantero jagad bernama FISIKA, aku selalu sibuk sendiri untuk menghilangkan kepenatan yg mendalam entah dengan ngobrolin kakak-kakak kelas yg cantik hingga main kartu.

“Harusnya sih menang aku tadi jika Bu Wati gk mendadak masuk kelas”. Batinku kesal. Dan jam kosong yg tadi dijanjikan pun hanya impian.

Oiya, kenalkan namaku Adit Setyo Abadi, nama terkeren yg pernah diberikan orang tua kepada anaknya walau kata temen-temen nama itu adalah hasil jiplakan toko onderdil motor di kotaku, hmm. Di sebelahku ada Prapto, seorang pemuda asal Jogja yg entah kenapa memilih sekolah di kota kecil ini. Beranjak di bangku depan, ada Novi. Dialah perempuan tergokil diantara perempuan lain di kelas. Cantik sih, sayang rada galak. Merekalah sahabat-sahabatku. Sahabat tempat aku mengadu, mengadu dikala perut keroncongan dan tugas sekolah yg membebani setiap siswa manapun di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

“Teeeeetttt… Teeeettt… Teeeeet…” Suara bel yg paling ditunggu-tunggu itu akhirnya terdengar di setiap sudut sekolah SMA 002 ini.

“Let’s Pray Together… Start!” ucap salah satu teman sekelasku yg ditunjuk untuk memimpin doa pulang. “Finish!” tak sampai 20 detik ia menyudai berdoa kami.

“Aaaah… Akhirnya…” Ucap Novi riang.

“Udah keluar Nov?? Lega banget,” sambung Prapto usil, seraya memasukkan buku ke tasnya.

“Eh kurang ajar koe!” Seru Novi. “Kalian mau langsung pulang atau kemana?” Sambung Novi berharap.

“Terserah… Yg penting banyak ceweknya!” Sahut prapto.

“Ah.. Biasa koe Prap!” Balas Novi dengan nada tinggi.

“Ho’oh setuju… Yang banyak ceweknya!” Ucapku antusias.

Dan setelah berdiskusi panjang, akhirnya kami memilih jalan masing-masing, yaitu… Pulang! Keputusan yg diambil setelah tak ada titik temu diantara kita bertiga.

“Ya udahlah pulang aja kita!” Oceh Novi kecewa.

“….”

“Aku pake motor babe nih, mau bareng gk Prap?” Tawarku ke Prapto karena jalan pulangnya searah.

“Enggak-enggak… Prapto nemenin aku nunggu angkot!” Potong Novi cepat.

Mendengar pernyataan Novi, Prapto hanya menaikkan bahu serta menggaruk-garuk kepala mengisyaratkan ia sedang kebingungan.

Dengan iming-iming segelas jus segar, akhirnya Prapto setuju ajakan Novi untuk menunggu angkot di siang yg panas ini, dasar Prapto.

Kamipun berpisah di depan kelas. Terlihat mereka berjalan sambil bergurau satu sama lain. Novi memang usil, kakinya selalu berusaha menjegal Prapto agar terjatuh. Kenapa gk pacaran aja sih mereka, sangat iri sebenarnya melihat Prapto sedekat itu dengan Novi.

Sambil berjalan menuju tempat parkir warung depan sekolah, aku melihat beberapa kakak kelas yg sedang asik diskusi di bawah pohon beringin. Entah bener-bener membahas pelajaran atau mereka hanya diskusi kenpa ultramen bisa jadi raksasa.

Kak Arum, Kak Dina, dan Kak Siska. Ketiga cewek primadona sekolah yg selalu menjadi bahan imajinasi liar setiap siswa di sekolah, kecuali pria tampan ini tentunya.

Ah sudahlah… Aku menyudahi pikiran-pikiran liarku dan memtutuskan untuk berjalan kembali ke tempat parkir. Yamaha Vega merah milik Ayah menjadi motor andalanku di akhir pekan ini.

Setiap akhir pekan aku sering memakai motor milik Ayah untuk berangkat ke sekolah, itu karena Ayah libur bekerja setiap akhir pekannya.

Susah payah aku menggenjot motor ini hingga akhirnya, “Greeeng… Greeeng…” Suara mesin motor 110cc ini bekerja sebagaimana mestinya.

Dengan mantap aku berjalan pelan meninggalkan sekolah. Rasa lelah dan haus setelah menggenjot motor membuatku ingin sekedar minum. Sempat aku berfikir untuk nyamperin Novi dan Prapto di warung jus dekat sekolah. Ah tapi bosan juga.

“Oke.. Mari kita beli es kelapa muda, siapa tau ketemu dia lagi!” Gumamku sendirian di atas motor.

Es kelapa muda Alun-alun depan masjid agung adalah tempat favorit. Selain rasa dan harga yg tak ada tandingannya, suasana di tempat itu sangat sejuk. Hembusan angin khas Magelang mampu membawa setiap insan manusia ke alam bawah sadar mereka, percayalah.

Hampir setiap sabtu, aku sempatkan untuk mampir kesini. Selain berbagai alasan tadi, tempat itu merupakan tempat yg paling aman utk menghabiskan rokok tanpa ketahuan guru ataupun keluarga, noted.

Setelah memarkir motor, aku langsung menuju ke ibu penjual es tersebut.

“Mak… Satu ya, biasa!” Ucapku santai.

Sembari menunggu pesanan datang, aku duduk di bangku paling pojok tempat biasa. Kuambil rokok dan korek yg aku simpan di tas.

“Sssssttttt… Buuulll…” Kepulan asap rokok yg harum itu kini telah melayang-layang indah di udara.

Pekan lalu, aku dan Prapto sama-sama menghabiskan dua gelas es kelapa muda favoritku ini. Untunglah sekarang hanya aku sendiri, jadi tak terlalu banyak mengeluarkan uang. Haha, si Prapto emang gk modal.

“Ibu, Satu ya… dibungkus ya bu…”

Terdengar suara serak namun halus masuk ke gendang telinga lalu merasuk relung hati. Suara yg tak asing buatku.

Aku menoleh, dan.. Hmmm. Perempuan cantik berambut panjang terlihat mengenakan seragam pramuka dibalut jaket ungu. Dengan tinggi kira-kira 160cm dan bentuk tubuh proporsional membuat siapapun pasti kagum dengan sosok itu.

Beberapa detik pandangan kami bertemu, terlihat jelas bibir tipisnya yg basah tersenyum, matanya yg indah memandangku sepersekian detik. Sekarang aku bingung dan mulai salah tingkah.

“Asu ayu tenan!” (Anjing cantik banget). Ucapku dalam hati.

Beberapa minggu ini aku sering melihatnya membeli minuman yg sama sepertiku. Hal itulah yg menjadi alasan utama kenapa aku berada di warung ini tiap pekannya. Namun sayang, ia selalu membungkus minumannya seolah menutup peluang untuk sekedar memandang wajah cantiknya.

Tak lama kemudian, segelas es kelapa muda telah sampai di depanku. Dengan lagak yg aku manis-maniskan, aku minum es ini pelan sambil berharap ia memandangku.

Namun alih-alih memandangku, nengok aja enggak. Aku malah melihatnya berjalan pergi menjauh dengan plastik hitam di tangan kanannya. Jauh.. Dan semakin jauh.

“Bodoh banget, kenapa gk samperin aja tadi!” Gumamku sendirian. “Ntahlah!” Kuhabiskan minuman ini dengan cepat dan lekas membayarnya.

“Udah mak… Pinten (Berapa)?” Kataku.

“Seribu aja buat kamu leee…” Jawab Si Emak.

“Eh Mak, itu tadi cewek siapa? Kok sering aku lihat disini?” Tanyaku penasaran sambil merogoh kantong celana.

“Iyo… Setiap sabtu selalu kesini kok.. Ciee naksir ni ye…” Goda Emak.

“Hehehe…” Aku tersenyum malu.

“Nih Mak… Udah, kembaliannya ambil aja buat besok Sabtu!”

“Ini Namanya nitip Dit bukan buat Emak!”

“Hehe… Udah ya Mak, aku pulang dulu!”

“Ati-ati!” Jawab Si Emak cepat.

Sesampainya dirumah aku langsung rebahan dan tentu saja tak henti-hentinya memikirkan cewek tadi. Siapa sih namanya? sekolah dimana? Rumahnya mana? udah punya cowok belum ya? Pertanyaan yg selalu muncul di otakku. Aku mulai berfikir keras gimana caranya utk berkenalan dengannya.

“ADIITT MAKAN DULU!” teriakan khas seorang ibu menyuruh anaknya makan yg membuyarkan lamunanku.

“IYAA BUUU… NANTI…”

Sambil memandang poster Paolo Maldini berjersey AC Milan yg aku tempel di sudut kamar, aku masih melamun dan memikirkan bagaimana cara mencari moment yg pas agar bisa kenalan dengan cewek spek bidadari itu.

Malam telah datang, malam minggu buat aku sama sperti malam-malam biasa. Hanya bedanya bisa tongkrong hingga larut malam bareng kawan sekampung.

Seperti biasa, di pos kamling tempat biasa kami tongkrong telah dimulai permainan gaple oleh kawan-kawanku. Dari hanya main gaple biasa hingga pada akhirnya taruhan. Mulai dari seribu hingga puluhan ribu. Hahaha. Biasa lah anak muda kampung.

Sebagai pemuda yg berbudi pekerti baik, tentu saja aku selalu ikut kegiatan rutin ini. Malam ini milik Kipli, dia berhasil merampas uang milik kami. Sialan si Kipli padahal seumur hidup belum pernah menang tuh anak. Jangan-jangan merdukun, curiga aku.

“Pliiii… Beli rokok lah, menang ini!” Kicau Tomi ke Kipli.

“Anggurnya juga lho Pli!” Imbuh Gatot.

“Buruan Pli!” Hardikku.

Setelah kesepakatan bersama, dengan kembali patungan lima ribuan dan ditambah duit hasil kemenangan Kipli kami pun berpesta.

Beberapa botol anggur putih telah habis kami minum. Sebenarnya kegiatan ini rutin kami lakukan tiap malam minggunya. Siapa saja pemenangnya, dialah yg harus mengeluarkan uang lebih untuk pesta kecil-kecilan ini.

Setelah merasa pening di kepala, kamipun lantas pulang ke rumah masing-masing agar tak ketahuan Pak RT. Bisa panjang urusannya nanti.

Malam pun berubah menjadi siang, hari minggu yg indah selalu aku habiskan untuk tidur panjang. Kulihat jam didinding, waktu telah menunjukkan pukul dua siang. Dan kepalaku masih terasa berat.

“Sarapan…” Gumamku sambil berjalan ke dapur.

“Bu… Masak apaan?” Tanyaku melihat Ibuku sedang asik nonton tv.

“Sup, itu ada ayam, satu aja ambilnya, Ayahmu belum makan!”

Dengan lahap aku makan masakan Ibu yg memang selalu enak. Entah wahyu dari mana yg membuat masakan Ibuku seenak ini. Bahkan juru masak kerajaan Fir’aun pun akan kalah jika beradu masak dengan seorang perempuan bernama Susi Komariyah, Ibuku tercinta.

Selesai makan, tanpa harus mencuci piring, aku langsung menuju kamar dan menguncinya.

“Kreek… Krekk…” Kubuka jendela agar sinar senja bisa masuk ke kamar yg cukup rapi bagi seorang lelaki sepertiku. Kusulut rokok yg aku simpan di atas lemari. Ada sekitar lima hisapan sore ini setelah aku mematikan dan menyimpannya lagi.

Tak terasa, waktu semakin sore. Adzan Maghrib telah terdengar. Usai mandi, tak lupa aku melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim. Ayah dan Ibu selalu menceramahiku agar taat kepada Sang Khalik.

“Mumpung masih muda Diiiit…” Begitulah kalimat andalan Ibu saat menceramahiku.

Yaaa.. yaaa.. Mumpung masih muda dan aku suka selengekan dan kerap melupakan nasihat kedua orang tuaku.

Waktu pun semakin malam, suasana mulai sepi. Hanya ada aku dan lamunanku tentang perempuan cantik, kemarin. Senyumnya yg manis saat memesan minuman masih terngiang jelas di pikiranku.

Hoaaaammm… Tak terasa jarum pendek telah berhenti di angka 11. Mata ini pun tak bisa lagi menahan rasa kantuk yg mendalam. Akhirnya kumatikan lampu yg menerangi satiap sudut kamar ini. Mulailah aku memejamkan mata dan berharap perempuan kelapa muda itu hadir di mimpiku.


Roda Kehidupan

Roda Kehidupan

Score 7
Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia

"Roda itu bernama kehidupan. Saat kita berada diatas kadang berputar sangat cepat, namun ketika kita berada dibawah roda itu terlalu lambat berputar kembali. Kamu tau kenapa? Karena kehidupan tak semudah mengayuh sepeda untuk tetap berjalan diatas aspal yang halus.​"

Sebelumnya mohon maaf dan mohon izin untuk memberanikan diri menuliskan sebuah catatan sederhana seorang lelaki yang hidup di sebuah kota kecil namun sangat nyaman, Magelang.

Gue nulis ini sebagai catatan dan memory gue untuk melukiskan tentang kehidupan yang seperti roda. Silahkan berpendapat cerita ini true story atau fiktif belaka, disini gue hanya menulis sebuah roda kehidupan.

Gue sadar tulisan gue masih acak-acakan. Mohon maaf jika terdapat banyak umpatan kasar dalam bahasa jawa dan beberapa pikiran liar yang terkandung dalam cerita. Semoga bisa disikapi secara bijak. Cerita ini dimulai saat gue masih duduk di bangku SMA pada tahun 2003. Nama tokoh dan tempat instansi sengaja disamarkan atau gue ganti demi kebaikan kita semua.

Ah... kurasa cukup. Dan kamu akan tetap menjadi ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset