Setelah kepergian Teh Desi, aku masuk kamar dan mengunci pintu.
Menyalakan kipas angin. Ga tau kenapa malam ini gerah banget.
Mungkin mau hujan…
Aku mengeluarkan hp dan membuka galery. Kupandangi foto Risda yang sedang tersenyum manis.
“Saloka…!” desisku memanggil Saloka.
“Dalem Den!”
“Bisa minta tolong menerawang gadis ini? Tapi rumahnya di Jawa Barat. Bisa?”
“Tenang Den.. Insya Allah bisa!”
Lalu kulihat Saloka berdiam diri dan menutup matanya.
Mendadak dia membuka matanya.
“Ada apa?” tanyaku.
“Hihi..belum begitu jelas wajahnya.”
“Nih, dilihat bener-bener…!”
Saloka memperhatikan foto yang ada di hpku.
Lalu perlahan dia memejamkan matanya kembali.
Ada kira-kira 10 menit dia memejamkan matanya.
Lalu dia membuka matanya lagi.
“Dia dipengaruhi ilmu pelet tingkat tinggi Den. Kalau aden mau menolong, aku rasa Aden belum kuat!”
“Wah..sebegitu hebatnya ilmu pelet itu?”
“Bener Den, aku sendiri juga ga mampu menyembuhkan gadis itu Den. Dukun pengirimnya kuat banget!”
“Trus mesti gimana? Aku kasihan sama kakaknya yang kepikiran terus!”
“Coba tanya Nyi Among Den!”
“Aku sudah tahu masalahnya Saloka. Tadi ibu sudah menerawang juga Nak, dan memang ilmu pelet itu kuat sekali. Ibu sudah mencoba melawannya, tapi ternyata masih belum bisa mengatasinya!” kata Nyi Among yang tiba-tiba muncul di hadapanku.
“Lantas, aku mesti gimana Nyi? Apakah jika ilmu kita digabungkan, bisa melenyapkan pelet itu?”
“Susah nak, karena kita terkendala jarak… Jika kita berdekatan dengannya, ibu yakin, gabungan kita dapat mengatasi pelet itu!”
“Lalu gimana baiknya Nyi…masa kita mesti ke sana?”
“Sebenarnya bisa, tapi hanya rohmu yang ke sana. Tapi dengan begitu, ilmumu akan berkurang karena hanya rohmu yang bisa ke sana. Dan ibu tidak yakin, gabungan kita bisa mengalahkan ilmu itu. Karena ilmumu tidak maksimal!”
Kami terdiam beberapa saat…
“Hei..kenapa kita tidak minta tolong Ki Patih saja?” seru Saloka.
“Siapa ki Patih ini?” tanyaku.
“Ki patih adalah seorang Patih di kerajaan ghaib Pasundan. Dia berdomisili di daerah Jawa Barat.
Ilmunya sangat tinggi.. Dan dia sangat menghormati kakek moyangmu. Karena kakek moyangmu yang saat itu meeantau di Pasundan, pernah berjasa pada kerajaan Ghaib pasundan yang saat itu diserang oleh kerajaan ghaib lainnya. Karena jasanya, sang patih berjanji, bahwa dia akan membantu Kakek moyangmu dan keturunannya, apabila membutuhkan bantuannya!”
“Siapa namanya?” tanyaku lagi.
“Ibu juga kurang tahu, karena selama ini kita memanggilnya Ki Patih, walaupun sekarang dia sudah menjadi Raja di sana!”
“Tapi apakah bisa kita minta bantuannya? Kan jaraknya sangat jauh Nyi?”
“Bagi kami, jarak tak jadi masalah. Jika dipanggil dan merespon, dia akan datang dalam sekejap mata!” kata Nyi Among.
“Bisakah kita memanggilnya?”
“Kamu yang harus memanggilnya, karena kamu adalah keturunan kakek moyangmu. Dalam memanggilnya, kamu harus menyebut nama kakek moyangmu itu!”
“Wah, aku ga tahu nama kakek moyangku!” kataku garuk garuk kepala.
“Namanya adalah Ki Panembahan!” kata Nyi Among.
“Sekarang ibu akan mengajarkanmu mantra untuk memanggilnya!”
Nyi Among mengajarkan mantra pemanggil Ki Patih.
Aku mengulanginya beberapa kali hingga hapal di luar kepala.
“Nah..kamu sudah hapal. Sekarang berkonsentrasilah, satukan rasa dan pikiran, lalu ucapkan mantra yang kuajarkan tiga kali berturut-turut.”
Aku mengiyakan dan mulai berkonsentrasi, menyatukan rasa, cipta dan karsa…lalu mengucapkan mantra itu sebanyak tiga kali.
Tak lama terdengar suara hembusan angin memenuhi kamarku, dan muncul sesosok wujud pria kekar berjambang dengan pakaian keraton. Tampak sangat berwibawa. Namun wajahnya memancarkan aura yang menenangkan.
“Assalamu’alaikum… Siapa keturunan ki Panembahan yang memanggilku?”
“Wa’alaikum salam Ki Patih. Inilah anak itu, yang merupakan keturunan ki Panembahan!” Nyi Among menjawab.
“Engkaukah yang memomong anak ini?”
“Benar ki Patih… Atau saya harus memanggil Baginda Raja?”
“Hahaha…aku lebih senang dipanggil dengan sebutan ki Patih saja. Nah, anak muda, ada apa kau memanggilku?” tanyanya padaku.
Akupun menceritakan kejadian yang menimpa Risda. Dan aku meminta tolong supaya beliau mau menolong Risda dengan memusnahkan pelet yang menimpa Risda.
“Hmmm…apakah gadis ini punya hubungan denganmu?”
“Tidak ki Patih, saya.malah tidak kenal. Tapi saya kenal dengan kakaknya.”
“Mengapa kamu ingin menolongnya, padahal kenalpun tidak?”
“Terdorong rasa kemanusiaan saja ki Patih. Tidak tega rasanya, mengetahui dia di dzolimi oleh orang yang tidak bertanggung jawab!”
“Hahaha…anak macan tidak akan jadi tikus. Kamu sama persis dengan Ki Panembahan. Walaupun tidak kenal, tapi tetap mau menolong. Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya. Baiklah, aku akan menolongnya!”
“Terima kasih Ki Patih…!”
“Ada hal lain yang ingin kau sampaikan lagi?”
“Saya rasa cukup ki Patih. Sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih atas pertolongan Ki Patih!”
“Baiklah kalau begitu. Hhh…sudah lama aku tak berjumpa kakek moyangmu. Nah, sebagai sahabat kakek moyangmu, aku akan memberikan sedikit tanda mata padamu!”
“Ah…tidak perlu ki Patih. Terima kasih atas kebaikan ki Patih!”
“Jangan menolak… Ini, aku berikan cincin kecubung ini padamu. Cincin ini bisa melindungimu dari segala hal ghaib yang menyerangmu. Tapi jangan bergantung pada cincin ini. Ini hanya perantara, segala sesuatunya kamu harus bersandar pada bantuan Allah.”
“Terima kasih ki Patih. Pesan Ki Patih akan selalu saya ingat!”
“Baiklah, aku akan segera pulang. Assalamu’alaikum…!”
“Wa’alaikum salam…”
Wujud Ki Patih berpendat menjadi cahaya beraneka warna. Lalu perlahan menghilang.
Aku memakai cincin pemberian Ki Patih, dan ternyata pas di jari manis sebelah kanan.
Cincin berwarna ungu terang yang sangat indah.
Aku melihat jam dinding..wuah, sudah pukul 1 dini hari.. Ceoet banget waktu berlalu.
Setelah mengucapkan selamat malam pada Nyi Among dan Saloka, akupun membaringkan tubuhku di kasur.
Tak lama aku terlelap…
“Bangun nak…waktu subuh sudah tiba..!” goyangan lembut di kakiku membangunkanku. Nyi Among, tersenyum di ujung kasurku.
Jadi serasa dibangunkan ibu, di saat ibu masih hidup dulu.
Selalu membangunkan dengan halus dan perlahan.
“Ibu…?”
“Bangun nak, saatnya sholat subuh!”
“Baik Ibu…! Maaf nyi, aku ingin memanggilmu Ibu, bolehkah?”
“Ibu sangat bahagia mendengarnya Nak… Sekarang cepatlah..keburu habis waktu subuhnya!”
“Baik Ibu…!” aku bangun dan mencium pipi Nyi Among. Sama seperti aku mencium ibuku dahulu setiap pagi.
Lalu aku pergi ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Setelahnya, sholat subuh dan berdzikir… Mengingat Allah yang masih memberikan begitu banyak rahmat dan nikmat padaku.
“Tadi Ki Patih datang kemari nak. Beliau melaporkan bahwa tugas sudah selesai dilaksanakan. Dan beliau juga sudah membentengi anak itu (Risda), sehingga tidak akan terkena pelet itu lagi!”
“Ah…syukurlah kalau begitu. Aku senang mendengarnya!”
“Nah…sekarang bersiaplah untuk menjemput mbakmu. Katanya mau cari motor baru?”
“Astaghfirullah… Hampir lupa. Untung Ibu mengingatkan…!”
Akupun bersiap-siap untuk pergi bersama mbak Dinda.
Setelah mandi dan sarapan mie instant, aku segera keluar kamar dan menuntun motor mbak Dinda.
Kupanasi dulu motor itu…
Saat itulah aku melihat Teh Desi keluar dari kamarnya. Wajahnya masih terlihat kuyu dan tampak kurang tidur.
Melihatku, dia segera menghampiriku.
“Mau kemana Ji? Mau cari orang pintar itu ya? Aku ikut boleh?”
“Enggak Teh, semalam aku dah telpon si orang pintar. Juga kukirim foto adik Teteh. Katanya bakal dikerjakan malam tadi?”
“Oh..gitu ya? Makasih ya, udah bantu aku!”
“Sama-sama Teh… Sekarang coba Teteh telpon ortu teteh. Siapa tahu sudah ada hasilnya.”
“Masa secepat itu sih?”
“Yah…katanya sih emang gitu. Coba deh Teteh nelpon ortu Teteh!”
“Oke deh… Semoga bener apa yang kamu bilang!”
Teh Desi segera berlari kembali ke kamarnya.
Aku memakai jaket dan helm, lalu cabut ke kost mbak Dinda.
Sampai di kostan mbak Dinda, eh…dianya masih santai-santai aja.
“Mbak, jadi hunting motor baru ga sih? Kok belum siap-siap!”
“Jadi lah… Lagian ini baru jam 7 pagi… Mana ada showroom yang udah buka Ji?”
“Oh iya…ya…!”
Kepagian ternyata aku datangnya… Saking semangatnya.
Akhirnya aku minta dibuatin kopi aja sambil nunggu waktu buat hunting motor.
Lagi menyeruput kopi seteguk dan menghisap rokok satu isap…hpku berdering nyaring.
Nomer siapa nih? Ga ada di kontak. Angkat aja lah, siapa tahu penting…
“Halo..assalamu’alaikum…!”
“Wa’alaikum salam Ji…hiks..!” suara perempuan. Kok pake nangis ya?
“Ini siapa ya? Maaf, nomernya ga da di kontak!”
“Ini Teh Desi, Ji…hiks!”
“Oh..teh Desi… Ada apa Teh? Kok pake acara nangis gitu?”
“Ah…maaf Ji. Saking senangnya, aku sampai nangis kayak gini.”
“Syukur deh kalo nangis karena senang. Dapat lotre ya Teh?”
“Hush…kamu ada2 aja.. Ternyata bener yang kamu bilang Ji… Adikku ternyata sudah sembuh. Dan sekarang sudah normal lagi!”
“Alhamdulillah…aku ikut seneng Teh…tapi ga mau ikut nangis lho?”
“Ah..kamu Ji. Makasih banyak atas bantuanmu ya Ji?”
“Sama sama Teh… Bersyukur pada Allah aja Teh.. Semua karena kehendakNYA.”
“Iya Ji… Sekali lagi makasih banyak. Nanti tolong kirim nomer orang pinternya ya? Aku mau berterima kasih secara pribadi!”
“Nanti ya Teh, kalau udah di kost aja. Sekarang aku lagi mau pergi sama kakak sepupuku!”
“Oke Ji.. Hati-hati di jalan. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam”
Telpon ditutup dan aku terlonjak kaget….
“Hayo..teleponan ma siapa?”
Suara mbak Dinda mengagetkanku.
“Duh…kaget aku Mbak!”
“Hihi…kayaknya asik banget teleponan. Sama cewe ya? Kenalin dong sama Mbak!”
“Cewe sih iya, tapi temen kost mbak. Mungkin kalau sekampus, seangkatan lah sama mbak Dinda!”
“Kayaknya serius banget…!”
Aku ceritakan saja tentang kejadian yang menimpa adik Teh Desi, kecuali cerita tentang kejadian antara aku dan ki Patih.
‘Oh..gitu ceritanya. Kasihan juga ya? Yuk ah..berangkat!”
“Bentar mbak, ngabisin kopi dulu… Sayang nih!”
“Iya deh… !”
Singkat cerita, ki sudah sampai di showroom motor yang dituju mbak Dinda. Karena sudah punya gambaran motor yang mau dibeli, ya tinggal nunjuk aja, bayar , pulang.
Simple ya.kalo jadi orang kaya.