Hujan turun dengan lebat malam ini. Aku sudah pulas di dalam selimut…
Aku seperti dibangunkan seseorang. Aku terbangun dan bingung melihat sekelilingku.
Di mana aku ini? Seperti di sebuah Istana.
Rasa takut menghinggapi hatiku. Aku mencoba memanggil Nyi Among dan Saloka.
Tapi berkali-kali kupanggil, tak ada tanda-tanda mereka datang.
Aku semakin ketakutan. Berada di tempat asing, sendirian tanpa teman.
Dan yang lebih menakutkan, aku tidak tahu ini dimana.
Bagaimana aku pulang nanti?
Takut dan bingung…itu yang terjadi pada diriku.
“Selamat datang di kerajaanku!” sapa seseorang
Aku menoleh ke arah datangnya suara.
“Ki Patih….?”
“Hahaha…betul Bayu Satriaji, keturunan Ki Panembahan. Maaf membuatmu bingung. Aku memang membawamu kemari tanpa sepengetahuanmu!”
Aku menarik nafas lega, minimal aku kenal pemilik tempat ini.
“Ada perlu apakah kiranya Ki Patih membawaku kemari?”
“Marilah masuk dulu.. Tidak baik berbicara di luar!”
Ki Patih beranjak masuk ke dalam istana, aku mengikutinya.
Di setiap tempat, berdiri beberapa prajurit dengan tampang seram sekali. Berbadan besar, hitam dan bertaring dengan bulu-bulu kasar di dada, tangan dan kakinya.
Masing-masing memegang senjata yang berbeda-beda.
Ada yang membawa gada, pedang, golok, tombak, dll.
Saat ki Patih melewati mereka, semua memberikan hormat pada Ki Patih.
Aku bergidik melihat bentuk mereka.
Ki Patih membawaku ke sebuah ruangan luas seperti pendopo.
Aku lalu disuruh duduk di sebuah kursi.
Ki Patih duduk.di hadapanku, terhalang sebuah meja bulat.
Tak lama masuk para dayang membawa santapan dan minuman. Prajuritnya serem, dayangnya cantik-cantik. Mataku dimanjakan dengan kemolekan para dayang.
“Silahkan diminum dan dimakan Bayu. Tenang saja, ini adalah makanan yang diambil dari duniamu. Jadi halal untuk engkau makan!” kata Ki Patih.
“Terima kasih ki Patih..!” kataku sambil mengambil minuman yang disediakan dan meminumnya.
Saat minuman itu masuk ke perutku, terasa ada hawa hangat memenuhi badanku.
“Minuman itu adalah minuman yang diracik oleh tabib kerajaan Pasundan jaman dulu. Gunanya untuk meningkatkan kekuatan tubuh, dan meningkatkan tenaga dalam di tubuh.”
“Ah…betapa ini sebuah anugerah yang sangat berharga Ki Patih!”
“Sudahlah, ini adalah bentuk balas budiku pada Ki panembahan. Dia adalah sahabatku, sekaligus penolongku. Jadi anggaplah ini sebagai hadiah dariku!”
“Terima kasih ki Patih. Juga terima kasih atas pertolongan Ki Patih pada adik teman saya waktu itu!”
“Sebenarnya, aku memanggilmu ke sini, adalah ingin menitipkan sebuah ilmu yang dulu diajarkan oleh Ki Panembahan padaku.
Sebelum mengajarkan ilmu itu, dia berpesan supaya kelak aku menurunkan ilmu itu pada keturunannya. Dia sudah meramalkan bahwa aku akan bertemu dengan keturunanya suatu hari!”
“Maaf Ki Patih, ilmu apakah itu?”
“Ilmu ini adalah ilmu untuk menaklukkan makhluk ghaib. Dengan ilmu ini, kau akan mempunyai perbawa yang hebat di hadapan makhluk ghaib. Bukan cuma itu saja, dengan ilmu ini, kau bisa juga meningkatkan kemampuan ilmu silat batinmu.”
“Wah…pasti berat sekali syaratnya!”
“Tidak berat, karena aku akan mentransfer ilmu ini padamu. Jadi kau tidak perlu berlatih lama, cukup rutin berlatih untuk meningkatkan daya ilmu ini!”
Lalu aku diajak masuk ke sebuah ruangan seperti kamar, namun tidak ada benda apapun di situ selain sebuah tikar dan 2 buah bantal duduk.
“Nah, duduklah di bantal itu. Aku akan mulai menurunkan ilmu itu padamu. Pusatkan pikiranmu, konsentrasi dan jangan mengadakan perlawanan saat ada yang masuk ke dalam tubuhmu!”
Akupun mengiyakan dan duduk bersila. Ki Patih duduk di belakangku.
Aku menyatukan kehendak, memusatkan pikiran dan berkonsentrasi.
Tak lama, terasa telapak tangan Ki Patih menyentuh ubun-ubunku, lalu terasa hawa hangat keluar dari tangan itu dan merasuk ke dalam tubuhku melalui ubun-ubunku.
Pertama, rasanya nyaman sekali, tapi semakin lama semakin panas dan sangat panas.
Aku menggigit bibirku, menahan hawa panas yang terasa membakar tubuhku.
Lambat laun, hawa panas itu menjadi hangat, lalu sejuk, dingin dan semakin dingin…hingga gigiku berkriut menahan dingin yang amat sangat. Badanku menggigil.
Untunglah tidak lama kemudian, hawa dingin itu berubah menjadi hangat dan sangat nyaman.
Sangat nyaman…hingga aku tertidur.
Aku tersentak bangun. Tubuhku berkeringat. Ah…ternyata cuma mimpi.
Aku berada di kamarku…
Tok…tok…tok…
“Aji…aji….!” suara Teh Desi memanggilku.
“Iya…!” sahutku sambil beranjak bangun dan membuka pintu.
Begitu melihatku, Teh Desi segera menubruk dan memelukku.
Dia menangis sambil mengucap hamdallah berulang kali.
Wah…ada apa ini?
Di depan kamar, kulihat seluruh penghuni kost berkumpul.
Ada apa ini?
Aku melepaskan pelukan Teh Desi dan bertanya..
“Ada apa Teh? Teteh kok nangis?”
Teh Desi ga menjawab, hanya terisak saja.
“Ada apa mas Didit? Kok pada kumpul di sini!”
“Hadeeh…harusnya kami yang nanya, ada apa… !”
“Lho memang kenapa Mas?”
“Kamu tuh tidur kayak kebo ya? Diketok-ketok, dipanggil-panggil ga bangun-bangun. Bikin panik orang aja!”
“Lah…perasaan aku tidurnya biasa deh!”
“Biasa dari mana? Kamu dan tidur sehari semalem tahu?”
“Ah masak… Kayaknya cuman sebentar. Ini hari Jumat khan ya?”
“Ini hari Sabtu Ji…. Ngimpi ya kamu?”
“Ah..iyakah. Berarti aku tidur lebih 24 jam lebih?”
“Duh…baru nyadar dia. Tuh si Desi sampe panik banget, kamu ga bangun-bangun dari kemarin!”
“Hehe…maaf deh semuanya. Mungkin aku kecapekan banget, sampai tidur lama banget!” kataku meminta maaf pada semuanya.
“Terima kasih, sudah perhatian sama aku ya mas dan mbak semua… Sekali lagi maaf, sudah bikin panik semua!”
“Ya sudah… Asal kami tahu kalo kamu ga papa, kami udah lega kok. Yuk, pada balik semua!” ajak mas Anto pada yang lain.
Akhirnya, semua pergi dari kamarku kecuali Teh Desi.
Dia memandangku dengan takjub…seolah ada yang aneh di wajahku.
Kemudian, Teh Desi lari ke kamarnya. Aku cuman mengangkat bahu, dan mengambil minum. Rasanya kok haus banget.
Habis minum, aku mandi.
Kulihat jam 9 malam. Dah malam.
Wah berapa sholat yang aku lewatkan? Harus Qodho sholat nih.
Akupun meng-qodho sholat yang kulewatkan berdasar keterangan mas Didit bahwa aku tidur selama sehari semalam.
Selesai sholat, aku berpikir…sepertinya aku cuma sebentar di tempat Ki Patih…tapi ternyata sampai satu hari satu malam.
Kruyukkk…perutku berbunyi.. Duh laparnya…
“Ji…bukain pintu Ji!”
“Iya Teh….!” aku membuka pintu dan melihat Teh Desi berdiri di depan pintu dengan sebuah bungkusan plastik.
“Iya Teh…ada apa?”
“Nih, aku beliin nasi padang sama es jeruk. Kamu pasti lapar!”
“Duh…jadi ngerepotin nih Teh…!”
“Udah..kayak sama siapa aja! Buruan dimakan!”
Aku segera makan nasi padang yang dibelikan Teh Desi, sambil ditunggui Teh Desi.
Aku makan dengan lahap, seperti orang yang sudah seminggu ga makan..