Liburan semester datang juga, aku memutuskan untuk pulang ke daerah asalku.
Dengan mengendarai motor, aku menempuh perjalanan selama 3 jam sebelum sanpai di rumah.
Cuaca mendung menyambutku saat aku tiba di rumah.
Bapak menyambutku dengan pelukan hangatnya.
Seorang gadis manis keluar dari rumah dan langsung menghambur dalam pelukanku.
Aku mengelus kepalanya penuh rasa sayang.
“Mas…kangen banget sama Mas Aji!”
“Sama Dek, maa juga kangen banget. Gimana sekolahmu?”
“Biasa aja Mas… Ini Mas Aji lagi libur po?”
“Iya… Libur semeateran ini!” kataku.
“Gimana nilaimu semeater ini Le?” tanya bapak. Le ..panggilan yang lama tak kudengar. Panjangnya, thole…sebutan untuk anak laki-laki.
Sedang untuk anak perempunan adalah Gendhuk, disingkat Ndhuk.
“Alhamdulillah Pak, dapt IP 3 koma dikit.”
“Alhamdulillah… Kalo bisa ditingkatkan lagi lho!”
“Insya Allah Pak…!”
“Mas libur berapa lama Mas?” tanya gadis manis itu.
Oh iya…kenalin, gadis manis itu adalah adikku satu-satunya.
Namanya Anindya, sering dipanggil Nindya sama temen-temennya. Tapi aku manggilnya Anin…hehe.
Dia duduk di SMA kelas dua…kalau sekarang kelas XI.
“Mas libur dua minggu!”
“Asyik…bisa dolan-dolan kkta Mas…?”
“Senengnya kamu ndhuk. Mbokya masmu itu diambilin minum dulu, pasti capek dan haus dia!”
“Eh..iya Pak. Lupa…hihi.. Saking senengnya ketemu mas Aji!” ujar adikku yang langsung masuk ke dalam untuk menyiapkan minuman.
‘Masuk dulu aja Le..Kamu istirahat dulu aja. Pasti capek to?”
“Iya Pak.. Aji masuk dulu ya Pak!”
“Iya… Kalo laper, langsung makan aja. Adikmu sudah masak itu!”
“Iya Pak…!”
Aku segera masuk dan meletakkan tas ranselku dl kamar.
Ambil handuk, lalu segera pergi ke kamar mandi.
Setelah mandi, badanku terasa segar. Saat aku melintas di dekat ruang tamu, aku melihat seorang wanita setengah tua dengan dandanan Jawa yang tersenyum padaku.
‘Apa kabar nyai?” sapaku dalam batin.
“Baik Den Mas… Selamat datang di rumah kembali?”
“Terima kasin Nyai… ?”
Wanita itu tersenyum.
Wanita itu adalah jin penunggu rumah ini. Rumah warisan kakekku.
Namanya Nyai Ajeng Mlati. Dia sudah ada sejak dulu. Entah siapa yang dulu menyuruhnya menjaga dl rumah ini.
Mungkin kakek moyangku atau entah siapa.
Aku kembali ke teras rumah. Sudah tersedia dua gelas kopi dan sepiring pisang goreng kegemaranku.
Bapak masih s
Di teras, sambil menikmati burung perkutut yang sedang berkicau.
Bapak memang penggemar burung perkutut.
Beliau suka perkutut jawa…bukan yang bangkok.
Aku sendiri ga begitu tahu tentang burung.
Menurut bapak, kalau mau memelihara perkutut jawa, harus tahu katuranggannya. Katuranggan ini boleh dibilang ciri khusus lah.
Karena kata Bapak, perkutut jawa itu punya sifat yang bisa mempengaruhi pemiliknya.
Entahlah…aku juga ga tahu.
Yang kutahu, sekarang saatnya ngopi dan makan pisang goreng..mumpung masih panas…hehe.
Anin keluar dengan segelas teh dan duduk di sampingku.
“Pak..kopinya diminum dulu. Nanti keburu dingin!”
“Iya Ndhuk…!” bapak duduk di dekat kami.
Kamipun menikmati minuman dan pisang goreng bersama. Sambil ngobrol tentang berbagai hal…
Hangatnya keluarga yang selalu kurindukan selama di rantau.
Dan ada yang lebih kurindukan…yaitu sosok seorang ibu.
“Dik, nanti ba’da ‘Ashar, temenin mas nyekar ya?”
“Iya Mas.. Aku juga kangen, mau nengok makam ibu!”
“Bapak nggak ikut sekalian?” tanyaku.
“Bapak baru dua hari lalu dari sana! Kalian berdua saja!”
Usai menikmati kopi, bapak masuk untuk istirahat siang.
Aku masih ngobrol dengan Anin..
“Assalamu’alaikum…” terdengar suara cewe mengucap salam.
“Wa’alaikum salam…!” jawab kami bersamaan.
“Eh…Lisa.. Sini Lis!” kata Anin.
“Iya…!” gadis itu melirikku sebentar, lalu duduk dekat Anin.
“Lis…kenalin nih, ini kakakku. Namanya Mas Aji! Mas, ini Lisa temenku… Baru 3 bulan pindah ke sini!”
Aku mengangguk dan tersenyum pada Lisa. Lisa membalas senyumku. Cantik juga temen Anin ini, pikirku.
Daripada mengganggu mereka, aku pamit masuk.
Aku segera menuju kamarku untuk beristirahat sambil menunggu waktu dzuhur.
Ga terasa aku tertidur, sampai tak mendengar adzan dzuhur.
Untung bapak membangunkanku dan aku sholat berjamaah dengan Bapak. Jadi inget waktu kecil dulu, selalu diajak sholat.berjamaah dengan bapak sebagai imam, dan aku serta ibu makmumnya. Anin masih kecil banget waktu itu. Suka minta gendong bapak, saat.bapak sedang sujud.
Ah…aku bersyukur punya keluarga yang hangat. Walaupun bukan dari keluarga yang mampu, namun kami bahagis, saling menyayangi.
Ah…jadi inget ibu lagi. Kangen rasanya dengan sosok ibu.
Sebagai gambaram, bapak adalah orang yang tegas, tapi sangat jarang memarahi kami.
Ibu adalah seorang waniya yang halus dan sangat sabar. Tak pernah kami dijewer, atau dicubit, apalagi dipukul.
Sayang, ibu tidak berumur panjang.
Setelah Ashar, aku dan Anin.berangkat ke makam. Mau nyekar si makam ibu. Kami sudah membawa bunga yang kami.beli di penjual bunga di pasar gedhe. Pasar paling besar di kotaku.
Aku langsung menuju makam ibu yang terlihat bersih terpelihara. Bapak selalu membersihkan makam ibu, minmal seminggu sekali.
Aku menaburkan bunga di makam ibu, Anin berbuat serupa.
Lalu kami berdua memdoakan ibu.
Bu…anakmu datang. Semoga ibu bahagia di alam sana.
Dadaku terasa sesak, air mataku mulai menetes satu persatu.
Aku begitu kangen dengan ibu.
Anin juga menangis tanpa suara. Kami rindu pada ibu, tapi hanya bisa sebatas rindu, karena kami tak bisa bertemu.
Hanya lantunan doa yang bisa kami panjatkan.
Sudah cukup lama kami di makam. Aku menepuk bahu Anin,.dan mengajaknya pulang.
Anin menurut. Sesekali kami menengok ke belakang, melihat makam ibu.
Kami berjalan.sambil.kupeluk bahu Anin. Anin memeluk pinggangku. Kami berjalan bersama.pulang ke rumah.
Beberpa orang yang kami kenal menyapa kami, yang kami balas dengan sama ramahnya dengan mereka.
Berjalan 20 menit, sampai juga kami di rumah. Tampak ada Lisa duduk di teras, ditemani bapak.
Ketika kami datang, bapak masuk ke rumah. Anin menghampiri Lisa, sementara aku hanya tersenyum pada Lisa, lalu menyusul bapak ke dalam.
“Bapak tampak sedang menonton TV smbil menikmati.kopi. Aku ke dapur membuat kopi dan duduk.di dekat bapak.
” Pak.. Aji pengin tanya sesuatu?”
“Tanya aja Ji… Kayak sama aiapa aja!”
“Tapi bapak jangan marah lho ya?”
“Emangnya, berapa sering kamu melihat bapak marah?”
“Hehe…seumur hidup.Aji, paling bisa dihitung dengan jari bapak marah!”
“Nah itu tahu.. Kamu mau tanya apa?”
“Emm… Bapak emang ga kepikiran buat nikah lagi?”
Bapak terdiam..seperti ada yang dipikirkan.
“Kenapa kok kamu nanyain hal itu?”
‘Ya pengin tahu aja Pak!”
“Beberapa kali sebetulnya bapak kepikiran buat.nikah lagi, tapi berbagai pertimbangan membuat bapak mengurungkan niat itu!”
“Kenapa Pak?”
“Pertama, bapak masih punya tanggungan menyekolahkan ku dan adikmu. Kalau bapak nikah lagi, tentu akan memberatkam.bapak dalam.hal finansial.
Kedua, bapak masih selalu teringat pada ibumu.
Ketiga, bapak tidak tahu, apakah kalian dan calon ibu tiri kalian bisa saling menerima atau tidak!”
“Tapi, bagamana dengan kebutuhan.biologis bapak?”
‘Bukan hal susah untuk masalah itu. Bapak bisa puasa senin kamis, bisa melakukan kegiatan untuk menyibukkan diri?”
“Bapak ga kesepian?”
“Kan ada adikmu di rumah. Mungkin malah adikmu yang merasa kesepian sejak kamu kuliah?’
Ah..bapak. Beliau tidak pernah berhenti memikirkan anak-anaknya. Selalu anak-anaknya yang menjadi prioritas.
Aku menghampiri bapak dan sungkem padanya. Menghaturkan terima kasih atas segala peehatian dan pengorbanannya selama ini.
Bapak .memgelus kepalaku dengan sangat lembut.
Kulihat setitik air mata menetes di matanya. Tapi beliau tersenyum.