Malam harinya, aku duduk di teras sendirian, berteman kopi, sebungkus rokok dan pisang goreng yang sudah dingin.
Bapak dan Anin sudah tidur…sudah larut malam.
Aku belum bisa tidur karena siangnya sudah tidur.
Lagi asik ngopi dan ngerokok, tiba-tiba Saloka nongol di depanku.
Untung ga keaelek kopi karema kaget.
“Duh..bikin kaget aja kamu!” tegurku.
“Hihi…makanya Den, jangan ngelamun!”
“Siapa yang ngelamun? Kamu aja yang tiba-tiba nongol!”
“Hihi..iya, maaf ya Den…?”
“Ada apa tiba-tiba nungul sih?”
“Ada firasat ga enak Den. Seperti akan ada hal buruk yang bakal terjadi!”
“Oh ya? Sudahlah…serahkan semuanya pada Allah saja. Apapun yanh akan terjadi, ya kita hadapi dengan jiwa besar!”
“Iya den… Aku boleh duduk di sini nemenin Aden kan?”
“Ya boleh… Apalagi kalo sambil.joget-joget biar aku tonton!” candaku.
“Hihi..aden ada ada aja deh!”
Dengan hadirnya Saloka, aku jadi ga sendiri lagi. Ada temen ngobrol.
Sementara jalan di depan rumah sudah sepi.
Tak ada lagi motor yang lalu lalang.
Cuman sesekali, ada makhluk astral lewat. Ga tahu mau kemana. Mau nanya, entar dikira kepo…
Lagi asik ngobrol dengan Saloka, tiba-tiba aku merasakan ada aura jin yanh datang. Aura hitam…yang sepertinya aku kenal.
Tapi siapa ya? Kok lupa lagi deh..
Tak usah mwnunggu lama, jawaban sudah terpampang di depan mata.
Jiah…nenek-nenek yang di kebun tadi rupanya.
Mau apa dia menyantroni rumahku?
Mau balas dendam kah?
Saloka tampak sudah bersiaga, siap tempur… Tinggal tunggu komando…
Nenek itu sekarang tidak sendiri. Di belakangnya, berbaris puluhan serigala yang garang, bermata merah dan besar seperti kerbau.
Aku bergidik juga melihatnya.
Serem banget lihat tampang serigala itu.
“Siapa kamu sebenarnya, dan apa maumu?” tanyaku pada nenek itu.
“Aku ingin membalas kekalahanku tadi!”
“Tunggu dulu… Tadi pagi, kau yang menyerangku lebih dulu. Kenapa malah mau balas dendam? Kenapa pula kau menyerangku tadi pagi?”
“Aku menyerangmu karena kamu sudah mengacak-acak rumahku. Kebun tadi adalah rumahku. Dan kau sudah mengacak-acaknya!”
“Lho, kebun itu milik bapakku. Terserah aku mau ngapain aja di sana!”
“Tapi itu rumahku…!”
“Selama ini kalo aku bersih-bersih di situ juga ga ada masalah apapun. Emang berapa lama kamu tinggal di situ?”
“Baru 3 hari waktu manusia. Baru selesai membangun rumah, malah kau acak-acak!”
“Itu kan kebun bapakku. Dan aku ga tahu kalo itu rumahmu. Aku sarankan, carilah tempat tinggal yang lain… Jangan di kebun bapakku. Kalo sampai rumahmu diacak-acak, ya jangan salahkan kami!”
“Aku ga peduli, kamu sudah merusak rumahku… Jadi aku akan memberi pelajaran padamu!”
Wah, jin ngeyel ini. Bikin emosi saja deh.
“Lalu, sekarang apa maumu?”
“Membunuhmu….!”
“Silahkan kalau kau mampu. Umur itu Allah yang atur…bukan kamu!”
“Biar aku yang menghadapi Den!”
Belum selesai Saloka berbicara, nenek itu melancarkan serangan padaku. Seberkas cahaya hitam memancar dari tangannya.
Saat Saloka hendak memapak serangan itu, gerombolan jin serigala itu maju mengeroyoknya.
Jadilah Saloka sibuk dikeroyok puluhan Serigala.
Kacau ini…
Aku meloncate menghindari pukulan jin nenek itu.
Huft…nyaris… Pukulan itu lewat cuma 5 mili di depanku. Masih kurasakan hawa panas pukulan itu. Ga bisa kubayangkan kalau aku kena pukulan itu.
Segera kupasang perisai ghaib melindungi seluruh badanku.
Kusalurkan tenaga batinku ke kedua tanganku.
Nenek itu mulai menyerangku lagi dengan pukulan yang sama.
Aku menyambut pukulan itu dengan pukulan juga.
BLARR….dua tenaga pukulan berbenturan di udara, menimbulkan suara ledakan.
Aku tergetar mundur selangkah…
Kulihat nenek itu agak sempoyongan.
Wah…masih.bisa kuatasi ini.
Aku diam menunggu…. Dasarnya aku ga suka bertarung, jadi aku ga menyusuli dengan serangan kedua.
Kubiarkan nenek itu berdiri tegak. Setelah tegak, nenek.itu menatapku penuh kebencian.
Dia melakukan gerakan aneh…seperti pendekar yang mengeluarkan ilmunya di TV.
Lalu tampak gulungan bola hitam di atas tangannya.
Aku bersiaga…kurapal ilmu yang diturunkan Ki Patih.
Tanganku berubah merah seperti bara api…
Saat nenek itu melontarkan bola hitam itu, aku menyambutnya dengan pukulan yang melontarkan hawa panas yang luar biasa.
Bola hitam itu bertemu dengan alur panas dari tanganku. Dan bola hitam itu melebur, hilang tak berbekas. Tak ada ledakan…
Nenek itu terhuyung mundur…lalu jatuh terduduk.
“Sudahlah, kita hentikan saja pertikaian ini.” kataku.
Nenek itu diam saja, lalu bersuit nyaring.
Tiba-tiba, sebagian gerombolan serigala itu menyerangku.
Aku dan Saloka jadi sibuk menghadapi serbuan gerombolan serigala itu.
Aku mencoba menghabisi serigala-serigala itu. Tapi seolah serigala itu tak ada habisnya.
Sepuluh hancur, datang lagi…dan lagi. Begitu terus.
Bagaimanapun kuatnya, tenagaku mulai menurun.
Kulihat Saloka juga kerepotan menghadapi barisan serigala itu.
Aku bingung, apa yang harus aku lakukan.
Tenaga mulai terkuras…
Tiba-tiba, kesiur angin pukulan datang ke arahku..
Aku menengok ke arah suara itu.
Nenek itu ternyata membokongku saat tenagaku mulai lemah.
Di tengah keroyokan serigala itu, aku tak mampu mempertahankan diri dari serangan itu.
Saat aku dalam posisi terjepit, sebuah sinar putih menghadang pukulan nenek itu.
BLARR…
Nenek itu terjungkal… Kulihat Nyi Among mendekati nenek itu.
Nenek itu mencoba bangun, tapi tak mampu. Nyi Among masih memjaga nenek itu. Mungkin supaya dia tidak membokongku lagi.
Tapi sungguh repot menghadapi geeombolan serigala ini.
Saloka tampak mulai melemah juga.
Saat itulah aku teringat ki Sardulo Seto.
Belum aku memanggilnya, Ki Sardulo Seto sudah muncul di hadapanku.
Dia melihat pertarungan yang terjadi, lalu menundukkan kepala.
GROARRR….
Aku terkejut mendengar suara itu…
Aku menengok, dan kulihat di belakang Ki Sardulo Seto sudah berbaris puluhan ekor harimau.
Ki Sardiulo seto segera memerintahkan pasukan harimaunya untuk melabrak gerombolan serigala itu.
Karena menengok, aku kehilangan kewaspadaanku. Sebuah cakaran dari seekor serigala mengenai dadaku. Aku terlempar sejauh 1 meter. Untunglah tubuhku diselimuti energi perisai, sehingga tak ada luka, hanya bajuku yang sobek seperti diiris benda tajam.
Ki Sardulo Seto mendekatiku..
“Bagaimana keadaanmu?’
” Aku baik-baik saja Ki!’
“Beristirahatlah, biar ini menjadi urusanku!”
“Baik Ki, terima kasih!”
Ki Sardulo.tak menjawab. Tubuhnya berubah menjadi Macan Putih, dan menyerbu ke tengah gelanggang.
Saloka.yang sudah agak payah mendekatiku, dan menanyakan keadaanku.
Begitu tahu aku tak apa-apa, dia bernafas lega.
Aku melihat ke arah Nyi Among dan Nenek.itu.
Nenek itu duduk bersila, tampaknya untuk mengobati lukanya.
Nyi Among hanya diam dan menunggu saja.
Tiba-tiba, nenek itu membuka matanya dan berkata…
“Aku kalah kali ini… Tunggu pembalasanku!” katanya lalu melesat pergi. Nyi Among tidak memgejarnya.
Dia malah menghampiriku dan memeriksa kondisiku.
Tangannya ditempelkan di dadaku dan aku merasakan hawa sejuk merasuki dadaku dan memulihkan tenagaku.
Kami lalu menonton pertarungan tak seimbang antara pasukan harimau dan serigala. Satu persatu, serigala itu musnah menjadi asap.
Sisanya melarikan diri. Saat pasukan harimau hendak mengejar yng melarikan diri, Ki Sardulo mencegah anak.buahnya.
Harimau-harimau itu lalu berhenti dan berkumpul di hadapan Ki Sardulo. Entah apa yang dikatakan ki Sardulo, tapi tak lama kemudian, semua harimau itu menghilang.
Suasana kembali sepi…
Aku mengucapkan terima kasih pada ki Sardulo…
Ki Sardulo hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu perlahan sosoknya menjadi kabur dan hilang dari pandangan.
Aku dan Nyi Among serta Saloka, kembali masuk rumah. Badanku rasanya lelah banget.
Aku segera mandi, lalu tidur…
Lelah..