Di tengah angin yang bertiup.kencang….muncullah sebentuk asap hitam yang bergulung-gulung…..mendekati pohon trembesi.
Perlahan…gumpalan asap itu membentuk sebuah sosok….
Sosok itu semakin jelas dan bertambah jelas.
Ternyata sesosok kunti yang berpakaian merah darah…
Kunti merah……
Wah, sepertinya kuat sekali dia.. Dapat kurasakan dari auranya yang sangat pekat.
Akupun mempersiapkan dlri…menyalurkan energi batin ke seluruh tubuh, dan menyiapkan tanganku dengan tenaga dalam.
Saloka dan Zulaikha sudah bersiaga penuh.
“Hihihi……!” tawa seram kunti itu membahana dan menggetarkan hati yang hadir di situ.
Pak Kyai tak bergeming, beliau tetap membaca ayat suci. Tapi jamaah sudah mulai keder dengan hadirnya kunti itu.
Pak Kyai menatap setiap gerakan kunti itu, sambil mulutnya terus melafalkan ayat suci. Aku masih mengikuti bacaan pak Kyai.
Dengan tawanya yang mengerikan, kunti itu melayang peelahan mendekati pak Kyai.
Pak Kyai berdiri dari duduknya dan bersiaga…kulihat tangannya mulai berpendar cahaya putih.
Siap menghadapi serangan kunti itu.
Sementara bapak-bapak yang ikut, mulai mundur perlahan-lahan.
Setelah dirasa cukup jauh, mereka berserabutan lari menjauh…
Aku kembali memandang pada kunti itu dan pak kyai.
Tiba-tiba, kunti merah itu melesat cepat dan menyerang pak Kyai.
Pak kyai dengan sigap menghindari serangan kunti itu.
Pertarungan tak terhindarkan lagi.
Jual beli pukulan berlangsung seru.
Pak Kyai dengan seluruh kemampuannya menyerang dan menangkis serangan kunti itu.
Tapi kunti itu bergerak semakln cepat dan auranya bertambah hebat. Pukulan-pukulannya semakin ganas. Kuku jarinya yang panjang, disabetkan berkali-kali, dan menimbulkan jalur sinar merah yang merangsek pak Kyai.
Perlahan, tampak pertahanan pak Kyai mulal goyah…
Saatnya untuk turun tangan nih…pikirku.
Aku berlari menuju ke arah pertempuran.
Saloka dan Zulaikha mengikutiku.
Saat itu, aku lihat kunti merah itu meningkatkan tenaganya…semua kuku jarinya tampak merah menyala.
Saat kunti itu memgibaskan lengannya, serentak aku berteriak dan melepaskan pukulan jarak jauh, memapaki serangan kunti merah itu.
Dari sampingku, melesat pula sinar kuning dan jingga, membarengi pukulanku.
Pak Kyai juga melontarkan pukulan sepenuh tenaga.
Satu serangan melawan 4 pukulan.
BLARRR…….
Dentuman yang sangat keras akibat adu pukulan itu menggetarkan tanah yang kupijak.
Kunti merah itu terlontar ke belakang hingga 3 meter, sebelum akhirnya berhasil menetralisir tenaga dorongan gabungan kami ber-4.
Aku menghampiri Pak Kyai….
“Pak…silahkan istirahat dulu. ” kataku, karena kulihat beliau sudah sangat payah.
Usia memang tidak bisa berbohong… Fisik beliau sudah tidak sebanding dengan kemampuan batin.
“Baik nak Aji… Beehati-hatilah.. Makhluk itu sangat kuat!” kata beliau.
“Iya Pak… Doakan saya pak Kyai…!”
Pak Kyai mengangguk dan duduk bersila, lalu bermeditasi, memulihkan stamina yang sempat terkuras.
Aku berdiri didampingi Saloka dan Zulaikha, menghadapi kunti merah yang tampak meradang karena marah.
Matanya berkilat memandang kami bertiga.
Kukunya bertambah panjang dan membara.
Wah…bahaya nih…
“Gunakan senjata….!” kataku pada Saloka dan Zulaikha.
Saloka segera mengeluarkan selendang kuning gading.
Zulaikha mengeluarkan pedang tipisnya yang berkilat-kilat.
Aku memanggil Kyai Cemeng..dan muncullah tombak itu di tanganku.
Tombak itu memancarkan sinar hitam gemerlap…
Kunti itu berteriak nyaring dan membabat kami dengan kuku-kukunya yang merah membara.
Kami berpencar dari tiga penjuru.
Aku berhadapan dengan kunti itu, Saloka di sisi kanan, Zulaika di sisi kiri.
Dengan selendangnya, Saloka mencoba menangkap tangan kunti itu. Selendangnya berputar-putar indah namun kadang ujungnya mematuk bagai kepala ular.
Zulaikha membalingkan pedang tipisnya, menangkis serangan kuku kunti itu.
Trang…trang…bunyi yang ditimbulkan oleh benturan pedang tipis Zulaikha dan kuku kunti merah itu. Seperti beradunya dua senjata logam yang saling berbenturan. Bunga-bunga api tampak bertebaran.
Aku mencoba lebih dekat ke kunti itu, agar bisa melepaskan serangan dengan tombak yang hanya sepanjang 1 meter itu.
Wush….aku meloncat mundur. Serangan kuku kuntilanak itu nyaris mengenaiku.
Wuah…pannaaass…..
Padahal cuma terkena angin serangannya saja, tapi rasanya begitu panas.
Aku meningkatkan energi pelindung badan supaya tidak cidera..
Aku memusatkan tenaga pada tombakku. Pendar cahaya hitamnya makin berkllap .
Saat kunti itu menyerangku, kusambut dengan sabetan tombak ku. Selarik cahaya hitam memancar keluar dari tombakku.
TRAANNGGGG….benturan antara tombak dan kuku jari kunti itu.
Sebuah jeeitan menggema Cumiakkan telingaku.
Kunti itu mundur dan memandang tangannya.
Ternyata tangan kanannya terpapas kutung jarl-jarinya…