Senja hari di bulan oktober 1979
Hembusan angin yang bertiup lembut mengiringi semakin memudarnya cahaya sang surya, diantara rasa nanar yang masih menggelayuti kedua bola mataku ini, kudapati selimut kegelapan telah menyelimuti keberadaan jendela kamar yang bergerak gerak mengikuti arah hembusan angin, mendapati hal itu, aku segera beranjak bangun dari tempat tidur lalu menutup jendela kamar
“ hoammm….” gumamku seraya menyalakan lampu kamar, dan mendapati bahwa jam telah menunjukan pukul setengah enam sore, dan hal itu menjadi tanda bagi aku untuk segera bersiap siap guna menyambut azan magrib yang tidak lama lagi akan berkumandang
“ akhirnya kamu bangun juga tang….”
“ ah ambu…masa iya sih atang enggak bangun bangun…” jawabku singkat, lalu beranjak menuju ke kamar mandi, namun belum sempat aku membuka pintu kamar mandi, suara rintihan yang terucap dari mulut ibu, kini telah membuatku menolehkan pandangan mata ini ke arah ibu, nampak terlihat ibu tengah menghempaskan tubuh kecilnya ke kursi
“ kambuh lagi mbu sakit kepalanya…?
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, ambu menganggukan kepalanya
“ sebaiknya ambu memeriksakan diri lagi ke dokter, atang takut mbu…sakit kepala yang telah
ambu alami itu bukan sakit kepala biasa….” ucapku diantara pergerakan tangan ambu yang tengah mengambil beberapa helai kelopak bunga dari dalam piring lalu memakannya, entah sudah berapa lama ambu melakukan semua kebiasaannya itu, namun yang pasti di saat aku masih kecil, ambu telah melakukan hal itu, dan menurut ambu, hal itu dilakukan berdasarkan saran dari orang pintar guna mengatasi rasa sakit dari sakit kepala yang dirasakannya
“ kamu ini tang…kamu kan pernah ikut dengan ambu ke dokter, dan kamu sudah dengar sendiri kan jawabannya…mereka sendiri bingung dengan penyakit apa yang ambu alami ini…”
“ tapi mbu…enggak ada salahnyakan jika kita kembali memerik…”
“ sudahlah tang…sebaiknya sekarang kamu mengambil air wudhu dan menyusul abah ke masjid…” potong ambu dan berbalas dengan keterdiamanku, mendapati perkataan ambu yang memutus kemungkinan untuk melanjutkan pembicaraan ini, aku segera memasuki kamar mandi guna membersihkan diri dan juga mengambil air wudhu
“ penyakit aneh…mengapa penyakitnya itu hanya kambuh di saat waktu magrib seperti ini…” gumamku diantara suara kumandang azan magrib yang mulai terdengar, mendapati hal tersebut, aku segera menyelesaikan mandi, hingga akhirnya selepas berwudhu dan berganti baju, aku langsung menuju ke sebuah masjid yang keberadaannya bisa dikatakan cukup jauh dari rumahku ini, untuk sekedar gambaran, kampung yang menjadi tempat tinggalku ini, adalah sebuah kampung yang letaknya cukup terpencil dengan banyaknya pepohonan besar serta semak ilalang sebagai ornamen penghiasnya, akses dari kampungku menuju ke kota hanyalah mengandalkan kahar, yang pada akhirnya harus melanjutkan dengan mobil angkutan umum yang jumlahnya sangat terbatas, hampir bisa dikatakan sebagian besar mata pencaharian warga kampungku ini adalah sebagai penggarap sawah,ladang dan beternak, sedangkan untuk bentuk bangunan rumah di kampungku ini, rumah rumah warga kampung masih dibangun dengan menggunakan kayu, sedangkan jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain cukup berjauhan, dan yang lebih menyedihkan lagi, hampir sebagian besar rumah di kampungku ini masih menggunakan penerangan tradisional yang dibuat sendiri (obor) sebagai sumber penerangan utama di luar rumah, sedangkan untuk penerangan di dalam rumah, warga kampung menggunakan lampu semprong, genset hanya digunakan pada aula kampung, masjid, dan juga rumah rumah yang mempunyai tingkat perekonomian yang baik, salah satunya adalah rumahku
Atang Karsa, yaa..delapan belas tahun sudah lamanya nama itu tersemat di dalam namaku, sebuah nama yang terlahir dari hasil pernikahan antara abahku yang bernama Icang Karsa dengan seorang wanita yang bernama Entin Hayati. Abahku adalah seseorang yang mempunyai kedudukan terhormat di kampung ini, kedudukannya sebagai kepala desa di kampung ini, telah membuat abah begitu dikenal oleh warga kampung ini dan juga warga kampung tetangga, namun dibalik kedudukannya yang terhormat itu, aku masih banyak mendengar info simpang siur dari mulut warga kampung yang menceritakan bahwa abahku banyak mempunyai musuh di saat saat masa pemilihan kepala desa di kampung ini, tapi bagiku semua info yang telah aku dapatkan itu, aku anggap sebagai info yang tidak bertanggung jawab, karena sangatlah tidak mungkin abahku yang bersifat penolong, rajin beribadah serta ramah pada warga sekitar, bisa mempunyai musuh seperti itu
“ assalamualaikum warahmatullahi…” salamku mengakhiri sholat, dan mendapati abah yang tengah duduk di sampingku, sepertinya saat ini abah memang sengaja menungguku mengakhiri sholat magrib
“ bah…” sapaku seraya mengecup tangan abah
“ tumben…kamu datang ke masjidnya telat tang…sampai sampai kamu ketinggalan sholat magrib berjamaah…”
“ iya bah…semalam itu atang agak sulit untuk tidur…”
“ sulit untuk tidur….?”
Abah mengarahkan tatapan matanya ke wajahku, sepertinya saat ini abah berharap adanya penjelasan yang lebih dari perkataanku itu
“ beberapa malam ini, atang bermimpi buruk bah….dan hal itu sangat mengganggu pikiran atang…”
“ kamu bermimpi apa tang…?”
Untuk sesekali kulayangkan pandangan mata ke beberapa warga kampung yang mulai meninggalkan masjid, beberapa diantaranya terlihat berpamitan kepada abah
“ atang bermimpi seekor ular hitam masuk ke dalam rumah kita, dan menggeliat geliat kesana kemari, entah tujuan ular itu hendak kemana, tapi di saat atang hendak mencari tahu….”
Mendadak aku menghentikan perkataanku, firasatku yang mengatakan bahwa ada seseorang diluar sana yang tengah memperhatikanku, kini telah membuatku melayangkan pandangan mata ini ke arah jendela masjid
“ ada apa tang….?” tanya abah dengan rasa heran
“ enggak ada apa apa bah….” jawabku seraya mengembangkan senyum
“ lanjutkan ceritamu itu tang….”
“ entah mengapa bah…di saat atang hendak mencari tahu, tiba tiba ular hitam itu berbalik arah ke arah atang dan menunjukan rasa tidak senangnya karena telah di ikuti…”
Mendapati perkataanku itu, terlihat abah mengernyitkan dahinya
“ maaf bah…bukannya atang lancang…boleh atang bertanya sesuatu…?” tanyaku dan berbalas dengan anggukan kepala abah
“ apakah benar abah…mempunyai banyak musuh…?”
“ banyak musuh, apa maksud dari pertanyaan kamu itu tang….”
Dengan tersenyum, abah menggeleng gelengkan kepalanya
“ maksud atang, apakah abah mempunyai banyak musuh sewaktu pemilihan menjadi kepala desa di kampung ini….?”
Mendapati pertanyaanku itu, abah terdiam sejenak, dan kini terlihat abah mengarahkan pandangan matanya ke wajahku
“ ini untuk kali ketiganya, abah menjadi kepala desa di kampung ini tang…apakah pernah kamu melihat abah mempunyai musuh, bahkan untuk pemilihan kepala desa yang kedua dan ketiga, sama sekali enggak ada kandidat lain selain abah…jadi mana mungkin abah mempunyai musuh…”
“ bagaimana dengan pemilihan kepala desa yang pertama bah…?” tanyaku penuh dengan rasa keingintahuan yang tinggi
“ ceritanya panjang tang…tapi saat itu justru abah yang nyaris menjadi korban dari persaingan dalam pemilihan kepala desa itu…”
“ maksud abah dengan korban dari persaingan itu apa…?”
“ abah diguna guna tang…abah nyaris mati…”
“ hahhh…” gumamku dalam rasa tidak percaya
“ untungnya saat itu abah masih diberikan keselamatan dan panjang umur, justru apa yang mereka lakukan itu, telah berbuah keburukan bagi mereka…”
“ berbuah keburukan..?, memangnya pesaing abah pada saat itu ada berapa….?”
“ ada dua orang tang…dan kedua pesaing abah itu kedua duanya menemui ajal karena perbuatan jahatnya itu, mungkin itulah yang dinamakan dengan karma…”
“ apakah pesaing abah itu sudah berkeluarga…? dan apakah mereka mengalami nasib yang sama…?”
Diantara pertanyaanku yang belum terjawab itu, terlihat seorang warga kampung yang semula sepertinya tengah mencuri dengar pembicaraan antara abah dan aku, kini beranjak pergi setelah abah mengarahkan pandangan matanya ke arahnya
“ manusia enggak tahu sopan santun….” gumam abah dengan wajah yang tidak menyukai karena pembicaraannya ini telah di curi dengar
“ kedua duanya sudah berkeluarga tang, untuk pesaing abah yang pertama, adalah pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak, mereka meninggal karena sakit keras, sedangkan pesaing abah yang kedua, adalah pasangan suami istri yang sudah mempunyai anak perawan, di saat suaminya meninggal karena sakit keras, istrinya menjadi gila dan pergi entah kemana….”
“ kasihan mereka bah, mereka termakan oleh perbuatan jahatnya sendiri, lantas bagaimana dengan nasib anaknya itu bah…?”
“ setelah kejadian itu tang, entah apa penyebabnya, rumah dari pesaing abah yang kedua itu terbakar, dan setelah peristiwa kebakaran itu, ditemukan jasad seorang wanita di dalamnya, mungkin itu adalah anak perawan dari pesaing abah yang kedua itu…”
“ ya tuhannn….” gumamku dalam rasa miris…”
“ ohh ya, kalau abah boleh tahu, siapa yang telah mengatakan kepada kamu kalau abah banyak mempunyai musuh…?” tanya abah dengan penuh selidik
“ atang hanya mendengar pembicaraan simpang siur dari beberapa warga kampung bah, memangnya kenapa bah…?”
“ enggak kenapa napa tang, tapi lebih baik kamu jangan mendengarkan perkataan mereka, karena kita enggak akan pernah mengetahui apa yang ada di hati mereka, karena di balik wajah wajah yang terlihat sopan kepada kita, bisa jadi di hati mereka ada yang membenci kita….”
“ iya bah…”
“ sebaiknya kita pulang, kasihan ita dan ambu, mungkin mereka telah terlalu lama menunggu kita untuk makan malam….”
Untuk sekedar diketahui, aku mempunyai seorang adik wanita yang berbeda jarak usia empat tahun dari aku, dia bernama Nurlita Karsa. Dan akhirnya selepas dari perkataan abah itu, aku dan abah segera kembali ke rumah, dan kini dengan bermodalkan batangan bambu yang kami pergunakan sebagai obor, kami menapaki jalan kampung yang hampir seluruhnya masih beralaskan tanah, hingga akhirnya di saat langkah kaki kami hendak mencapai keberadaan rumah, pergerakan dari rerimbunan semak ilalang yang berada di sisi jalan, telah membuat aku dan abah terhenti sejenak
“ bah…” gumamku dan berbalas dengan keterdiaman abah yang tengah mengarahkan pandangan matanya ke arah rerimbunan semak ilalang
“ ada siapa bah….?” tanyaku diantara keberadaan rerimbunan semak ilalang yang kini tidak lagi bergoyang, namun kini belum sempat abah mengeluarkan jawabannya untuk menjawab pertanyaanku itu, rerimbunan semak ilalang itu kembali bergoyang dan kali ini di iringi dengan hembusan angin yang menebarkan aroma wangi, dan hal ini jelas telah membuat bulu kuduk di sekitar tengkukku ini sedikit menebal
“ siapa di situ….!” tegur abah dengan suaranya yang sedikit meninggi, dengan langkah yang perlahan, abah mulai berjalan menghampiri keberadaan rerimbunan semak ilalang, mendapati hal itu, aku segera berjalan mengikuti abah, berbagai pikiran menyeramkan yang kini bersarang di pikiranku, telah membuat tubuhku ini sedikit berkeringat diantara udara malam yang sebenarnya terasa dingin, hingga akhirnya seiring dengan keberadaan tangan abah yang mulai menyibak rerimbunan semak ilalang, aku segera menarik tangan abah untuk menjauhi keberadaan rerimbunan semak ilalang, karena entah nyata atau tidak, aku seperti melihat sesuatu diantara kegelapan yang menyelimuti rerimbunan semak ilalang, rasanya sinar terang dari cahaya obor yang menyibak selimut kegelapan yang menyelimuti rerimbuan semak ilalang, tidak cukup untuk meyakinkan aku atas apa yang telah aku lihat
“ kamu ini kenapa sih tang….?” tanya abah dengan rasa gusar karena mendapati tangannya tertarik secara tiba tiba
“ tadi itu bah…atang seperti melihat…”
Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku itu, rerimbunan semak ilalang kembali terlihat bergoyang, dan begitu mendapati hal itu, tanpa berkeinginan untuk mendengarkan lanjutan dari perkataanku yang tadi sempat terhenti, abah kembali bergerak ke arah rerimbunan semak ilalang, lalu menyibaknya
“ bah….!” teriakku tanpa bisa menghentikan pergerakan abah yang telah memasuki sebagian langkah kakinya ke dalam rerimbunan semak ilalang