Sebatang Pensil Kayu episode 1

Chapter 1

Senja menyongsong kehidupan, menarik diri dari kepenenatan. Manusia pulang ke asalnya masing-masing, setelah mengais seuntai rezeki yang terhampar di muka bumi. Entah hasilnya memuaskan atau tidak, manusia selalu berusaha mendapatkan yang baik dan tepat untuknya. Walaupun, ada juga yang mendapatkan suatu hal yang tak baik dan tak tepat yang terselimuti oleh kebaikan yang di dasari oleh hasrat busuk manusia itu sendiri. Tak terkecuali bocah kecil yang kutemui di depan masjid yang terletak disamping kantorku. Bocah kecil, sendirian, menjaga dagangannya dengan penuh senyum dan wajah yang berseri-seri mengharapkan suatu keuntungan dari dagangannya. Kios toko buku, ya, itu yang bocah kecil jaga. Kondisinya tak terlalu sedap untuk dipandang, triplek yang menjadi dinding kios tersebut sudah mulai lapuk akibat terkena teriknya panas dan hujan deras, genting yang terhampar untuk menutupi dagangannya dan bocah kecil dari hujan dan panas, sudah terlihat bolong di kedua sisinya, kanan dan kiri. Ukuran dari kios toko buku itu, kecil. Ya, tak lebih dari 1 ruang kelas jika kalian masih ingat ruang kelas kalian saat SMA, mungkin hanya setengah dari ruang kelas tersebut.

Sore itu, saat aku sedang beribadah di masjid, hujan turun dengan lebatnya dibarengi oleh dentuman petir yang datang silih berganti seakan membuat suatu festival tahun baru. Selepas beribadah, kulihat bocah kecil itu, yang letak kios bukunya tepat di depan masjid, sedang repot mengurusi dagangannya agar tak terkena bocornya genting. Spontan, aku berlari untuk membantunya sampai-sampai aku lupa memakai sandalku.

“ Dik, sini abang bantu”. Ujar ku sembari memindahkan beberapa buku yang terkena air hujan di sisi kanan rak kios itu.
“ Terima kasih bang”. Ucap bocah kecil dengan menenteng 2 buah ember untuk menampung air hujan.

Hujan semakin lebat keadaannya, semakin meluas wilayah bocornya. Sekarang di sisi kiri, bocornya sangatlah banyak disana. Aku langsung memindahkan berbagai buku, yang terlihat sekilas oleh ku itu adalah buku-buku bekas namun langka dan jumlahnya lumayan banyak. Kedua tanganku dan kedua ketiakku terpenuhi oleh buku yang kupindahkan. Kuletakkan di meja bundar di depan kios yang tak terkena air hujan.

“ Bang, saya ke masjid dulu ya, mau ambil ember lagi untuk menampung airnya”. Dengan kecepatan penuh ia berlari ke arah masjid. Dan sepersekian detik ia kembali lagi ke kios.
“ Cepat sekali dik”. Sambutku dengan penuh keheranan.

Lebih dari 25 menit hujan lebat menderu-deru. Dan seperti kehidupan, segala sesuatu ada batasnya, dan batasnya adalah waktu. Hujan lebat akhirnya berhenti digantikan oleh kehangatan sore hari yang sangat nikmat jika ditemani oleh segelas kopi dan sehelai pisang goreng. Dan kembali, aku dan bocah kecil membereskan buku-buku ke tempat asalnya.

“ Terima kasih bang atas bantuannya, kalau tidak ada abang, mungkin buku-buku saya sudah tidak laku untuk dijual dan hanya jadi barang yang tiada berharga bagi kehidupan”. Berkata bocah kecil sembari merapihkan kembali buku-buku di rak sebelah kiri.
“ Sama-sama dik, tapi dik, yang namanya buku, seburuk apapun kondisinya tetap, buku adalah sumber ilmu yang sangat berharga bagi kehidupan, juga kan tidak ada yang tidak berharga dalam kehidupan ini dik, kejahatan pun berharga bagi kehidupan ini, kalau tak ada kejahatan tak bakal ada kebaikan, kan dik?”. Jawab ku sembari meletakkan buku-buku di rak yang sebelah kanan.
“ Benar juga ya bang”. Senyum tersembul dari bibirnya yang yang tebal.

Saat aku sedang merapihkan buku-bukunya, terlihat oleh ku, ada 1 buku yang selama ini kucari-cari ke berbagai toko buku, baik yang kelas atas ataupun kelas bawah tidak kutemukan. Buku itu karya dari salah satu sastrawan dunia antah berantah, Paulo Vyesky. Kuambil buku itu dan kuhentikan merapihkan buku-buku, dan ku duduk di bangku panjang depan kios, kuteliti dan kuamati dengan cermat, ya, itu buku yang selama ini kucari. Memang, bukunya bekas, dan kondisi kertasnya sudah mulai pudar warnanya, tapi, persetan dengan itu, ilmu tiada memandang buruk atau baik kondisi bukunya.

“ Bang, mau beli buku yang itu, itu buku yang diberikan oleh kakekku , 5 tahun yang lampau, saat usiaku masih 8 tahun”. Tanya bocah kecil dengan nada pengharapan akan buku nya laku.
” Ya, saya beli ini buku, berapa harganya?”. Tanyaku sambil merogoh saku kananku.

Belum juga pertanyaanku terjawab, bocah kecil dengan gesitnya menghampiri lelaki tua yang umurnya berkisar 40-50 tahun, memegang tongkat di tangan kanannya dan kacamata hitam yang dipakainya, serta kopiah hitam yang berada pada kepalanya yang berjalan menuju kios buku. Bocah kecil memapahnya berjalan menuju kiosnya dan didudukkan di kursi panjang depan kiosnya.

“ Maaf bang, ini ayahku, tadi abang tanya apa??”.
“ Ini ayahmu?, ia bu….”. Belum ucapanku selesai ia sudah menyela.
“ Ya, ia buta bang, tadi ia sudah selesai berkeliling karena ada panggilan untuk memijat pelanggan”. Ucap bocah kecil dengan nada harunya.
“ Maaf dik, oh ayahmu bisa pijat, kalau gitu punggung dan kaki saya terasa pegal, bisa ayahmu pijatkan?”. Tanya ku dengan senyum manis.
“ Bisa nduk, sini duduk di samping bapak, biar bapak pijatkan kau”. Pinta ayahnya dengan nada lelah yang mendera fisiknya.

Aku duduk di sebelah ayahnya, dan kurasakan bahwa kekuatan pijitannya memang sangatlah mantap. “ Lumayanlah, kopi dan pisang goreng tak ada, tetapi pijit badan ada, amboi”. Gumamku dalam hati. Di tangan kananku masih kupegang buku Paulo Vyesky, dan kutanya kembali bocah kecil.

“ Dik, ini harganya berapa??”. Sembari mengangkat buku itu.
“ Buku Paulo Vyesky ya? 70 rb bang”. Jawab bocah kecil dengan keriangan.
“ Nduk mau beli buku Paulo Vyesky? Itu buku yang sangat menginspirasi dan sangat menyentuh hati nurani kita sebagai manusia, kita menjadi semakin sadar dan mengerti hakikat dari kemanusiaan dan keindahan moralitas kita sebagai manusia”. Sela ayahnya dengan nada antusias.
“ Wah, bapak tahu ceritanya? “. Tanyaku dengan penuh kebingungan.
“ Ya nduk, itu buku yang diberikan oleh ayah saya, Saya sering mendengar ayah saya membacakan buku itu sebelum saya tidur. Memang kondisi fisik saya, khususnya mata saya tidak mendukung untuk membaca, tetapi saya masih memiliki telinga yang berfungsi untuk menimba dan menampung segala ilmu yang ada di muka bumi ini. saya tidak bisa menjustifikasi kekurangan saya, saya juga tak ingin terkungkung dalam kekurangan saya, jadi saya berusaha sekeras dan semampu mungkin untuk mencari, menimba, dan menampung segala ilmu”. Jawab ayahnya dengan penuh kebijaksanaan yang tercermin dari pergulatan kehidupan yang sudah ia jalani.

Alam pikiranku diliputi oleh kebingungan, kebimbangan, keresahan, dan juga menjadi suatu tamparan keras bagi diriku untuk tidak berhenti dan malas dalam mencari ilmu. Bahasanya yang begitu lugas, intelek, dan berwibawa, membuat diriku menjadi kecil disebelahnya. “ Ia tak pantas hidup seperti ini, seharusnya ia dapat mendapat hasil yang lebih baik dari ini”. gumamku dalam hati.

“ Bapak hebat ya, kekurangan yang bapak milikki tidak menjadi suatu hambatan dalam bapak mencari, menimba, dan menampung segala ilmu yang ada di muka bumi ini”. Ujar ku dengan rasa salut dan tak terasa ku salimi tangan kanannya.
“ Biasa saja nduk, hebat atau tidak, sempurna atau tidak, tiada manfaatnya jika apa yang kita cari, timba, dan tampung itu tidak kita manifestasikan ke lingkungan sekitar kita nduk”. Ucapnya dengan senyum tipis dan nada bijaksananya.

Percakapan, membuat waktu terasa cepat. Pijatan yang dilakukan bapak itu di punggung dan kedua kakiku sudah selesai. Kurasai semakin enak badanku, entah ini rasa dari sugesti ku atau tidak. Kurogoh saku kananku dan mengeluarkan uang.

“ Nih, dik uangnya, sekalian untuk bapak, simpan saja kembaliannya”. Kuberikan uang 200 rb sebagai imbalan buku dan pijatan bapak itu.

Dan aku berjalan kembali ke arah masjid, memakai sandal yang lupa kupakai. Dan aku berjalan kembali ke kantor, dan bersiap untuk pulang. Di depan kantor, tiba-tiba bocah kecil itu menepuk punggungku.

“ Bang, ini aku lupa memberikan pensil kayu sebagai souvenir dari kios buku ku”. Ujar bocah kecil sembari mengarahkan pensil kayu ke arahku.
“ Memang ini tak seberapa bang sebagai souvenir, tetapi semoga ini menjadi suatu pengingat untuk abang, apa yang abang baca dan apa yang abang pelajari, sempatkanlah abang tulis, sempatkanlah abang catat. Tulisan abang tidak akan tergilas oleh zaman, tulisan abang selalu akan terkenang walau hanya menjadi sekrup kecil dari komunal abang. Jika abang sudah tiada tetapi tulisan abang akan selalu dikenang dan abang akan selalu terkenang olehnya”. Kembali bocah kecil berucap dengan senyum lebarnya dan memelukku dengan penuh eratnya.

Kembali, alam pikiranku terselimuti oleh rasa bingung, bimbang, resah oleh ucapannya. Hebat sekali bocah kecil seperti ini bisa berujar seperti itu, sangat bijak dan sangat santun. Pastinya, apa yang ia katakan adalah hasil dari pergolakan pemikiran dari buku-buku yang ia baca dan pergolakan fisik dari kehidupan yang ia jalani bersama ayahnya. Pikiran seperti itu menggerayangiku saat ku berjalan menuju parkiran mobil. Pensil kayu yang diberikan oleh bocah kecil itu kutempelkan di dashboard, untuk menjadi semacam pengingat untukku, bahwa, ya aku harus membaca dan menulis, menulis untuk keabadian dan peradaban.


Sebatang Pensil Kayu

Sebatang Pensil Kayu

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2016 Native Language: Indonesia
Cerita pendek berceritakan tokoh utama yang bertemu oleh adik kecil penjual buku yang memberinya sebatang pensil kayu.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset