“Hujan … turun lagi. Bersama Adham jelek kuberlindung ….”
Rama terkekeh kala kakinya kutendang keras, mengingat ini seolah kali terakhir kulayangkan peringatan padanya. Pasalnya pria berwajah manis itu terus saja mengoceh di saat keadaan hujan begini. Bosan mengoceh pria itu tak segan untuk berteriak keras bernyanyi dengan suara teramat pecah.
Dua jam berlalu hujan belum juga reda. Masih setia menurunkan derai demi derai membasahi bumi. Sehingga bau tanah yang lama tidak tersiram hujan itu menguar, sedikit amis. Dan dua jam berlalu aku dan Rama setia menunggu di sini. Di depan pabrik plastik di mana kami bekerja.
Sesungguhnya, keadaan hujan begini satu-satunya waktu yang dinantikan oleh semua pekerja. Mereka bisa berleha-leha sepuas hati di rumah meski hanya satu hari mengingat jadwal yang hampir full seharian di pabrik. Belum lagi yang kena giliran malam, hampir sepanjang waktu bekerja mereka semuanya mengeluh. Rasanya begitu capek, mengepak banyak plastik perhari dengan jumlah yang sudah ditentukan. Jika mencapai target maka dia yang mendapat bonus. Jika tidak, hanya mendapat satu persen dari harga jual.
Maka dari itu, tak satupun manusia yang terlihat berlalu lalang di pabrik seperti biasanya.
Tak kecuali aku, jika menurutkan hati sudah lama rasanya aku ingin berhenti dari pabrik ini. Namun, mengingat adik-adik yang masih menjadi tanggunganku di kampung sana membuat semangatku seolah terpacu. Memilih menerima keadaan, memang begini nyatanya rejeki yang harus kuterima. Karena mencari rejeki tidak mudah. Yang hanya ketuk sudah ‘tring’ di depan mata seperti orang lainnya.
“Am.”
Rama tak lagi mengoceh, yang sebelumnya berdiri kini mulai menarik kursi duduk di hadapanku dengan meja sebagai penghalang. Meja dan beberapa kursi yang memang disediakan di sini untuk para karyawan bersantai ketika makan siang, meski hanya lima menit.
“Soal … Kayra, gimana?”
Tatapan Rama terlihat ragu sekaligus … takut saat menanyakan itu. Seolah aku akan marah jika mendengar nama Kayra. Aku tersenyum, ada-ada saja.
“Gue cuma kagum, Ram. Kagum, catat, ya. Kagum. So, gue senanglah kalo dia nikah beneran.”
“Bohong!”
Rama menekankan suaranya kemudian memalingkan muka seraya tersenyum mengejek.
“Gue kenal lu bukan saat hujan turun tadi, Am. Munafik.”
Aku tak menjawab, hanya menghela napas kasar tak tahu harus bagaimana. Selain diri sendiri, memang Rama satu-satunya yang tau keadaanku meski itu tengah berbohong seperti sekarang ini. Kuakui, Kayra bukan hanya sebatas kukagumi, jauh sebelum ini aku terus berharap untuk bisa berhubungan lebih dari sekadar berteman.
Namun, harapan itu hanya menetap padaku. Sama sekali tidak mencoba memengaruhi hati Kayra juga. Mau tak mau, secara jelasnya aku ditolak bahkan sebelum mencoba meminta. Ya, hatinya.
“Udahan, sih, Ram. Namanya bukan jodoh, ya, mau gimana?”
“Masi tiga bulan lagi, Am. Coba usaha dulu! Siapa tau ada jalan.”
“Dia siapa?”
Jawaban yang hendak kuberikan pada Rama seketika lenyap entah pergi kemana melihat Kayra yang tiba-tiba muncul, menarik kursi duduk di sebelahku. Rama sendiri terlihat gelagapan duduk gelisah menatap Kayra was-was
“Ah … bukan sesiapa,” balasku cepat seraya menarik kursi sedikit menjauh dari Kayra. Karena aku tak yakin mampu untuk mengontrol suara degupan jantungku jika posisi duduk kami sedekat ini.
“Bukannya lu kuliah, ya?” tanyaku lagi.
Kayra menggeleng kemudian berujar, “Malas.”
“Kalian nggak pada kerja?” Kayra menatap Rama kemudian menatapku. Aku tak menjawab hanya menunjuk hujan dengan dagu.
Kayra terdiam, seakan tengah memikirkan sesuatu. Tak lama ia tersenyum menatapku.
“Kalo gitu, lu ikut gue sebentar gimana?” tanyanya.
Aku melirik Rama yang hanya berekpresi datar menatap kami berdua. Diam tak mengucapkan sepatah kata. Kayra yang melihatku sedang menatap Rama, juga ikut memandang pria yang tengah menghisap rokok itu.
Seolah tersadar, Kayra terkekeh kemudian tersenyum geli.
“Ah iya, sebelum itu gue harus ijin sama pacar lu dulu, kan?” Kayra menatapku masih dengan senyum yang sama.
“Gimana, Ram? Boleh nggak gue keluar sebentar sama Am?” lanjutnya.
“Omongaan lu elaah. Ya kali gue pacaran sama batangan. Ya bawa aja. Gak masalah ini.”
“Gue duluan kalo gitu,” pamit Rama seraya bangkit kemudian berlalu keluar.
***
“Ini Adham sahabatku, Adham ini Dimas tunanganku.”
Lelaki berperawakan tinggi itu menjabat tanganku dengan seulas senyum biasa. Sebelumnya aku tak menyangka jika Kayra mengajak bertemu dengan tunangannya, Dimas. Sehingga saat bertemu langsung begini sedikit membuatku canggung. Sementara Kayra masih belum memudarkan senyum sedari tadi melihat pria itu.
Layaknya orang hebat, pria itu menarik kursi dengan cara elegan. Menarik celananya kemudian duduk yang juga diikuti oleh Kayra.
“Seharusnya, untuk bahas soal pernikahan kita nggak perlu ngajak orang lain, Yang.”
Gerakan tanganku yang hendak mengikuti mereka duduk terhenti seketika. Menatap pria itu dengan heran. Sementara Dimas hanya sibuk membolak-balikkan buku menu. Mataku beralih menatap Kayra yang saat itu juga menatapku dengan tatapan yang … entah.
“Gue tunggu di luar, ya, Ra,” ucapku sadar diri. Kemudian berlalu keluar dari caffe yang tadi menjadi tujuan kami.
Aku tak menyalahkan Tuhan untuk semua kekurangan yang telah kuterima. Karena dengan semua kekurangan itu diri ini masih bisa menikmati hidup bahkan sampai hari ini. Namun, salahkah jika aku berharap dengan kekurangan ini manusia lainnya tidak seharusnya memandang dengan hina?
Pikiranku kembali memutar beberapa potongan kejadian beberapa saat lalu. Meski tersenyum, bahkan sebelum berjabat tangan Dimas memandangku dengan sedikit raut jijik. Belum lagi pandangan beberapa pengunjung caffe yang duduk di sebelah meja kami. Seolah julukan manusia ‘kodok’ benar adanya di depan mereka.
“Am!”
Di seberang jalan terlihat Kayra berseru keras seraya melambaikan tangan ke arahku.
“Am, maaf,” ucapnya dengan nada seolah bersalah setelah duduk di sampingku.
Mata coklatnya menatapku lekat dengan tangan kanannya terus menggenggam tanganku. Dengan posisi duduk sedekat ini, jangan tanya bagaimana aku mengatur suara detak jantung yang seolah bergerak ingin melompat keluar.
Cepat, aku membuang muka dengan sedikit menggeser posisi duduk agak menjauh.
“Am, maafin Dimas untuk gue. Sorry gue ganyangka kalo dia mau ngebahas soal ini secara privasi.”
Sekali lagi, kupandangi wanita yang terus merengek itu. Rambut panjangnya ikut bergoyang ke sana ke mari tertiup angin juga poninya yang dipotong pendek. Sehingga memperlihatkan anak rambut yang membuat Kayra semakin manis.
“Gue nggak kenapa-kenapa, Ra.”
Kubalas genggaman tangannya serta tersenyum setulus mungkin yang ikut menular pada bibir Kayra.
Kuacak rambutnya pelan kemudian berujar, “Hayuk makan, terus pulang.”
Yang diangguki Kayra dengan cepat.