“Apa…yang terjadi?” memegangi kepalanya, mencoba mengingatnya. “makhluk menyeramkan itu…,” kembali mengingat kejadian yang menimpanya kemarin malam, namun seingatnya yang dia tumpahkan adalah gelas yang berisi air minum, bukan darah.
Suara telepon tidak mau berhenti, Ryan berjalan perlahan karena kepalanya sangat sakit. Setelah diangkat yang meneleponnya ternyata Harry, dia menanyakan keberadaannya sekarang. Sudah berapa puluh kali Harry mencoba menghubunginya, namun selalu gagal.
“Hei..hei, kamu ga apa-apa? Kok suaranya begitu?” tanya Harry lewat telepon.
“Engga, baik-baik aja kok. Cuman rasanya kepala ini mau pecah.”
“Oh mending istirahat aja, biar nanti saya bilang ke klien kalau kamu lagi sakit.”
Mendengar ada klien di kantor, Ryan memaksakan diri untuk pergi. Namun Harry mengatakan kepadanya bahwa masalah klien biar dia yang urus, sambungan telepon pun berakhir di situ.
Ryan membersihkan rumah dari sisa-sisa semalam, mulai dari mengambil pecahan gelas hingga mengepel lantai. Dia tidak mungkin membiarkannya begitu saja, setelah meminum air putih hangat dan obat-obatan ringan. Ryan pergi kekamarnya, tidak seperti di bawah kondisi kamarnya tampak biasa. Dia mengambil ponselnya, ternyata ponselnya dalam keadaan mati.
“Dian pasti nanyain nih,” membiarkan ponselnya diisi tenaga terlebih dahulu, lalu yang dia lakukan hanya duduk termenung di atas kasurnya. Kejadian malam tadi sungguh membuatnya tidak enak hati sekarang. Dengan iseng dia mengambil buku merah yang nampaknya sudah tidak terbaca, dia membukanya. Ada beberapa halaman yang masih bisa terbaca walaupun sudah ternoda oleh darah.
“20 Juni, suamiku mendadak mendapat tugas ke luar kota. Lalu aku memutuskan untuk tinggal bersama Ibu terlebih dahulu sampai dia pulang. Namun entah mengapa, perasaan rindu selalu muncul terhadap rumah kami. Bahkan aku sering memimpikannya, rumah yang berbeda….,” bagian lainnya sulit terbaca oleh Ryan. Dia mencoba membuka halaman lain menemukannya, bagian yang bisa dia baca hanya bagian akhirnya. “Foto itu masih tersimpan di gudang, aku tidak bisa membuangnya. Seperti benda yang di kamar, foto ini tidak mau pergi. Untungnya masih bisa disimpan….”
Ada satu ruangan di rumah ini yang hanya dia lihat sekilas, yaitu gudang. Letaknya di ujung rumah, dekat dengan kamar bi Sutri. Saat para pekerja membersihkan gudang, Ryan hanya mengintipnya. Banyak perabotan dan benda-benda yang tidak terpakai. Karena terlalu malas dia tidak tertarik untuk melihat lebih lanjut. Tetapi saat ini berbeda, ada sebuah foto yang di maksud dalam buku yang dia ingin lihat.
Kondisi gudang cukup rapih, barang-barang semua tersusun. Hanya saja lantainya cukup berdebu, karena jarang sekali dibersihkan. Semua barang ditutup dengan kain berwarna putih agar debu tidak menempel. Ryan membuka satu-persatu kain putih itu, membongkar tumpukan-tumpukan benda yang menumpuk. Dia tidak menemukannya sampai suatu ketika kakinya merasa seperti menendang sesuatu di bawah lemari kecil. Dia mencoba merogoh bagian bawah lemari yang hanya memiliki dua pintu dengan satu laci diatasnya.
Ryan menariknya, dia menemukan sebuah kotak yang terbuat dari lempengan besi. Kotak ini sangat berdebu, “Hm…,” melihat-lihat kotak itu, mencari tahu cara membukanya. Ternyata diengsel pembuka ada yang menggantung, sebuah gembok kecil yang sudah berkarat. Ryan membawanya keluar terlebih dahulu karena debu mulai terbang akibat pintu yang terbuka.
Ryan mengelapnya dengan sebuah kain basah, kotak ini memiliki corak bunga-bunga yang sudah luntur. Walaupun gemboknya kecil dan berkarat, tapi Ryan kesulitan membukanya dengan tangan. Kuncinya mungkin sudah hilang, dia mengambil palu dari kotak perkakas dan memukul gemboknya hingga hancur. Dengan begitu kotak ini bisa dibuka. Yang dia lihat ada banyak barang-barang peninggalan, mulai dari surat hingga buku-buku catatan. Ada sebuah foto juga yang berwarna hitam putih, Ryan mengamatinya.
“Sosok ini..,” foto yang dia pegang adalah foto sebuah keluarga yang terdiri beberapa anggota keluarga. “Harlott? Lalu di ujung…,” suara pintu terbanting terdengar olehnya. Ryan mengeceknya, tanpa sadar fotonya masih dia pegang. Pintu utama rumahnya terbuka lebar. “pencuri? Di jam segini?” tidak mungkin pikir Ryan, dia menutupnya segera.
Ada sosok mirip Harlott di foto yang dia pegang, persis dengan yang dia lihat waktu itu. Berambut pirang dan berwajah cantik, mirip juga dengan yang dia lihat dalam mimpinya. Satu lagi adalah sosok Lady Marline, di foto ini parasnya masih cantik dan juga anggun. Tidak seperti yang sering dia lihat, bersosok seram, keriput, dan menakutkan.
“Jadi mereka masih satu keluarga? Apa sebelumnya mereka tinggal di sini sebelum rumah direnovasi?” banyak pertanyaan yang muncul dalam benak, apalagi tentang mimpi dan penampakan yang dia lihat sebelumnya. Ryan membalikan fotonya, ada sebuah nama. “Van Garlie Family…” sebuah nama yang tertera dibalik foto.
Karena sudah bilang ke Harry kalau hari ini kepalanya sangat sakit, dia memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut tentang keluarga Van Garlie. Ryan melihat terlebih dahulu di internet, dia tidak menemukannya. Baik foto atau artikel, berarti keluarga Van Garlie adalah keluarga normal. Ada satu tempat pemakaman khusus warga Belanda, dia berpikir bisa menemukan petunjuk di sana.
Sebelum pergi, ponselnya sudah menyala. Dia langsung mengabari Dian dan berkata bahwa semalaman dia mengerjakan tugas dari kliennya dan belum bisa kembali ke apartemen setidaknya sampai lusa. Setelah itu dia mulai merapikan barang dan pergi, tidak lupa dia membawa foto beserta kotak yang dia temukan. Sesampainya di makam situasi sangat sepi, wajar saja mungkin tidak ada warga lokal yang mendatangi pemakaman ini. Ryan melihat-lihat dari luar karena gerbang untuk memasuki area ini terkunci, lalu ada seorang bapak-bapak yang menghampirinya.
“Ada apa pak?” tanya bapak tua itu dengan sopan. Berpakaian rapih dengan celana bahan berwarna hitam.
“Oh ini pak, saya bisa ga buat masuk ke area makam ? Soalnya….,” Ryan tidak mampu mencari alasan, jika alasannya ingin mendoakan maka bapak tua ini tidak akan percaya. Wajah Ryan sangat lokal, tidak ada campuran darah asing.
“Silahkan, tapi jangan memasuki area pemakaman warga Belanda. Karena daerah itu hanya boleh dimasuki dengn izin pihak terkait,” yang di maksud bapak tua ini, daerah terlarang itu memang pemakaman bagi warga Belanda yang mempunyai jabatan pada masa lampau. Ryan mengangguk padahal dalam hati dia sangat penasaran ingin masuk.
Pemakaman ini sungguh luas, dia tidak merasakan seperti berada di pemakaman lokal. Nuansanya sangat luar negeri. Dia mencoba mengeceknya satu-satu, ada banyak nama warga asing di sini. Tapi perhatian utamanya memang ke komplek pemakaman Belanda. Namun dari kejauhan bapak tua penjaga makam ini selalu mengawasinya.
“Apa aku bisa menemukannya di sini, padahal jika di sana aku bisa lebih mudah menemukannya,” gumamnya dalam hati. Setelah berputar-putar tidak terasa hari sudah mulai sore, sudah tampak sedikit gelap dan Ryan belum menemukannya.
Lalu, tiba-tiba dia melihat sosok wanita yang sedang berdiri di area pemakaman ini. memakai gaun panjang hingga menutupi kaki, dan memakai topi yang lebar. Topinya ini menutupi rambutnya, Ryan hanya melihat bagian belakangnya saja. Kemudian sosok wanita ini membalikan badannya.
“Harlott!” Ryan terdiam terpaku, sosok itu lalu terbang hingga menghilang ke atas. “apa mungkin…,” Ryan bergegas ke area di mana dia melihat sosok Harlott. Ternyata disanalah dia menemukan beberapa nisan yang dia yakini adalah tempat keluarga Van Garlie dimakamkan.
Setelah ukiran nama di nisan dia bersihkan dari debu, dia bisa melihat bahwa benar jejeran nisan ini adalah makam keluarga Van Garlie. Di dalam foto terdapat lima anggota keluarga, tapi nisan di sini hanya ada empat saja. Ryan mengeceknya satu-satu, nama-nama seperti Wesley, Linda, Harlott, hingga Daisy ada di batu nisan. Apalagi Daisy Van Garlie yang ternyata belum lama ini meninggal.
“Tidak ada nisan yang bertuliskan Marline, apakah dia dimakamkan di area berbeda?” Ryan mencoba mencarinya lagi, hingga langit menjadi gelap. Ketika sedang mencari, ada seseorang yang menghampirinya.
“Pak! Dari tadi di sini?” pemuda ini menegur Ryan, dia membawa senter kecil sebagai alat penerangan.
“Iya, saya sudah minta izin ke bapak tua yang di pintu gerbang tadi,” jawab Ryan santai. “sebentar lagi saya pulang kok,” tegasnya.
“Bapak tua? Perasaan cuman saya pak penjaga area makam ini. Emang bapak tua ini kaya gimana pak?”
Ryan menjelaskan kepada pemuda yang berwajah agak polos ini, bahwa bapak tua yang dia lihat barusan. Mulai dari ciri fisik yang bertubuh lebih pendek darinya, rambut pendek tipis yang sudah putih, hingga pakaian kemeja polos dengan celana bahan. Sudah dijelaskan seperti itu tetap saja pemuda ini tidak mengetahuinya malah meminta Ryan untuk pulang karena waktu sudah malam dan langit sudah gelap. Tempat ini menjadi minim pencahayaan dikhawatirkan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Dengan perasaan yang sedikit kecewa Ryan meninggalkan area pemakaman ini, dia mengintip kebelakang untuk melihat apakah pemuda tadi masih melihatnya apa tidak. Namun yang dia melihat hal berbeda, di samping pemuda itu berdiri bapak tua yang dia temui tadi sebelum dia memasuki area makam. Kali ini kemejanya kotor, ada bercak-bercak kotor seperti tanah. Apalagi mata bapak tua ini menyala berwarna putih, Ryan bisa melihatnya karena pemuda penjaga makam masih menyalakan senternya. Karena kaget dan sedikit takut kalau bapak tua ini mengikutinya, Ryan mempercepat langkahnya menuju mobil lalu pulang segera ke rumah.