*****
“Buuush … buush …” Mulut Mak Idah tampak menggembung meniup tungku perapian yang sedari tadi tak jua berhasil memantikkan api. Ia pun mengatur kembali letak kayu bakar dalam tungkunya, lalu kembali meniup sisa – sisa arang yang masih memerah. Kepulan asap seketika menyusuri penjuru dapur geribik miliknya.
Mak Idah memicingkan matanya, lalu mengusapnya dengan lengan baju lusuh miliknya. Matanya pun berair karena debu arang dan asap yang tak sengaja menyembur di kedua netranya. Ia tak juga menyerah, mulutnya terus menyimpan udara lalu menghembuskannya agar dapurnya dapat segera mengepul.
Tumpukkan kayu itu pun akhirnya berhasil membarakan api. Mak Idah pun segera memasukkan lembaran – lembaran daun singkong yang ia petik dari kebun miliknya. Tak apa baginya berbuka puasa hanya dengan menyantap sayur daun singkong, asalkan anaknya bisa mencicipi telur ceplok kesukaannya.
Menjadi janda bukanlah keinginan Mak Idah. Garis Tuhan mengharuskannya menjadi seperti ini, saat ia harus merelakan kepergian suaminya untuk selama – lamanya. Suami Mak Idah telah meninggal akibat luka parah karena terjatuh dari atas pohon kelapa. Saat itu, pekerjaan suaminya adalah buruh memetik kelapa di salah satu usaha rumah tangga penghasil minyak kelapa di desanya. Tak ada yang menyangka akan peristiwa na’as itu. Mak Idah harus berjuang sendiri membesarkan buah hatinya.
Selama menikah dengan almarhum suaminya, Mak Idah dikaruniai seorang anak perempuan yang ia beri nama Aminah.
Aminah, gadis kecil ini sudah menginjak kelas dua sekolah dasar. Ia adalah anak yang jujur dan periang. Meskipun ia masih berumur delapan tahun, ia sudah berhasil terlebih dahulu mengkhatamkan iqra’ dan sudah mengaji alqur’an terlebih dahulu dibandingkan teman – teman seusianya.