Nagara memandang perempuan yang duduk di bangku taman itu. Lantas mendekat, berjongkok di depannya. “Jangan terlalu dipikirkan, itu cuma mimpi,” katanya.
“Tapi, kamu tau, kan, mimpiku yang kayak gitu udah sering jadi firasat,” ujar Nena. Selaput bening menghiasi netra. Napasnya tidak beraturan, efek dari emosi yang tertahan.
Lelaki yang memakai kaus loreng pres badan itu meraih jemari si perempuan. Menangkup dalam genggaman. “Gak akan ada yang tau takdir Tuhan, bahkan peramal paling hebat sekalipun, Sayang.”
Nena berdecak, berusaha melepas tangannya, tapi tidak bisa. “Kamu inget gak waktu Kity mati? Dua malem sebelumnya aku mimpi denger suara ambulans.”
Nagara menarik sudut bibir, sedikit menahan tawa. “Kamu nyamain aku dengan kucing?”
“Kamu jelas tau bukan itu maksudku!” ujar Nena ketus. Dia melengos, enggan berbagi tatap dengan pemuda itu.
“Iya, Sayang, aku ngerti kok. Jangan ngambek dong!” tangannya terulur ke sisi wajah Nena, memaksanya kembali saling berhadapan.
“Kamu tuh gak ngerti, Ga.” Nena masih bersikeras. Lantas dia mengingatkan lagi tentang kecelakaan yang dialami ayahnya. Sehari sebelumnya dia pun bermimpi suara ambulans yang begitu nyata. Entahlah, Nena merasa itu semacam firasat buruk yang patut dikhawatirkan.