Duduk termenung di sudut kamar. Melipat kaki menghalau dingin. Sesekali menggosokan telapak tangan untuk menciptakan kehangatan. Bosan. Aku berdiri dan naik ke atas ranjang. Netra membulat saat melihat kilat di luar sana, disusul suara gemelegar dari langit.
Nyanyian malam ini kembali nyaring. Derasnya air hujan, membawa hawa dingin yang menusuk kulit. Kutarik selimut, bersembunyi di bawahnya. Bagai dipeluk oleh sang pujaan, rasa hangat menenteramkan jiwa.
Otak kembali mencoba mengingat apa yang terjadi, tapi tiba-tiba pusing menyerang kepala. Aku tertunduk karena tak kuat menahannya. Semakin dipaksa semakin sakit. Akhirnya aku hanya bisa menyerah dengan keadaan seraya berharap waktu dapat berbaik hati untuk memberitahu, apa yang sebenarnya terjadi.
Kupejamkan mata malam ini, lelah sudah menghinggapi badan. Jika terlalu dipaksakan, dokter bilang akan membuat kesehatanku memburuk. Terutama kepalaku yang katanya baru membentur benda keras. Kini diperban melingkar. Nyaris seperti ikat kepala.
Namun, belum sempat kupejamkan mata, gawai bergetar menampilkan pesan. Seseorang dengan nama Devi menuliskan sesuatu. Menanyakan kabar. Aku baik-baik saja … hanya pusing sedikit. Jika istirahat teratur aku akan sembuh.
Tak selang berapa lama, gawai kembali berdenting, ucapan duka disertai emoji menangis tampak di layar. Bukannya terlalu berlebihan jika harus berduka? Aku hanya terbentur, tak sampai merenggut nyawa. Meski rasanya ada yang agak aneh, tapi aku yakin baik-baik saja. Seorang pria sepertiku, terluka seperti ini bukanlah masalah besar.
“Besok, kita ketemuan, ya,” ucapnya saat komunikasi jarak jauh kami berlangsung beberapa menit. Sebelum akhirnya berakhir dengan kata setuju dariku.
Suara gemuruh hujan dan petir baru kembali terasa saat sepi menghinggapi. Jam di dinding menunjukan waktu yang sudah larut. Waktunya untuk tidur.