Apa maksud kedatangan Abang kemari?” tanya seorang wanita muda yang tengah duduk di sofa dengan tangan terlipat di depan dada. Seorang pria yang umurnya terlihat tak jauh dari wanita itu terlihat menelan ludah. Jemarinya saling bertautan, dia menunduk ketika wanita di depannya menatapnya penuh tanda tanya.
Aku hanya terdiam menyaksikan kakak-beradik itu dari sudut ruangan yang agak jauh dari mereka. Tiba-tiba Kiri berceloteh, hingga aku mengalihkan pandanganku dari kedua orang itu—memutar bola mata ke arahnya.
“Kira-kira si Reno mau ngapain, ya?” Aku hanya diam—kembali menatap kedua orang itu. Terlihat sekali jika pria bernama Reno itu tengah gugup setengah mati di hadapan adiknya. Dia terlihat ragu untuk berucap tentang maksud dan tujuannya. Wajar juga sih, sudah lama kakak-beradik itu tidak bertemu, mungkin keduanya canggung. Atau lebih tepatnya, Reno malu dengan adiknya.
“Bang!” panggil Reni, sanga adik. Reno mendongakkan kepala, wajahnya terlihat pucat pasi seperti habis melihat hantu saja.
“Bang, bicaralah! Aku tidak bisa baca pikiran.” Aku tersenyum mendengar perkataan satire yang keluar dari mulut Reni. Wanita itu memang tak pernah berubah dari dulu, dia terlalu jujur dalam berbicara, hingga membuat lawan bicaranya kesal dan kehabisan kata-kata.