Aku menghela napas perlahan kemudian memandang lekat-lekat sosok lelaki yang ada di depanku. Tak ada yang berubah darinya, masih tetap mengagumkan dengan sorot mata yang begitu mengesankan.
“Ki, gimana kabarmu?” tanyanya setelah hampir lima menit kami saling terdiam.
“Sama seperti yang kakak lihat. Aku baik-baik saja,” jawabku sambil tersenyum.
“Ayahmu gimana, Ki? Sudah bisa kerjakah?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng lemah, lalu tersenyum getir, “Masih sama seperti tahun lalu, Kak, tak bisa menggerakkan tangan kirinya. Jadi tak mungkin bisa bekerja.”
“Lalu apa keseharianmu selama ini, Ki? Cuma ngajar aja?”
“Aku? Ya Banyak lah, Kak. Pagi mengajar, siang kasih les di sekolah. Sore ekstrakurikuler di lapangan sama anak-anak. Malamnya kasih les privat.”
“Hmm sibuknya. Cukup, Ki?”
“Apanya, Kak?”
“Honornya?” jawabnya hati-hati.
“Seperti yang kakak lihat. Aku masih bisa main sampai sini, kan? Bahkan hari ini aku nepatin janjiku buat traktir kakak makan disini. Adekku masih sekolah. Bapak ibuku juga makannya 3 kali sehari dan sejauh ini aku tak pernah mengeluh tak punya uang buat beli beras, kan?” jelasku penuh penekanan.
“Oh. Jadi sekarang Kiki benar-benar jadi tulang punggung keluarga, ya? Ibu gak kerja? Atau bagaimana?”