“Saya, hamil ….”
Lumirin memilin perlahan ujung daster katun berwarna krem yang dikenakan. Betis terasa kaku dan telapak kakinya semakin kesemutan. Berulang kali dia menggerakkan jemari kaki diam-diam agar darah bisa sedikit mengalir. Namun, apa mau dikata. Sudah setengah jam lebih dia bersimpuh di depan para majikan. Tak pantas baginya jika bergerak, karena mereka tak ada satu pun yang bergeming.
Nyonya Hana terus mendesah sembari mengeratkan kedua tangan. Tuan Satriyo duduk dengan membusungkan dada dan sesekali menyesap pipa hitam besar kesukaannya.
Sedangkan Raden Mas Manggala, hanya bersandar ke badan sofa sambil menengadah ke arah angit-langit di ruang keluarga ini. Menatap lampu kristal dengan cahaya temaram. Sedangkan Lumirin terus menunduk ke arah lantai marmer dingin, tempat dia bersimpuh seperti orang pesakitan.
“Sejak kapan?” Hana tercenung melihat Lumirin.