“Hidup itu perjuangan, jangan pernah katakan tidak bisa, sebelum mencobanya.”
Masih terngiang-ngiang perkataan kakak pembina Pramuka yang bernama Hasan, saat masih di bangku sekolah dahulu, sekitar enam tahun yang lalu. Kini aku berada di atas tanah basah, tempat terakhir kalinya melihat kakak pembina itu meminta tolong dan aku tidak bisa menolongnya. Rasa takut muncul saat tatapan mataku bertemu dengan penampakan hantu yang mengendalikan sandi Morse, rangkaian kata acaknya dan begitu menyeramkan dengan pertunjukan darah segarnya.
Jika boleh meminta, andi tidak ingin belajari membaca sandi Morse, agar kejadian hari ini tidak terjadi. Sandi-sandi itu dengan seksama dan dalam waktu yang sangat singkat, sesingkat-singkatnya berhamburan keluar serupa ingin secepatnya menuntaskan tugasnya untuk menyebarkan setidaknya beberapa kalimat.
Pada akhirnya sandi Morse dengan mudah terbaca olehku, tiba-tiba tubuh gemetaran. Nyali tiba-tiba lenyap di bawa angin yang semakin dingin menusuk kulit Ari. Dan suara-suara kebatan sandi membuat tubuh mematung dengan tingkat ketakutan yang sudah tidak bisa kuterjemahkan lagi.
Sandi-sandi itu membentuk kata, “Harun dan kau adalah budak kami.”
Tiba-tiba kak Seto datang membuyarkan semua pandangan.
“Andi, kau baik-baik saja?”
Sambil menatap wajah kakak pembina yang menegur, tiba-tiba aku menangis sejadi-jadinya. Waktu itu tidak ada yang tau jika kak Hasan sudah di makan oleh tanah lumpur di bawah kaki yang sekarang kupijak.