“Gue mau nikah.”
Perempuan itu berujar senang. Tersenyum memamerkan belahan dagu seolah menyatakan ia memang tercipta begitu sempurna. Matanya berbinar senang seiring ungkapan yang baru saja ia katakan. Tak ada beban seolah ia begitu bahagia. Sesekali terdengar tawa halusnya yang menjadi khas saat ia bercerita mengenai kebahagiannya tersebut.
Aku ikut tersenyum, akan tetapi bukan sebagai penghormatan untuk hari bahagianya itu. Melainkan untuk dirinya, seperti yang selalu kukatakan. Aku turut senang jika pun ia demikian. Memangnya, apalagi yang patut diberikan oleh seseorang yang bertitle sebagai sahabatnya ini? Mengharap ia batal menikah dan kemudian mengajakku hidup bersama dengan menyatakan ia mencintaiku seperti aku mencintainya?
Penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera baca cerita ini…