Akhir November 2015
Beban pikiranku sedang dalam taraf yang gila-gilanya. Masalah tugas akhir kuliah yang tak kunjung selesai, ditambah keluarga sudah hilang kepercayaan atas diriku, serta banyak hal lainnya, membuat gairahku jauh berkurang.
Kalau bukan karena kebutuhan kos, aku enggan menapakkan kaki ke toko yang jaraknya kira-kira 100 meter dari kos.
Kuambil beberapa barang kebutuhan kos. Semuanya berjalan biasa saja.
Sampai di suatu titik dimana aku melihat seorang perempuan berseragam toko sedang menyusun barang di salah satu rak. Sepertinya karyawan baru di toko, karena wajahnya cukup asing buatku yang sudah setahun ini rutin berbelanja di toko itu. Rupanya cukup menarik, kalau belum bisa dibilang cantik untuk tatapan pertama.
Aku melewatinya. Rasanya tak begitu penting untuk mengganggunya.
Sialnya ada sesuatu yang lupa kuambil sehingga aku harus berbalik arah. Dan barang yang harus kuambil itu terletak di rak yang sedang dirapikan perempuan itu.
Dengan sedikit canggung, aku mengambil barang tersebut yang terletak beberapa sentimeter di atas kepalanya. Saat aku mulai bergegas menuju kasir, tak disangka ia mengangkat kepalanya dan menatap mataku.
Ada barang dua detik kami bertatap mata.
Tanpa dinyana, ia perlahan menggerakkan ujung bibirnya, lalu tersenyum canggung.
Kalau senyum yang dimaksud adalah senyum yang menjadi standar operasional toko, pastilah ia terlihat rileks, atau mungkin terpaksa. Tapi kalau senyuman tipis nan canggung sebagaimana diperlihatkan perempuan itu, rasanya mustahil kalau itu ada dalam peraturan toko.
Aku tak membalas senyum itu. Rasanya sulit untuk tersenyum saat suasana jiwa saya masih sangat gelap.
Di kasir, pikiranku tak sengaja menerka maksud dari senyum tipisnya. Rasanya aneh kalau untukku, ia tersenyum sedemikian canggungnya.
Alhasil, aku meninggalkan toko itu dengan membawa sejumlah barang di tangan, dan sebentuk senyum tipis di dalam dada.