23 Desember 2015.
Hari ini hari terakhirku di kos untuk tahun ini. Aku akan pulang kampung bertahun baru bersama keluarga. Otomatis, hari ini aku akan membeli banyak kebutuhan menjelang keberangkatan. Mulai dari obat-obatan, peralatan pribadi hingga oleh-oleh.
Karena hal itu, aku mengunjungi toko tersebut, sampai 3 kali.
Dan 3 kali itu pula, aku melihatnya. Sayangnya di dua kunjungan pertamaku kami tak bertemu mata sehingga senyum tipisnya tak terlihat.
Siang itu aku harus membeli dua botol besar air mineral karena stok air minum di kos habis. Alhasil aku bergegas menuju tempat keranjang belanja ditumpukkan. Aku memilih pintu dekat loker karena di situ aku biasa melihat tumpukan keranjang belanja.
Dan tepat di samping tumpukan itu, berdiri sesosok perempuan yang kukenal rupanya.
Ya. Perempuan itu. Pemilik senyum tipis itu.
Alhasil, mau tak mau aku menghampirinya. Sayangnya aku tak cukup bernyali untuk menemuinya sehingga dalam perjalanan menuju tumpukan keranjang itu aku hanya bisa menundukkan kepala. Bahkan hingga aku selesai mengambil keranjang.
Kuangkat kepalaku sejenak.
Dan seperti biasa, senyum tipisnya masih mengetuk pintu jiwaku.
Aku tak kuat. Kutundukkan kepalaku lalu belok kiri menuju pintu masuk yang satu lagi.
Yang dia tahu, Jalanku masih tertunduk.
Yang dia tidak tahu, dalam tunduk kepalaku, aku tersenyum. Senyum yang bisa kulepaskan di luar kamar setelah sekian lama.
Aku mengambil air mineral lalu berjalan ke kasir untuk membayar. Di meja kasir lain aku melihatnya bercerita dengan teman perempuannya sesama karyawan toko.
Sembari menunggu giliran, aku melihat langit di luar toko.
Langit mulai mendung.
Hati mulai bertanya kepada Tuhan apakah hujan akan turun segera agar aku bisa melihatnya lebih lama – sembari berharap bisa berbicara dengannya atau setidaknya menyapanya – atau tidak.
Lalu kutolehkan lagi kepalaku ke kasir tempatnya berada. Dia masih bercerita dengan temannya, tapi sepertinya kali ini dia bercerita tentang aku. Beberapa kali aku melihatnya melirik ke arahku sembari bercerita. Yang bisa kutebak, ceritanya tentangku tak lebih dari kesan buruk. Terlihat dari raut mukanya yang sedikit masam, berbeda jauh dibandingkan manisnya puluhan senyum tipis yang telah ia berikan selama sebulan ini.
Giliranku membayar belanjaan telah selesai. Aku bergegas meninggalkan toko.
Langit masih mendung.
Hujan tidak turun.
Sepertinya Tuhan telah mencukupkan semuanya siang ini. Saatnya bergegas pulang mempersiapkan barang sebelum pulang kampung.
Dan pertemuan itu, jadi pertemuan terakhirku dengannya.
Jadi saat terakhirku menatap senyum tipisnya.