Spasi episode 10

-- 10 --

Catatan: Ada perubahan nama tokoh di cerita ini, bukan typo tapi sengaja untuk diganti. Alasannya untuk menghindari baper berlebih. Terima kasih.Pertemuanku dan Nara tidak berlanjut kemana-mana untuk waktu yang cukup lama. Nara benar, aku seketika merasa sehat setelah minum Nurofen pemberiannya. Aku tidak punya alasan untuk menanyainya lewat SMS. Aku berharap bisa seperti dia yang bisa memulai topik apa saja, namun aku tidak bisa.

Aku merindukannya. Malam pertemuan kami adalah malam terindah setelah malam-malam bersama Tari dan Alin di tingkat satu. Aku menikmati setiap suap nasi ayam McD dengan senyum dan rasanya makanan itu sangat lezat sembari mengingat sejarah yang ada di baliknya. Aku juga pergi tidur dengan rasa bungah (gembira) atas kenangan obrolan kami di Starbucks.

Nara juga tidak pernah terlihat di kampusku lagi.

Liburan semester ganjil tiba. Aku tidak memiliki kesibukan apapun selain mengajar. Kak Hanny dan Kak Vera tidak di asrama, katanya mereka sedang KKN.

Saat itulah aku mengisi waktu luang dengan mengunjungi Gramedia. Aku terpukau pada buku-buku yang terpajang di raknya. Aku bingung harus memilih yang mana. Lalu aku ambil satu buku dan saat melihat harganya, aku hanya menarik nafas panjang. Aku tidak punya uang untuk membelinya sekarang. Aku sedang menabung untuk membeli laptop yang tidak tahu kapan akan terkumpul. Aku melihat beberapa orang yang duduk di sebuah kursi sambil membaca buku-buku di tangan mereka. Setelah aku amati, ternyata ada beberapa buku yang terbuka bungkus plastiknya. Sejak saat itu aku mengisi waktu luang dengan membaca buku secara gratis di Gramedia. Aku memiliki kesukaan baru yaitu membaca.

“Disha?”
Aku mendongak ke arah suara yang memanggilku. Nara berdiri di hadapanku.
“Apa kabar lo?”
“Hai Nara, apa kabar? Aku baik!” Aku ulurkan tangan atas rasa gugup dan terkejutku.
“Baik! Lo baca apaan?” Nara melihat sampul buku di tanganku.
“Gue belom pernah baca itu. Bagus?”

Laskar Pelangi oleh Andrea Hirata.

Aku mengangguk. “Bagus. Kamu sendirian?”

“Iya gue sendirian. Lagi nyari pena sekalian aja liat-liat kesini.”

Ia memegang beberapa lembar nota.

“Kamu suka baca buku, Ra?” Tanyaku kaku. Nara tersenyum dan mengangguk. Rambut coklatnya ia ikat miring di belakang telinga kirinya sehingga gerainya ikut bergerak-gerak seiring gerakan kepalanya.

“Gue baca Klasik. Tuh Jane Eyre salah satunya!” Nara mengambil sebuah buku tebal bersampul coklat yang terletak tak jauh dari kami berdiri. Jane Eyre karya Jane Austen.
“Emm ada lagi gak ya disini? Ow The Lord of The Rings! Favorit gue!” Nara menarik tanganku menuju rak lainnya dan ia tunjukkan buku yang ia sebutkan. Buku-buku yang sangat tebal dan besar. Nama-nama pengarang yang tidak berbau Indonesia sama sekali.
“Kebanyakan buku yang gue baca gak ada disini. Belum diterjemahin kayaknya.” Nara melongok-longok ke rak.
“Terus kamu baca dimana?”
“Di rumah. Gue punya perpus di rumah, di kosan gue juga banyak buku kalo lo mau liat.”
“Aku boleh liat?” Ulangku tak percaya.
“Sure!” Mata Nara berbinar cerah.

Kami berjalan ke parkiran setelah membayar barang Nara. Kami tiba di samping motor Yamaha MX berwarna hitam yang masih tampak baru.
“Lo naik apa tadi kesini?” Tanyanya sambil membuka gembok di cakram depan.
“Angkot. Ini motor kamu atau punya Ravi Monyet juga?” tanyaku mulai berani bercanda.
“Haha! Ini motor gue! Baru setengah taun lalu belinya, masih keliatan baru karena jarang gue pake.”

Nara mengenakan jaket kulit dan helm yang menutupi kepala dan wajahnya. Dia tidak tampak seperti perempuan dalam dandanannya.

Aku belum pernah naik motor sejak di Bandung. Terakhir naik motor adalah saat dibonceng Saka.

Begitu keluar parkiran Gramedia, Nara tidak berkompromi dengan macetnya jalanan. Ia menyalip kanan kiri dengan lincah dan cukup ngebut sebelum benar-benar ngebut saat tiba di jalanan yang lebih lengang. Diam-diam aku memegang pinggir jaket kulitnya karena takut jatuh.

“Lo takut ngebut?” Nara membuka kaca helmnya dan menolehkan kepalanya ke kanan. Suaranya terdengar seperti gumaman dengan helm yang menutupi mulutnya. Aku mengangguk. Nara malah tertawa kencang dan menaikkan kecepatannya.

Kami tiba di kosan Nara. Sebuah rumah biasa dengan pagar setinggi dada. Aku bantu Nara membuka pagar dan ia parkir motor di depan kosannya. Kami masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada beberapa pintu lagi.
“Ada enam kamar disini. Rumah Ibu kosnya di belakang sana, depan belakangan sama rumah ini.” Nara menunjuk ke pintu belakang yang nampak dari pintu masuk. Nara membuka kunci sebuah pintu dengan simbol lingkaran dengan tiga garis seperti gambar pesawat. Di sudut-sudut pintunya ada logo kampus Nara dan beberapa logo BEM dari beberapa kampus berbeda termasuk kampusku.
“Ini gambar apa?” Aku menunjuk pada lingkaran bergambar pesawat terbang.
“Itu logo Peace, perdamaian.”

Nara membuka pintu kamarnya dan aku terperangah pada isi kamar Nara. Kamarnya di dominasi oleh warna hijau lumut dan putih kecoklatan dengan karpet coklat tebal selebar lantainya. Kamar Nara tidak sebesar kamar Tari, namun isi kamar Nara sangat penuh dan tertata rapi.

Ada sebuah meja dengan tivi layar datar di sisi pertama. Dalam meja berkaca itu juga ada Play Station (aku tahu karena Wahyu punya satu di rumahnya). Di samping tivi ada meja komputer dengan CPU berwarna hitam merah berukuran besar. Di samping meja komputer ada meja belajar yang diatasnya ada laptop berwarna perak. Di sisi kedua yang bersebrangan ada tempat tidur berukuran tunggal bersprei hijau lumut dan selimut dengan warna yang lebih muda lagi. Di sisi ketiga ada lemari baju yang bersebelahan dengan sebuah rak besar dan tinggi berisi buku-buku. Buku yang sangat banyak. Di sisi keempat ada kulkas satu pintu berwarna putih dengan tempelan-tempelan foto di pintunya.

“Santai aja ya Disha!” Nara meletakkan tasnya di atas kasur. Aku melepas sepatu dan kaos kakiku, tiba-tiba pintu yang tepat bersebelahan dengan kamar Nara terbuka. Seorang perempuan mengintip dari celah pintu yang terbuka menatapku. Aku tersenyum dan menganggukan kepala menyapanya, namun ia balas dengan senyum yang hampir tak kentara di bibirnya dan terus melihatku dengan tajam.

Aku segera masuk ke kamar Nara.
“Itu buku-buku gue. Kalo lo tertarik baca aja. Gue mau balesin email dulu.”
Nara melangkah ke kulkas dan membuka pintunya. Ada banyak botol berbagai ukuran di dalamnya. Nara memberiku satu kaleng minuman bernama Solo. Aku buka dan rasanya asam seperti jeruk nipis, kata Nara itu lemonade.

Aku melangkah ke lemari buku dan mengambil satu buku. Aku buka dan…

“Ini bahasa Inggris?”

Nara yang sedang sibuk menyalakan laptopnya mengangguk tanpa melihatku.

“Aku gak bisa bahasa Inggris, Ra.”

“Masa? Lo belum pernah coba kan?”

“Iya tapi aku gak punya dasar bahasa Inggris yang bagus, aku gak akan ngerti baca ini.” Lanjutku.

“Just try. Lo gak akan pernah bisa kalo lo gak mulai belajar.”

Aku duduk di karpet. Aku baca sinopsisnya dan aku tidak mengerti artinya. Aku letakkan lagi buku itu di tempatnya. Ada beberapa majalah dengan judul Vogue, Cosmopolitan, Bazaar dan GQ. Aku ambil salah satu, GQ, juga berbahasa Inggris. Aku berpura-pura membukanya dan melihat-lihat gambarnya. Isinya adalah artis-artis pria luar negeri.

Aku ambil majalah lainnya, Vogue, sama, bahasanya juga bahasa Inggris. Aku ambil Bazaar, juga berbahasa Inggris.

“Kamu gak punya Nova atau Kartini?” Tanyaku sambil membalik-balik tumpukan majalah. Aku beberapa kali pernah membaca Nova dan Kartini di asrama, bukan terbaru, melainkan langganan seorang kakak tingkat yang sudah lulus dua tahun lalu.
“Enggak.” Jawab Nara singkat. Aku lihat ia sedang mengetik email di laptopnya.
“Kenapa semuanya Bahasa Inggris, Ra?”
“Karena itu bukan majalah Indonesia.”
“Novel-novelnya juga bukan bahasa Indonesia.”
“Karena novel-novelnya juga bukan novel Indonesia, bukan ditulis oleh penulis-penulis Indonesia.”
“Kamu anak orang luar negeri ya Ra?”

Nara menoleh dan tertawa.
“Bukan euy!”
“Kok kamu pinter Bahasa Inggris?”
“Gue belajar, Disha.” Jawabnya santai.
“Lo suka ngegame?” Nara menutup laptopnya.
“Enggak. Aku gak bisa main gituan.”
“Belajar Disha, jawaban gak bisa kalo kebanyakan itu ngebetein tau! Eh gue mau ke kamar mandi dulu ya!”

Aku menarik satu buah novel lagi. Ada gambar wajah seorang anak kecil di sampulnya yang didominasi warna biru. Nama penulis Torey Hayden tercetak besar dalam warna merah di bagian atas sampul dan tulisan One Child tercetak dengan warna yang sama dalam huruf latin di bawahnya. Aku mencoba membaca sinopsis di bagian sampul belakang. Banyak kata yang tidak aku mengerti. Aku mengambil alfalink di tasku dan mencari satu persatu artinya.

Nara sudah berganti baju dengan celana pendek dan kaos tanpa lengan saat kembali.

“Kamu udah baca semua buku disini?”
“Yang belum gue baca cuma yang ada di tumpukan paling atas.”

Hanya ada lima buku di tumpukan paling atas dan lebih dari lima puluh buku di rak-rak bagian bawah. Aku terperanjat kagum.

Nara sudah baca buku sebanyak ini?

“Kalo ini tentang apa?” Aku menunjukkan buku di tanganku.
“Itu kisah tentang seorang anak yang di-abuse, emm, kekerasan pada anak dan dia menjadi, let’s say, sedikit “gila” dan gak bisa dikendalikan. Lalu anak itu masuk ke sekolah anak berkebutuhan khusus dan yep, sisanya cerita tentang dia disana. Bawa aja kalo lo mau baca! Jangan dirusak ya.”

Aku tidak tahu apa yang menjadi motivasi terkuatku selain melihat koleksi buku Nara di kamarnya. Sejak mengenal Gramedia, aku mulai suka membaca meskipun belum ada satupun buku yang aku selesaikan. Aku menemukan kehidupan lain yang menarik dibanding kehidupanku sendiri. Tapi aku tidak pernah mampu untuk membeli buku. Kebutuhanku untuk membeli laptop juga menyisihkan uang untuk Bapak adalah tanggung jawab primer untuk menahan diri atas keinginan pribadiku.

Aku menuruti celetukan Nara untuk mencoba membaca buku-buku yang tidak aku mengerti bahasanya.

Ya, aku membawa pulang novel One Child, membacanya kalimat per kalimat, aku tulis apa yang mampu aku mengerti dari setiap paragraf dan aku baca ulang coretanku sebelum aku melanjutkan karena bahasa yang sangat sulit bagiku itu selalu membuat aku lupa.

Nara benar, aku tidak akan pernah berhenti bilang tidak bisa sampai aku berhenti bilang itu dan memutuskan untuk mencoba. Meskipun aku masih kesulitan membaca bahasa Inggris, tapi pelan-pelan aku mulai menemukan irama dalam satu paragraf. Aku mulai bisa mengingat inti paragraf sebelumnya tanpa harus menulisnya di binder.

Sejak saat itu aku menjadi akrab dengan Nara, setidaknya menurutku. Ia mengijinkan aku untuk main ke kosnya dan membaca buku disana, menanyakan padanya apa yang tidak aku mengerti dan mengerjakan tugas di komputernya. Namun, Nara yang sangat sibuk dengan kegiatan kampusnya membuat kebersamaan kami juga tidak sering.

“Eh kamu kelasnya Pak Dani bukan?” Seorang pria menepuk bahuku saat aku sedang mengerjakan tugas di sekitar prodi.
“Iya Kak.”
“Tolong tempel ini di pintu kelas kamu nanti ya. Hari ini Pak Dani gak ada, akan diganti dengan tutorial besok sore. Oiya, aku Zaki, kamu?” Ia ulurkan tangannya menyalamiku.
“Disha, Kak.”

Tutorial tidak wajib bagi kami, namun sejak tutorial pertama dilakukan, aku tidak pernah mau melewatkan kelas Kak Zaki. Selain menyukai cara menjelaskannya yang sederhana, aku menyukai Kak Zaki. Rasa suka yang perlahan tumbuh menjadi pengagum rahasia, lalu membiarkan cinta menjulurkan sulurnya. Kak Zaki berhasil membuat aku teralih dari Wahyu.

Kak Zaki sangat terkenal kecerdasannya, beberapa kali aku mendengar namanya disebut dan diam-diam aku mengintip nilai kelasnya yang terpajang, Kak Zaki selalu mendapatkan nilai bagus. Kak Zaki juga sangat ramah. Ia juga sangat sabar, mau mengulang penjelasan berkali-kali hingga OOOH! Terlontar dari murid ajarnya. Keramahannya juga membuat aku berani bertanya tentang materi yang tak aku mengerti di luar jam tutorial. Aku berani memanggil namanya dan bertanya cara mengerjakan soal. Ia juga melayani pertanyaanku dengan sabar hingga aku mengerti meskipun aku sendirian.

“Dish, kamu belum makan malem kan? Kalo kita lanjut belajar habis sholat maghrib sambil makan gimana?” Ajak Kak Zaki suatu hari. Kantin dalam kampus sudah tutup setelah maghrib sehingga kami harus berjalan agak jauh ke kantin luar kampus sehingga kami mencari makan di luar kampus.

Kak Zaki juga bukan anggota himpunan, ia sibuk dengan hobi bermain basket dan sesekali tenis katanya. Malam itu, sepanjang perjalanan ke kantin ia berbagi cerita tentang pemain-pemain terkenal yang ia kagumi. Aku hanya mendengarkan tanpa berkomentar dan sesekali aku melihat wajahnya yang tampak segar dan bersemangat. Aku belum pernah dekat dengan pria manapun sejak kuliah dan aku langsung jatuh cinta pada pria yang dekat denganku.

“Udah aku aja yang bayar!” Kak Zaki menahan tanganku yang hendak membuka dompet untuk membayar makan malamku.
“Gak usah Kak!”
“Udah gak apa-apa, timku baru menang tanding bulan lalu, hadiahnya baru turun tadi!” Tagasnya pelan.
“Oya?? Tanding basket lawan mana Kak?”
“Sama kampus sebelah! Tipis banget sih menangnya, 49-51. Akhirnya loh Dish, setelah bertahun-tahun selalu kalah!”
“Waah, selamat ya Kak!”
“Iya makanya aku traktir kamu. Jangan bilang siapa-siapa ya, nanti pada minta aku traktir!”
“Haha enggaklah Kak!”
“Iya kalo kamu diem aja, aku bisa traktir kamu terus selama seminggu!” Kak Zaki tertawa pecah.
“Sip Kak! Cuma jadi rahasia kita! Makasih ya Kak”

Kami melanjutkan belajar lagi.

“HEH! LO YANG NONJOKKIN TEMEN GUE KEMAREN?!” Suara teriakan dari kantin sebelah kami menghentikan diskusi kami. Setiap kantin hanya dibatasi pagar setinggi pinggang sehingga kami bisa melihat orang-orang yang ribut di sebelah.
“Nara??” panggilku saat melihat Nara berdiri dengan berkacak pinggang di hadapan sekelompok laki-laki yang sedang ngobrol sambil minum kopi. Nara seketika menoleh. Rambutnya sama seperti saat itu, ia gelung dengan pensil. Mata Nara tertuju pada Kak Zaki dan tersenyum, namun segera ia tarik lagi senyumnya.

“Bentar ya Dish! Zak!”

BRAAK! Nara menggebrak meja di hadapannya.
“KALO LO BUAT MASALAH SAMA TEMEN GUE LAGI, LO BAKAL BERADAPAN SAMA GUE ANJING! SEKARANG LO YANG TANGGUNG BIAYA RUMAH SAKIT DIA! INI BONNYA! GUE TUNGGU SAMPE BESOK SORE, KALO MASIH GAK LO BAYAR, GUE PATAHIN TANGAN LO!”

“YAELAAH! CEWEK BELAGU SIH LO! GAK MEMPAN ANCEMAN LO YE! APAAN MULUT SAMPAH! DASAR PEREK!” Balas pria yang dikecam Nara. Nara dengan cepat menarik kerah kaos pria yang masih duduk di hadapannya.

“Denger ya lo gigolo kolong jembatan! Kalopun gue perek, duit Bapak Mak lo gak akan pernah cukup buat beli gue, sebelum lo panggil gue perek lagi, gue bisa panggil pemilik warung ini sekarang buat buka cashbon lo dan bacain dengan keras berapa utang lo! Orang yang punya warung ini punya anak bini buat dikasih makan, tapi otak goblok kayak lo ngutang gak dibayar-bayar bikin dia bangkrut, bukan untung! Jadi sebelum gue buka cashbon lo dan bacain seberapa banyak utang lo, mending lo bayarin biaya rumah sakit temen gue! Dia harus pasang pen di tangannya gara-gara lo, ANJING!”

Pria itu bergeming dan menatap Nara dengan seringai mengejek.

“FINE! Lo gak mau bayar?”

Pria itu masih menyeringai.

BUUK!

Satu tonjokkan Nara mendarat di wajah pria itu dan seketika hidungnya berdarah dan pria itu merintih kesakitan. Nara masih menahan kerah kaosnya dan mendaratkan satu tonjokkan lagi di wajahnya, darah segar yang mengucur dari hidung pria itu meleleh ke kaos yang ia gunakan.

“Lo yang mulai ngerusuh temen gue dan lo kudu bayar tindakan lo! Gue tau lo gak akan bales gue karena lo ngenggep cewek gak level buat diajak berantem! Tapi lo kudu inget, hidung lo patah gara-gara ditonjok cewek dan cewek itu gue!” Nara melepaskan cengkeramannya lalu mengelapkan tangannya yang terkena darah ke kaos pria itu.

“PEREK!” Kata itu masih diteriakkan oleh pria tersebut. Teman-temannya yang lain hanya menatap Nara tanpa melakukan apa-apa.
“Iya gue satu bordil sama Mak lo!” Balas Nara dengan tawa. Sang Pria hendak menyerang Nara sebelum seorang temannya menahan tubuhnya dan mengajaknya pergi dari sana.

Nara menghampiri kami berdua dengan wajah ceria. Aku masih tak percaya pada apa yang terjadi, berusaha melihat tangan dan wajah Nara bergantian. Namun tampak tak ada bekas di tangan juga wajahnya.

“Heiii kalian ngapain malem-malem disini!” Nara duduk di sebelah Zaki dan menumpangkan tangannya di bahu Zaki.
“Disha minta diajarin.” Jawab Kak Zaki singkat.
“Kalian saling kenal?” Tanyaku.
“Zaki kan anak basket yang amat sangat terkenal kemampuan dan kegantengannya, ya gak Zak haha!”
“Ih gak juga kali Ra, masih lebih terkenalan kamu!” Kak Zaki menjepit hidung Nara.
“Ngapain kamu ribut sama mereka?” tanya Kak Zaki.
“Dia gebukkin temen gue gara-gara temen gue gak sengaja nabrak pacarnya pas di parkiran. Lagian mereka nyebrang gak liat-liat. Cuma ketabrak dikit dan kakinya lecet, gak terima tuh cowoknya, main hantam aja dah! Tulang tangan temen gue retak tuh sekarang!”
“Wuuuh! Segitunya?”
Nara menaikkan bahunya. “Power of Stupid Love! Padahal tau gak sih si cewek itu juga pacaran sama anak kampus gue! Eh beliin makan dong Zak!”
Kak Zaki melihatku dan mencibirkan bibirnya.
“Kak Zaki habis menang tanding basket.” Celetukku dengan tawa atas wajah Kak Zaki yang lucu.

“NAHKAAN! Gue juga tau sih, cuma gue yakin lo pasti kabur dari gue! Eh Dish, kalo minta traktiran pemenang basket jangan di kantin ginian, ajak pergi ke restoran! Menang banyak asli! Ya kan Zak??” Nara mencubit pinggang Kak Zaki.
“Yeee! Enak aja!”
“Eh serius! Traktir kita ke restoran dong! Kalo gak bakal gue umumin kemana-mana nih!” Ancam Nara. Kak Zaki merengut lalu mengangguk terpaksa.
“Solaria aja yak!”
“Solaria gigi lo boneng! Hanamasa Hanamasa!”
“Hanamasa gigi kamu yang boneng!”
“OK gue siap jarkom nih!” Nara mengeluarkan hapenya.
“AAA IYA IYA HANAMASA!!”
“OK weekend yak! Hanamasa Dago! Lo yang jemput Disha karena gue ada rapat sampe jam lapan!”

Aku melihat mereka berdua bergantian. Antara rasa senang, gugup dan bingung. Kak Zaki menyelesaikan penjelasannya sementara Nara makan dengan lahap.
“Gue boleh ikut kelas tutorial lo gak sih Zak?” tanya Nara.
“Boleh boleh! Tiap hari Selasa sama Jumat jam setengah lima sampe jam enam.”

Malam itu Nara mengantarkan aku pulang ke asrama. Aku masih teringat pada pertengkaran tadi, merasa takut, asing dan bingung atas diri Nara.
“Tadi kamu berantem itu, gak takut bakal dibales Ra?”
“Enggak, dia gak bakal berani nyentuh gue.”
“Tapi kamu terlalu berani gak sih Ra, seharusnya gak usah sampe mukulin gitu.”

Nara meminggirkan motornya lalu membuka helmnya.

“Kalo ada yang nyakitin temen gue, gue akan bales.”
“Yatapi gak berantem gitu juga Ra.”
“Dish, dia patahin tangan temen gue saat temen gue udah memohon-mohon minta maaf gak sengaja.”

Aku diam. Aku masih tidak mengerti dan menganggap perbuatan Nara keterlaluan.

“Itu gunanya temen, dia akan selalu ada saat lo sakit dan selalu jadi orang pertama buat nolongin lo. Gak peduli meskipun lo harus lebih sakit.” sambungnya.

“Tapi itu konyol gak sih?”

“That is friendship, lo menjadi konyol dan gila bersama-sama.”


Spasi

Spasi

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2017 Native Language: Indonesia
Kata orang, persahabatan yang sukses adalah saat aku dan kamu menjadi kita dan kita saling menjadi buku yang terbuka.Tapi tidak ada yang bercerita tentang apa isi dalam bukunya. Bagaimana jika buku itu berisi bahasa yang berbeda dalam aksara yang juga purba? Bahasa yang aku dan kamu tidak mengerti cara membacanya. Akankah kita bisa mencapai nirwana yang kamu sebut Valhalla? Mungkin tidak ada surga di ujung jalan kita karena surga itu mungkin ada disini. Namun kita saja yang tidak pernah mau melihat lebih dekat. Mungkin juga tidak ada neraka yang menunggu kita karena bisa jadi apa yang kita tinggali saat ini adalah neraka.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset