Spasi episode 11

-- 11 --

Jatuh cinta.Jatuh cinta adalah saat yang paling tepat untuk melabeli diri dengan sebutan orang gila. Harus dipaparkan seperti apakah perasaan ini? Terkadang kata yang kabarnya bisa membunuh, justru tidak mampu mewakilkan rasa jatuh cinta dalam barisan paragraf. Kabarnya kata juga bisa menjelaskan apapun, namun saat jatuh cinta dijelaskan dengan kata, penjelasan itu seolah jadi setapak kecil yang berujung di rimba belantara: ah susah dijelasin! Cuma bisa dirasain!
Tapi ajaibnya hampir semua orang dewasa bisa membenarkan rasa yang tidak terwakil dengan kata-kata ini. Pengalaman selalu menjadi bahasa universal.

Bersama Wahyu, tidak ada istilah “pertama kali melihatnya”. Ini menjadi pembuka cerita yang sangat tidak menarik kan?

Aku dan Wahyu lahir hanya berbeda tiga hari. Lahir dengan dukun anak yang sama, di rumah yang tidak berjauhan. Setiap pagi kami dijemur bersama-sama, diajak jalan-jalan bersama-sama, dikumpulkan di satu perlak saat di sawah, memakai binggel (gelang kaki dengan kerincingan) berwarna sama, memakai popok yang sama, juga jarik gendongan yang juga sama.

Saat kami beranjak besar, kami bermain bersama, berguling-guling di tumpukan abu (sisa pembakaran kayu saat membuat gula merah), mandi di kali, bermain ketapel, leles (memungut) bendo (sejenis biji-bijian yang dibakar lalu dimakan), dan mencari belut di sawah. Kebersamaan yang tak cukup disitu, kami juga selalu satu sekolah.

Orang tua Wahyu lebih ndeso dari orang tuaku. Bapakku menghabiskan masa lajangnya dengan bekerja di kota, kadang sebagai buruh bangunan, kadang juga sebagai kernet truk sebuah perusahaan jasa angkut barang. Bapak lebih terbuka wawasannya tentang indahnya dunia luar. Sedangkan Bapak Ibu Wahyu tidak pernah tahu balik Semeru dan dibalik rasa sayang mereka padaku, mereka pun tak sabar untuk bisa memelukku sebagai mantu. Bahkan mereka memintaku jadi mantu sejak kami lulus SMP, AH….

SMP! Saat lulus SMP kami hanya berusia 15 tahun dan kami hendak dinikahkan!

Bapak menolak dan meminta kami tetap sekolah hingga SMA. Saat kelas satu SMA, Wahyu menyatakan cintanya padaku, bukan yang pertama kali. Ia selalu bilang “Aku cinta kamu” sejak SMP, lewat surat atau diam-diam saat pulang sekolah. Akhirnya kami memutuskan pacaran tepat saat masuk SMA. Sekolah baru, seragam baru, pacar baru.

Tentu saja aku juga jatuh cinta pada sahabatku itu. Hubungan yang sudah disetujui orang tua kami membuat segalanya mulus. Sangat mulus. Semua permintaan yang menyangkut kami berdua selalu dijawab dengan iya.

Lalu aku jatuh cinta pada Kak Zaki. Orang yang tidak aku ketahui sama sekali tentangnya. Orang yang hanya aku kenal wajah, nama dan suaranya. Tapi seiring hari bertambah, sosoknya semakin menempel lekat di ingatanku. Aku tidak tahu apa yang pria rasakan saat mereka jatuh cinta, tapi aku rasa fungsi biologis bekerja dengan cara yang sama saat mengalami rasa yang satu ini.

Mengapa aku menyebut jatuh cinta adalah legalisasi untuk menjadi gila?

Karena setiap hari aku (dalam hal ini) selalu membayangkan akan kehidupan yang akan aku jalani bersama Kak Zaki. Bagaimana dia mengajariku materi yang tak aku mengerti, lalu diam-diam dia melihatku seperti aku melihatnya. Kemudian ia akan menyentuh tanganku dan menggenggamnya, juga memeluk bahu atau pinggangku dengan tangannya yang lain. Aku juga akan menyediakan bahuku untuknya tidur saat dia merasa lelah mengajariku atau aku sedang sibuk mengerjakan tugas. Hingga bayangan terliarku, aku membayangkan kami akan menikah dan memiliki anak-anak yang berwajah tampan sepertinya, cerdas sepertinya, dan olahragawan sepertinya.

Imajinasi-imajinasi tak waras ini tentu saja membuat pikiranku tak waras. Aku tidak bisa berpikir jernih. Setiap kali wajahnya muncul di kepalaku, dimana seperti jam buka McD: 24/7, aku justru tidak bisa berpikir, yang terjadi justru detak jantung yang meningkat cepat, perut berputar-putar, darah yang mengalir cepat ke wajah dan berujung pada cekikikan sendiri dan memukul-mukul kepala untuk menyadarkan lamunan.

Saat melihat wajahnya, aku justru memilih untuk menunduk atau pura-pura sibuk karena aku takut ia bisa melihat isi kepalaku saat mata kami bertemu. Aku takut dia akan lari ketakutan jika dia sampai tahu imajinasi Disha yang gila. Aku menikmatinya saat melihatnya dari jauh, duduk di deret agak belakang di kelas dan mendengarkan suaranya sambil tersenyum sendiri dengan pura-pura menulis.

Aku juga mulai mengikuti apa yang dilakukan Kak Zaki. Dia selalu membawa minum dalam sebuah botol berwarna biru dengan karabiner kecil berwarna sama. Kadang ia gantungkan minum di ranselnya, kadang ia bawa begitu saja. Saat mengajar ia akan minum beberapa kali. Aku juga melakukannya. Bukan dengan botol yang sama karena aku takut itu akan terlalu mencolok, tapi aku juga minum seperti Kak Zaki meskipun aku tidak haus, aku hanya ingin mengikuti kebiasaannya.

Kak Zaki juga bilang ia selalu lari pagi selama satu jam, dengan begitu ia selalu merasa segar seharian. Aku juga melakukannya. Tidak berefek segar bagiku, yang terjadi justru aku ngantuk di pagi hari setelah lelah berolahraga. Disha payah.
Aku juga mulai mengikuti kabar nilai kelas Kak Zaki, melihat nama dan nilainya saat tidak ada orang lain. Tertawa dan bertepuk tangan sendiri saat tahu Kak Zaki memimpin nilai seperti biasa. Diam-diam bilang “Selamat ya Kak! Kakak memang hebat!”

Ada yang sepertiku?

Jatuh cinta adalah fenomena yang sangat aneh. Aku bisa merasakan rasa sekuat ini pada orang yang tidak aku kenal dengan baik. Seiring tumbuhnya cinta, Kak Zaki turut mengisi halaman coklatku, membuat rimba yang tak mampu ditembus matahari menjadi sedikit tersibak, memberi jalan Sang Surya untuk sapa tanah.

Menunggu hingga akhir pekan seperti membuat aku tercekik dengan imajinasi yang semakin lancang dan tak mau diam. Kata Nara, Kak Zaki akan menjemputku, Kak Zaki juga sudah mengonfirmasinya beberapa hari sebelumnya di kelas. Ia tanyakan dimana aku tinggal dan arah menuju kesana. Aku ingin diam saja di asrama di sisa hari agar aku bisa mengumpulkan tenaga untuk pergi bersama Kak Zaki sebelum bertemu Nara.

Hari yang dijanjikan pun tiba. Kak Zaki akan menjemput aku setelah isya, kira-kira pukul setengah delapan. Aku memilih pakaian yang tak banyak di lemari. Sepatu yang juga hanya ada sepatu lari yang juga aku pakai kuliah. Aku harus berdandan apa? Lalu aku lihat sepatu Kak Vera yang ada di bawah meja. Kak Vera sedang membeli makan katanya.

Aku mencoba sepatu berwarna merah dengan simpul pita di bagian depannya. Ukurannya pas di kakiku. Ada hak pendek di bagian bawah, membuat aku sedikit merasa tinggi saat memakainya. Mungkin ini bisa sedikit membantu penampilanku dengan celana jeans dan kemeja. Aku kembalikan lagi sepatu itu dan menunggu Kak Vera pulang.

“Kak Vera, Aku boleh pinjem sesuatu gak?” Pintaku saat Kak Vera sudah selesai makan.
“Apa Dish?”
“Aku boleh pinjem sepatu Kakak yang itu?”
Kak Vera mengikuti arah mataku yang melihat ke bawah meja.
“Oh pake aja Dish! Aku gak suka makanya gak pernah aku pake. Waktu di toko keliatannya bagus, pas dipake gak cocok di kakiku haha! Udah lama itu belinya, waktu aku masih di tingkat dua kalo gak salah.”

Waaah senangnya! Kak Vera bahkan memberikannya untukku!

Aku duduk di ruang tamu asrama, mengecek luar jendela berkali-kali, dan mengamati sepatu cantik di kakiku. Tak lama kemudian aku mendengar pintu gerbang terbuka. Kak Zaki celingak-celinguk melihat sekeliling asrama.

“Kak Zaki!” Panggilku saat aku keluar gedung.
“Hey Dish! Aku bingung masuknya lewat mana haha!”

Kak Zaki juga tampak berdandan lebih rapi malam itu. Di balik jaketnya yang tidak terseleting ia mengenakan kemeja putih dan celana jeans berwarna biru.

“Cowok gak boleh masuk ke dalem ya?”
“Iya Kak gak boleh, tamu laki-laki harus nunggu di luar kecuali orang tua yang itu juga harus ijin dan pas ada Ibu asramanya.”
“Waah ketat banget ya. Asik gak Dish tinggal di asrama?”
“Hehe ya gitu deh Kak.”

Aku mengikuti Kak Zaki keluar gerbang. Sebuah motor — aku tidak tau namanya — tapi aku tahu motor itu digunakan untuk offroad/trail, terparkir di luar pintu pagar.

“Ini motor gue Dish! Gak apa-apa ya naik motor dulu, mobilnya nanti kalo udah kerja haha!” Kak Zaki menyerahkan helm padaku dan mengenakan helmnya sendiri. Antara tertegun, bingung dan bahagia mendengar kata-kata Kak Zaki, aku hanya mengangguk dan ikut tertawa. Seperti Nara, Kak Zaki ngebut dengan motor yang berisik suaranya.

Nara belum tiba saat kami tiba di tempat makan. Kak Zaki bicara dengan pelayan yang mengenakan kimono di pintu depan.
“Pernah makan disini Dish?”
“Belum Kak.”
“Bakal jadi pengalaman yang beda Dish!”

Aku pun mengikuti Kak Zaki ke tempat duduk. Ada panggangan di atas meja. Lalu pelayan lain datang meletakkan mangkuk-mangkuk, menyalakan panggangan dan meletakkan sesuatu di atasnya. Kata Kak Zaki itu lemak sapi, fungsinya seperti minyak atau mentega untuk menggoreng.

Kak Zaki mengajakku mengambil makanan di konter panjang. Aku tidak punya ide sama sekali apa yang ada di depanku sehingga aku ikuti apa yang diambil Kak Zaki. Kami kembali ke meja dan aku perhatikan Kak Zaki yang meletakkan makanan di atas panggangan dengan sumpit. Aku takjub sekali dengan tempat makan ini. Kami diminta memasak sendiri sebelum makan. Kak Zaki meletakkan makanan yang sudah matang di piringku dan piringnya.

“Makan Dish!”
“Kita gak nunggu Nara dulu Kak?”
“Udah dia gak usah ditungguin. Nara bisa nyium bau makanan dari jarak satu kilo, bakal dateng sendiri!”
“Nanti kalo makanannya habis gimana?”
“Kalo habis tinggal beliin dia batagor di depan itu!”

Kak Zaki mulai melahap makanannya. Aku berkali-kali melihat pintu namun Nara tak kunjung datang. Aku pun memutuskan tidak makan meskipun lapar, berpikir untuk menyisakan makanan untuk Nara nanti.

“Kamu udah lama kenal Nara?”
“Belum Kak. Baru semester lalu. Kalo Kakak?”
“Aku kenal dia waktu dia masih tingkat satu. Aku lagi latian basket di Saraga, sebelahan sama lapangan voli tempat dia latian.”

Kak Zaki tertawa kecil sendiri.

“Nara itu kayak bule gak sih? Aku kira dulu dia bule, kaget waktu main basket. Kami berenti main cuma buat liat bule lagi main voli haha!”
“Haha iya, aku juga ngiranya begitu.”
“Trus waktu beres latian temenku modusin dia. Kami bertiga waktu itu, nekat nyegat Nara yang lagi jalan sendirian buat kenalan haha!”
“Terus Kak?” Rasa laparku seketika hilang mendengar cerita Kak Zaki.
“Kami kenalan. Dia kasih tau kampusnya dia dan kami kasih tau kampus kami juga. Nah temenku ada yang naksir sama dia, dikecenginlah Nara ke kampusnya, aku ikut aja sih nganterin.” Kak Zaki meneguk minumnya sebelum melanjutkan.

“Nah Nara itu dulu belum punya motor. Masih mahasiswa baru unyu-unyu gitu, ditawarin dianter gak mau. Pas besok-besoknya kesel juga kayaknya dia sama si Azril (teman Kak Zaki) yang selalu nyegat Nara di gerbang kampus, dibentaknya itu Azril ‘Gak usah gangguin gue lagi, gue udah punya pacar!’ katanya. Azril langsung ciut dan patah hati, gak mau deketin Nara lagi haha.”

“Terus-terus?”

“Gue gak ketemu Nara lagi sampe dia semester dua atau tiga kalo gak salah. Dia aktif main voli dan kami sering ketemu lagi di tempat latian. Azril udah gak mau deket-deket Nara, galak katanya haha. Gue mulai deket sama Nara sejak saat itu. Awalnya sih becandain si Azril, tapi lama-lama kami jadi temen. Rumah kami sama-sama di Jakarta dan kami sering pulang bareng sejak saat itu. Semester tiga dia mulai gabung BEM, dia lebih sibuk, kuliah ketetaran dan sering manggil gue buat ngajarin dia.”

“Kak Zaki pinter ya.” Pujiku keceplosan. Kak Zaki hanya mengerlingkan matanya, membuat aku blingsatan.

“Trus semester empat kami makin deket, aku sering ke kosannya, dia sering ke kosanku, kami sering pergi makan bareng, belajar bareng, pergi latian bareng, dan…”

Kak Zaki tidak meneruskan kalimatnya.

“Nara bukannya masih semester empat, Kak?” tanyaku pada Kak Zaki yang diam.

“Semester empat? Haha kamu diboongin sama dia! Satu tingkat dibawahku dia! Sekarang semester enam tuh anak!”

Aku menyandarkan tubuhku di sandaran sofa.

“Jangan dibilangin ke dia ya Dish!” Lirih Kak Zaki. Makanan di piringnya sudah habis.

“Bilangin apa Kak?”

“Kalo aku suka sama dia.”

Oh Gusti…….

“Saingannya banyak Dish kalo suka sama Nara. Aku gak masuk kategorinya dia kayaknya haha!”

Aku menjilat bibirku yang tiba-tiba terasa keringnya.

“Udah lama Kak sukanya?”
“Udah setaun. Bego kan!”

Aku melihat Nara muncul di pintu depan, bicara dengan pelayan berkimono dan melambai ke arah kami. Kuremas erat tangan di pangkuanku dan kucubit-cubit sendiri lenganku agar aku tetap sadar dan tidak menangis.

“Nara dateng Kak.” Bisikku. Kak Zaki menoleh dan melambaikan tangannya.

“Heloooo Bitcheees!” Nara langsung duduk di samping Kak Zaki.
“Gue belom mandi, mau mandi dulu keburu laper! Bau ketek dikit gak apa-apa ya!” Nara mengangkat lengannya ke atas dan menyodorkan ketiaknya pada Kak Zaki.
“Jorok deh kamu. Ambil makan dulu sana!”
“Yeee makan makan makan!” Nara pun memilih makanan ke konter.

Aku menggigit daging sapi yang sudah dingin. Rasa laparku yang tadi berganti dengan rasa girang, kini berganti dengan rasa yang hilang. Kak Zaki ternyata jatuh cinta pada Nara. Mungkin Kak Zaki merasakan apa yang aku rasakan, debar tak tentu, tapi bukan atasku, melainkan atas Nara.

Nara kembali ke meja dan mulai memasak makanannya sambil bercerita tentang kegiatannya.

Aku mengamati Nara diam-diam dari balik asap panggangan. Aku tidak mengenali gadis ini. Ia bahkan bohong padaku tentang tingkat kuliahnya. Ia memang mengijinkan aku membaca buku-bukunya, meminjam komputernya, mengunjungi kosannya, tapi aku ingat kalau Nara tidak pernah menceritakan apapun tentang dirinya selain obrolan tentang buku yang aku baca atau yang sudah ia baca.

Nara dengan semua wah-nya seorang Nara, yang berani berjalan telanjang kaki di kampus, yang mentraktir aku di Starbucks dan bercerita tentang kopi dan sedikit tulisanku, yang berani ngebut di jalanan, yang membaca banyak sekali buku, yang meninju seorang laki-laki tanpa ampun padahal ia sendirian.

Aku sudah jatuh hati pada Nara saat melihatnya pertama kali. Aku menyukai semua yang ada di dirinya. Aku mengagumi kepercayaan dirinya yang berani berjalan tanpa alas kaki di tengah kampus. Bagiku saat itu, itu adalah tindakan yang sangat berani. Berani untuk menarik perhatian orang lain untuk melihatnya. Aku tidak pernah melihat orang berjalan tanpa alas kaki di kota ini.

Aku tidak pernah dilihat. Selain nilai-nilaiku yang berada di urutan pertama atau kedua saat SMP dan SMA, selebihnya aku tidak dilihat. Tidak ada teman yang menghampiriku ke rumah kalau aku tidak masuk sekolah selain Wahyu. Tidak ada teman perempuan yang akan mengajakku main lompat tali, juga tidak ada yang mengajakku main BP (Bongkar Pasang).

Meskipun semuanya agak berubah saat aku dan Wahyu memutuskan berpacaran, mungkin karena Wahyu lebih populer dibanding aku sehingga orang lain mau tak mau melihat aku. Beberapa anak seperti Nilam mendekatiku, namun hanya untuk kepentingan akademik, atau mendengarkan curhatannya, tanpa mau mendengarkan aku. Beberapa anak juga main ke rumah, namun hanya untuk meminjam catatan atau jawaban, tapi tidak menawariku saat mereka akan pergi mendaki gunung atau jalan-jalan ke Lumajang.

Aku tidak pernah berpikir aku dimanfaatkan karena aku selalu meletakkan harapan suatu hari akan ada yang melihat ke dalam kedua mataku, melihat apa yang aku inginkan, lalu dia akan tersenyum dan mengerti tanpa aku perlu mengatakannya.

Nara melakukan itu padaku. Nara melihatku saat tidak ada orang yang melihatku. Nara melihatku saat Tari dan Alin tidak melihatku lagi. Setidaknya itu yang aku rasakan saat bersamanya.

Aku mengaguminya. Aku bahkan menuruti celetukan Nara untuk membaca buku-buku yang tidak aku mengerti bahasanya. Aku bersedia belajar karena aku menurutinya. Karena aku mengaguminya.

Tapi, kenapa dia berbohong padaku atas sesuatu yang sangat sederhana?
Sangat sederhana dan itu cukup membuat aku seketika merasa tidak tahu apa-apa tentangnya.
Siapa nama lengkapnya? Darimana ia berasal?

Kini ditambah Kak Zaki yang ternyata menyimpan rasa padanya….

“Kamu sibuk apa di kampus Ra?” Tanyaku. Tanya yang aku sampaikan dengan marah dan kalah.
“Hmm? Gue? Kuliah.”
“Sampe malem gini?”
“Tukang demo dia Dish!” jawab Kak Zaki.
“Bukan anak BEM namanya kalo gak ikutan demo!”

Aku diam. Aku ingin bicara tapi aku takut menangis. Aku harus diam.

Nara dan Kak Zaki mengisi sisa waktu dengan mengobrol. Sesekali menanyaiku namun aku sudah kehilangan tempatku. Hatiku patah atas Kak Zaki juga Nara.

Aku merasa sendiri di hadapan mereka berdua.
Sendiri yang sedih.

“Gue aja yang ngater Disha pulang!” Sekalian ada yang mau gue datengin di Dago.”
“Siapa?” Tanya Kak Zaki.
“Pelanggan gue!”
“Nara jangan gitu dong!” Rajuk Kak Zaki. Nada suaranya mungkin bercanda, tapi aku bisa melihat kaca di matanya saat ia berkata demikian. Kaca di mata seorang pria? Dia pasti sangat gila pada gadis ini.
“Enggaklah! Becanda! Mau ke rumah temen!”

Nara memeluk Kak Zaki erat dan Kak Zaki juga melingkupkan tangannya ke badan kurus Nara. Pelukan pertama yang aku lihat dan melukaiku berkali-kali lagi.
“Take care.” Lirih Kak Zaki yang hanya dijawab senyum oleh Nara.

Kami berpisah di parkiran. Aku masih membawa helm Kak Zaki dan berjanji akan aku bawa besok ke kampus.

“Berisik yak naik motor si Zaki?” Canda Nara saat kami sudah menembus jalanan Dago yang mulai sepi. Aku tidak menjawab. Kami tidak bicara apa-apa hingga tiba di asrama.
“Gimana kabar temen kamu yang sakit, Ra?”
“Masih dirawat, lusa balik katanya.”
“Anak yang kamu pukul waktu itu mau bayar?”
“Mau dong!”

Nara memutar arah motornya dan aku hanya bersandar di pintu pagar.

“Lo kenapa? Sakit?”

Aku menggeleng.

“Kak Zaki bilang kamu semester enam.”

Nara menyibakkan rambutnya yang tertiup angin malam dan melihatku.

“So? Masalah?”

Aku menggeleng lagi.

“Kalo waktu itu lo cuma mau temenan sama anak-anak semester tiga, lo gak akan punya temen!”

Nara mengucapkannya dengan kejam dan kalimat itu menghantamku sangat keras. Itu salah, tapi aku tetap diam. Aku tidak tahu apakah aku yang sudah rapuh hingga kalimatnya mampu melukaiku dan aku bisa melihat tanduk jahat di kepala Nara, ataukah aku hanya lelah.

“Iya gue semester enam, setingkat di atas lo. Apa lagi yang lo tau?”

Aku menggeleng pelan.

“Gue balik dulu yak! Take it easy, Dish! Everybody lies!”

Nara memacu motornya dan menghilang di belokan.


Spasi

Spasi

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2017 Native Language: Indonesia
Kata orang, persahabatan yang sukses adalah saat aku dan kamu menjadi kita dan kita saling menjadi buku yang terbuka.Tapi tidak ada yang bercerita tentang apa isi dalam bukunya. Bagaimana jika buku itu berisi bahasa yang berbeda dalam aksara yang juga purba? Bahasa yang aku dan kamu tidak mengerti cara membacanya. Akankah kita bisa mencapai nirwana yang kamu sebut Valhalla? Mungkin tidak ada surga di ujung jalan kita karena surga itu mungkin ada disini. Namun kita saja yang tidak pernah mau melihat lebih dekat. Mungkin juga tidak ada neraka yang menunggu kita karena bisa jadi apa yang kita tinggali saat ini adalah neraka.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset