Ia adalah seorang duda, begitu akunya. Ia juga tak memiliki anak dan katanya sanak keluarganya tinggal di Nganjuk. Di rumah sewanya, Pak Tarman memang sendirian. Ia selalu pulang pergi dengan sepeda jengki ke sekolah atau kemana saja.
Tapi, Pak Tarman selalu menyapa kami lebih dulu jika bertemu di jalan. Ia bahkan mengingat nama kami satu-satu, termasuk namaku. Jarang sekali guru yang demikian.
Cerita yang dikisahkannya di kelas bermacam-macam. Mulai dari kisahnya yang dulu selalu membeli SDSB (sejenis lotre) dan selalu menang tapi tidak dilakukannya lagi setelah ia menjadi guru karena menurutnya itu salah.
Kami anak desa tidak akan percaya pada kebohongan macam itu. Tidak ada yang berhenti membeli SDSB karena alasan moral, justru mereka rela menjual harta benda demi pergi ke dukun untuk menerawang nomer yang akan keluar. Kalau ada orang seperti Pak Tarman, mungkin lebih baik Pak Tarman berhenti jadi guru dan beralih profesi pengangguran kaya raya.
Ia juga pernah bercerita tentang koran yang pernah dibacanya, ada kisah tentang seorang wanita yang sembuh dari sakit parah setelah suami yang ditunggunya bertahun-tahun pulang ke rumah.
Ini juga tidak kami percayai. Kami anak desa Semeru sudah biasa mendengar tentang santet dari Kencong atau Banyuwangi, yang bisa membuat penderitanya mati atau sakit, lalu ajaib tiba-tiba sembuh. Kami anak-anak yang ndeso dan sangat percaya klenik tanpa berani mempertanyakan kebenarannya.
Namun di setiap akhir ceritanya dia selalu berkata kalimat yang sama, “Jangan lupa cium tangan Bapak Ibumu kalo mau berangkat atau pulang sekolah.”
Kalimat penutupnya juga tidak kami maknai dan malah kami ikuti dengan nyenyenye sambil menirukan gaya bicaranya.
Kami menjuluki Pak Tarman dengan sebutan “Pak Ndobos” (ndobos artinya suka membual dan bualannya tidak masuk akal juga tidak lucu). Pak Tarman tahu akan sebutan itu dan ia malah membuat lelucon yang tak lucu juga tentang sebutan tersebut. Lelucon yang membuat kami makin bergidik jijik padanya.
Saat aku baru selesai melaksanakan ujian kenaikan ke kelas tiga, Pak Tarman bunuh diri. Ia ditemukan gantung diri di latar belakang rumahnya. Sebuah tali tampar yang terikat di dahan pohon manggis mengakhiri Pak Tarman berikut kisah-kisahnya.
Saat kami berkumpul di sekolah untuk berdoa bersama, guru yang memimpin renungan bertanya pada kami,
“Hal baik apa yang kalian ingat dari Pak Tarman?”
Semua anak terdiam. Aku tahu hampir di dalam semua kepala anak yang hadir saat itu menyimpan kenangan yang sama, kenangan mengolok seorang guru yang pada dasarnya hanya ingin dekat dengan kami, tapi caranya yang aneh membuat ia malah kami tertawakan dan kami jadikan bahan ejekan di belakang. Aku sendiri berusaha memutar ulang kenangan tentang Pak Tarman, namun yang nampak hanya rasa malu pada diri sendiri.
“Saya Pak Guru!” Sebuah suara memecah hening renung kami dan memberi kekuatan untuk tegakkan kepala-kepala yang tertunduk. Dia adalah Nina, siswa kelas satu. Nina mengacungkan telunjuknya dan tidak menurunkannya hingga Pak Guru menyilahkannya untuk berdiri. Nina melihat sekeliling lalu tertunduk lagi dengan kedua tangan tergamit di depan roknya.
“Aku pernah ketemu Pak Tarman waktu aku lagi sendirian di sawahnya Pakde Ngadiran (sawah yang dilalui jalan utama ke sekolah). Waktu itu aku habis nangis habis dimarahin Mamak gara-gara aku gak mau bantu Mamak di sawah.”
Nina menarik nafasnya. Ada getar dalam tarikannya atas tangis yang berusaha ia tahan. Nina melihat Pak Guru sebentar lalu menunduk lagi.
“Pak Tarman ikut duduk di galengan sawah sama aku dan tanya kenapa aku nangis. Aku cerita kenapa aku nangis.”
Tangis Nina pecah. Ia terisak sambil mengusap air mata dengan satu tangannya dan tangan lainnya meremas roknya. Teman yang duduk di samping Nina mengelus lengan Nina untuk membantunya tenang.
“Kata Pak Tarman…(hiks)…aku gak boleh ngelawan Bapak Mamak. Aku harus nurut sama mereka.”
Nina menyeka mata dan hidungnya lagi dengan lengan bajunya.
“Aku bilang ‘Tapi aku capek Pak, udah sekolah setengah hari masih disuruh bantu di sawah sampe sore. Aku kan pingin main!’ Pak Tarman bilang ‘Kita lahir gak bisa milih orang tua Nin. Kalo orang tua kamu kaya, banyak uang, punya rumah magrong-magrong (mewah), kamu mungkin gak disuruh ke sawah, tapi kan Bapak Ibumu gak gitu toh Nin? Kamu punya adek kembar yang masih bayi di rumah, Ibumu sibuk ngurusi adekmu. Bapakmu yo lagi sakit, kamu harus belajar ngerti.’ Terus-te(h)rus…”
Sedu sedan Nina mematah suaranya.
“Terus Pak Tarman bilang ‘Bapak juga dulu gitu Nin, Bapak selalu disuruh nyawah sama Mamak kalo pulang sekolah. Bapak juga suka ngelawan Mamak, Bapak malah main layangan sama temen-temen. Terus Mamak sakit, Bapak disuruh nyawah, Bapak iyain padahal Bapak main di kali. Bapak gak pulang sampe maghrib karena temen-temen ngajak bakar singkong. Mamak nyari Bapak ke sawah gak ada, Mamak nyari-nyari Bapak ke sekeliling sawah dan jatuh kepleset di sawah orang. Mamak gak ada yang nolongin dan saat Bapak panik nyari Mamak yang gak ada di rumah, Mamak sudah gak bisa diselametin lagi waktu ditemuin.’”
Tangisku juga pecah. Tangis teman-teman di sekitarku juga. Tapi Nina tampak tegar dan melanjutkan kisahnya.
“Pak Tarman bilang sejak saat itu ia berniat menjadi guru untuk mengajarkan ke muridnya agar sayang pada orang tuanya dan tidak membantah perintah orang tua. Aku cium tangan Pak Tarman hari itu Pak Guru, terus aku lari pulang, nangis meluk Mamak. Aku juga gak pernah lawan Mamak lagi, aku nurut kalo Mamak nyuruh-nyuruh aku. Aku selalu ingat Mamaknya Pak Tarman jadi aku sayang sama Mamakku.”
Nina kembali duduk dan menangis.
Aku memang tidak pernah ikut-ikutan mengejek Pak Tarman, tapi aku juga ikut tertawa saat teman-temanku melucu. Aku juga tidak pernah menapuk mulut teman-temanku yang membuat lelucon kelewatan atas Pak Tarman padahal aku tahu mengejek orang tua apalagi guru adalah ora elok (pamali). Secara tidak langsung aku juga menjadi murid yang buruk dan jahat.
Mungkin Pak Tarman tidak tahan dengan kenakalan kami. Tapi kami juga tidak pernah tahu alasan Pak Tarman bunuh diri.
Kisah itu ditutup dengan kesimpulan bijak oleh Pak Guru yang lain. Kesimpulan bijak yang mungkin baru ditarik dari cerita Nina karena seingatku tidak ada guru lain yang pernah menegur kelakuan kami padahal kelakuan kami pasti didengar bahkan oleh kepala sekolah sekalipun.
“Jangan mengolok-olok orang lain karena kita tidak tahu apa yang sedang dialaminya. Mungkin dia sedang marah atau sakit hati, kalau diolok-olok bisa membuat semakin sedih dan mengambil keputusan yang tidak baik. Kita harus saling menghormati dan menjaga.”
Saat itu juga aku merasa ada yang salah dengan kesimpulan bijak Bapak Guru, aku tidak tahu apa, tapi otak dan hatiku tidak nyaman saat mendengarnya. Saat teman mengungkit kisahnya saat sudah SMA sekalipun aku masih mengingat kesimpulan yang membuat aku tidak nyaman tersebut dan masih belum kutemukan apa.
Aku selalu mengingat Pak Tarman sejak mendengar cerita Nina. Aku selalu melihat rumah yang dulu dikontrak Pak Tarman dan berpikir apa yang terjadi padanya, apa yang selalu ia pikirkan, dan apa yang terjadi semalam sebelum ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Rahasia Pak Tarman membuat aku terus berpikir.
Rahasia. Satu kata yang sepertinya menjadi benteng terkuat dari setiap manusia. Sesuatu yang besar atau kecil, berwarna atau tidak berwarna, ragu, malu, marah, bubrah (kerusakan), bisa tersimpan rapi dalam kata rahasia. Tebal tidaknya benteng itu, tergantung seberapa besar pemiliknya memaknai kata rahasia.
Ada beberapa orang yang menyembunyikannya dalam ketebalan setebal lapisan bumi hingga magma inti bumi, panasnya magma inti bumi yang tidak pernah terasa di permukaan yang manusia injak setiap hari. Rahasia-rahasia ini tidak akan pernah terbaca oleh orang lain karena sedalam apapun berenang atau menggali, rahasianya tidak akan pernah teraih.
Ada yang menutupi rahasianya seperti palung laut yang terdalam, Mariana Trench. Pribadinya menarik untuk diselami, meskipun dalam akan tetap diselami, ada biota-biota laut yang indah dan menarik seiring perjalanan ke dalam bagian gelap lautan, hingga di suatu titik tidak bisa melanjutkan perjalanan karena tekanan bawah laut yang semakin besar bisa membuat tubuh mati. Orang-orang seperti ini memiliki rahasia yang keseluruhannya tidak bisa dijangkau, namun ia membiarkan orang lain menemukan beberapa.
Lalu ada juga orang-orang yang membuat benteng seperti ikan pari yang berenang santai di laut yang jernih dan dangkal. Bermodalkan snorkel atau tidak, ia bisa disentuh. Tapi yang tidak disadari adalah ikan pari sangat berbahaya. Sabetan ekornya bisa membunuh korbannya. Orang-orang ini mungkin menampakkan dirinya dengan indah sekaligus rapuh sehingga semua orang seakan mengenalnya, padahal saat ia disentuh, ia bisa menyakiti siapapun dengan rahasianya.
Ada juga orang yang membentengi dirinya seperti akuarium, membiarkan rahasia-rahasianya terbaca dengan mudah oleh pengamatnya.
Aku rasa setiap orang memiliki rahasia, mungkin itu yang menjadikan manusia menjadi manusia. Mereka memiliki sesuatu untuk mereka pikirkan dan bicarakan dengan diri mereka sendiri dengan bahasa yang mereka mengerti. Aku juga memiliki rahasia dan aku tidak menyukainya. Bukan peristiwanya yang tidak aku sukai, tapi aku tidak menyukai konsep rahasia secara umum. Aku tidak nyaman menyimpan sesuatu yang besar dalam diriku dan memasang palsu di wajahku. Lalu aku harus berusaha memasang benteng setebal lapisan bumi, sedalam palung laut, laut yang cetek, apalagi akuarium. Toh aku tetap harus melakukannya.
Hari ini aku mendatangi Nara ke rumah kosnya untuk mengembalikan buku yang belum selesai aku baca. Sengaja tidak kuberitahu Nara tentang kedatanganku karena saat ini aku merasa terluka atas sesuatu yang ia tuduhkan padaku semalam.
Aku mengetuk pintu rumah dan lama tidak dibukakan. Aku ketuk lagi lalu seorang gadis membukanya. Aku ingat, dia adalah tetangga kamar Nara yang waktu itu mengintip kedatanganku pertama kali kesini. Aku tidak pernah melihatnya lagi sejak saat itu.
“Hai, aku Disha. Naranya ada?”
Dia mengamatiku dengan tatapan dingin.
“Gak ada!” Jawabnya ketus.
“Aku boleh titip buku ini buat Nara? Atau mungkin bisa aku taro di meja ruang tamu?”
“Tungguin aja, bentar lagi juga dateng.” Sarannya sambil melihat jam dinding di dalam rumah. Dia buka pintu lebih lebar untukku masuk.
“Lo Disha?” Ulangnya saat aku sudah duduk.
“Um, iya.”
“Lo kesel sama Nara?”
Aku melihatnya terkejut. Ia masih berdiri di belakang pintu dan menatapku.
“Um?”
“Nama gue Hima. Iya, gue tau apa yang Nara bilang ke lo dan lo kesel atas itu karena menurut lo Nara menilai lo salah.”
“Nara cerita sama kamu?”
Hima menggeleng.
“Lalu, kamu tau darimana?”
“Dari lo.”
Hima menangkap heran di wajahku sehingga dia melanjutkan, “Gue bisa baca apa yang ada di pikiran lo.”
Wow! Ini yang pertama kali ada di kehidupanku! Membaca pikiran?
“Terus?” Tanyaku masih heran.
“Bener kan apa yang gue bilang?”
“Iya. Terus?”
“Lo perasa banget ya orangnya! Ga heran kalo lo selalu sakit hati!”
Hima menyeringai dan menggelengkan kepalanya tanda tak percaya lalu masuk ke kamarnya.
Benar yang Hima bilang, Nara datang saat pintu kamar Hima tertutup.
“Ngapain lo kesini?” Tanya Nara agak ketus padaku.
“Aku mau ngembaliin buku ini.” Aku tunjukkan One Child padanya.
“Udah beres?”
Aku menggeleng.
“Terus kenapa lo balikin?”
Aku masih diam.
“Oh! Ini pasti gara-gara semalem! Yaelah Dish, sensi amat jadi orang!”
Pernyataan ini menghantamku sekali lagi. Mungkin aku memang sensitif, tapi aku tidak ingin ditegaskan dengan perendahan.
“Aku akan berteman dengan siapapun kok Ra, gak peduli tingkat berapa, gak peduli umur berapa, gak peduli pekerjaan dan status sosial mereka apa. Aku akan berteman dengan siapapun yang mau jadiin aku temen mereka.”
“Easy Dish! Lo kayak lagi PMS aja!”
Aku meletakkan buku Nara di meja.
“Aku mau ke kampus lagi. Makasih ya Ra.”
Aku menghentikan langkahku sebelum keluar pintu dan melihat Nara yang masih berdiri menatapku dengan helm tersangkut di lengan kirinya.
“Apa yang kamu baca di binderku, Ra?”
Nara mengangkat bahunya.
“Beberapa puisi.”
“Puisi yang mana?”
“Gak ada judulnya.”
“Semua puisi yang aku tulis gak ada judulnya, Ra.”
“Puisi tentang laut dan gelap.”
“Kamu yakin cuma itu yang kamu baca? Karena kamu bilang di Starbucks ‘apa kamu gak capek bilang enggak’ ke aku Ra?”
Nara menarik nafas panjang, memutar tatapannya dan menatapku lagi. Ia tampak bosan dengan pembicaraan ini.
“Gue baca curhatan lo tentang cowok yang namanya Wahyu.”
“Menurut kamu?”
“Move on Dish! Kalo putus ya putus! Gak usah dibawa-bawa sampe bertahun-tahun! Cengeng aja menurut gue. Dan hampir semua halaman isinya tentang tuh cowok!” Ujarnya sedikit mengejek.
“Jadi sikap manismu ke aku selama ini buat apa? Karena kalo kamu dari awal mikir aku orang yang seperti itu, artinya kamu lihat aku seperti orang yang cacat kan? Terus kenapa kamu bohong ke aku tentang tingkat kuliahmu Ra? Hal sesederhana itu, kenapa kamu bohong ke aku?”
Aku mendekati Nara lagi bertepatan dengan Hima yang mengintip dari celah pintu kamarnya. Nara tidak menjawab pertanyaanku.
“Kalo kamu cuma baca beberapa lembar dari catatanku dan kamu berpikir kamu tau aku, aku akan kasih kamu satu petunjuk darimana seharusnya kamu mulai baca.” Aku keluarkan binderku dan membuka salah satu halaman coklat yang terletak di halaman yang berbatasan dengan halaman putih lalu menyobeknya dan memberikannya pada Nara.
“Kamu seharusnya mulai baca dari sini, dari halaman paling awal dari perbatasan halaman coklat dan putih.”
Nara melihat lembaran di tangannya dan menatapku lagi.
“Gue gak minat buat tau urusan orang lain.”
“Aku juga Ra. Tapi catatan di tangan kamu bukan tentang orang lain, itu tentang kamu.”
Rasa marah dan perih yang menguasai dadaku seakan tak bisa aku kendalikan, rasa itu membuat aku lemas dan ingin segera pergi dari sini. Aku bisa melihat seringai di bibir Hima di balik pintunya. Aku alihkan tatapanku padanya.
“Kamu cuma bisa baca pikiran orang lain, Hima? Mencari kepuasan dengan menemukan kecocokan dari baca pikiran dan kenyataan?”
Aku tidak pernah menaikkan suaraku, aku tidak pernah berteriak marah, oh! aku bahkan tidak pernah bicara sebanyak ini seingatku, namun Nara juga Hima, aku merasakan harga diriku diinjak oleh dua orang disaat bersamaan sehingga aku merasa suaraku lebih kencang dari biasanya. Hima tak menjawab namun ia lebarkan pintunya.
“Hima, aku gak bisa baca pikiran kayak kamu karena kalo aku bisa, aku gak akan ada disini hari ini.” Aku tatap mata Nara yang masih menatapku.
“Kamu pernah baca pikiran kamu sendiri, Him? Aku menduga kamu akan takut untuk baca diri kamu sendiri karena saat kamu tau kamu akan sadar betapa kesepiannya hidup kamu. Betapa dunia tidak berputar mengitari kamu, kamu bukan pusat alam semesta, Hima karena alam semestamu sudah hilang dan kamu berusaha mencari pusat lainnya di kehidupan orang lain. Kamu punya berapa teman Him? Aku tebak gak ada, karena kalo orang seperti kamu punya teman, kamu akan tau caranya menghormati orang lain.”
Aku lihat Nara lagi.
“Kalo kamu gak minat untuk tau urusan orang lain, maka jangan menilai salah orang lain hanya karena prinsipmu tidak sama dengan mereka, Nara. Gak semua orang pembohong.”
Aku tinggalkan rumah yang membuat nafasku sesak. Aku tidak peduli dengan air mata yang terus mengalir sepanjang perjalananku yang menembus gang demi gang.
Aku kira persahabatan mudah terjalin. Persahabatan yang tidak perlu drama seperti ini, yang berjalan alami seperti saat bersama Alin dan Tari, tapi juga persahabatan yang tidak kenal kata akhir, tidak seperti akhirku bersama Tari dan Alin.
Dunia mulai terasa tidak adil. Aku hanya ingin berteman bukan dikasihani, aku tidak ingin bersandiwara namun mengapa aku didekatkan pada orang-orang yang durjana, mengapa ini menjadi sesuatu yang sangat sulit. MENGAPA?
Lembar yang aku berikan pada Nara berisi tentang kisah pertama kali aku melihatnya dulu. Bukan barisan bait puisi melainkan curhatan Disha yang bisu. Aku selalu meletakkannya di halaman paing depan karena aku sangat berterima kasih pada Nara atas kebaikan-kebaikannya padaku, terutama pada ajarannya untuk membaca buku.
Aku jalani hari-hariku seperti biasa dan perlahan mulai kukubur keinginanku untuk memiliki teman. Jujur, aku takut persahabatan akan berakhir seperti Alin dan Tari, lalu naasnya akan berjumpa dengan orang seperti Nara atau terburuknya lagi Hima. Berapa banyak orang seperti Hima yang hidup di kota ini? Mungkin di kota ini juga banyak praktik dukun, ahli terawang untuk masa depan?
Aku membeli Laskar Pelangi milik Andrea Hirata dengan terpaksa karena aku penasaran pada kisah yang belum sempat aku selesaikan. Aku mengubur sakit hatiku dengan membaca buku. Aku bahkan melepas semua lembaran coklat dalam binderku dan menyimpannya dalam laci. Aku tidak ingin menulis rahasia lagi.
Halaman-halaman coklat itu adalah segala yang aku punya, satu-satunya teman yang aku miliki, satu-satunya benteng yang aku bangun atas rahasia yang aku punya.
Kalian melihat kelemahan orang-orang sepertiku?
Rapuh. Aku terlalu berhalusinasi saat melihat Nara membaca halaman coklatku, gembira atas pernyataan ‘lo gak capek bilang enggak’ nya karena aku merasa dimengerti pada akhirnya, bahagia atas cerita dan candanya yang mengalir begitu saja sehingga aku merasa dilihat.
Aku turuti ia untuk membaca buku-buku berbahasa Inggris karena aku ingin terus menjadi temannya, aku ingin mengenalnya, aku ingin mengikuti langkahnya, aku ingin bisa mengerti apa yang dipikirkannya dan apa yang ia bicarakan. Aku ingin mengerti.
Tapi tidak, Nara ternyata tidak tulus.
Aku kembali mengingat kisah Pak Tarman. Pak Tarman berusaha untuk membaur dengan kami namun kami justru membuat lelucon konyol atasnya. Pak Tarman ingin mengenal kami tapi kami ejek. Hanya karena caranya tak mampu kami pahami. Hanya karena caranya tak sesuai dengan cara kami.
Mungkin Pak Tarman pernah, atau bahkan sering, merasakan apa yang sedang aku rasakan. Penolakan disertai penghinaan.
Bagi sebagian orang, pribadi seperti aku dianggap berlebihan dan oversensitive, tapi itulah yang aku miliki. Satu-satunya yang aku miliki karena aku tidak bisa memiliki yang lainnya.
Dan ada orang-orang seperti Nara dan Hima yang hanya melihatku beberapa kali tapi merasa sudah memahami aku seumur hidupku, tak berhenti disitu, mereka juga meniup rasa amanku yang apinya sudah sangat redup….