“Kamu kok diem aja sih seminggu ini. Biasanya nanya-nanya!” Candanya sambil berjalan di sampingku.
“Kalo aku gak nanya mungkin aku udah ngerasa jelas kali ya Kak hehe.”
“Bisa aja kan kamu lagi sakit. Oya, Nara gak jadi ikut kelas tutorku nih?”Nara. Terakhir aku bicara dengannya hampir dua minggu lalu saat aku menguras emosiku di kosannya. Aku tidak pernah bertemu atau berhubungan dengan SMS lagi setelahnya.
“Gak tau ya Kak, aku juga lama gak tau kabar Nara.”
“Makasih ya Dish.” Potong Kak Zaki disertai senyum manis yang menunjukkan lesung di pipi kanannya.
“Buat apa Kak?”
“Aku lega banget habis cerita ke kamu kalo aku suka Nara.”
Yooalaaah iki maneh! Aku hanya meremas tali tasku seiring kami berjalan keluar kelas.
“Aku belum pernah ngasih tau siapa-siapa Dish. Dan sejak aku kenal kamu aku ngerasa aja sih kamu kayaknya enak diajak ngobrol ginian, bukan anak yang ember bakal ngobral cerita haha!”
Mau diobral ke siapa juga Kakak, punya temen juga enggak.
“Kenapa Kak Zaki gak bilang aja ke Nara? Satu tahun kan lama.”
Kak Zaki menarik nafasnya.
“Muter lewat luar kampus yuk Dish!” Ajaknya. Aku pejamkan mataku rapat-rapat. Perlukah aku pura-pura pingsan atau beraksi menggaruk-garuk tanah agar bisa menghindari Kak Zaki!
“Yuk Kak!” Jawabku bersemangat.
“Kamu udah tau gosip tentang Nara, Dish?”
Aku mengangkat bahuku.
“Nara itu digosipin jadi simpenan salah satu pejabat yang jadi bekingannya dia kalo demo. Makanya Nara gak pernah kena sama Polisi kalo ada anarki pas demo.”
Kak Zaki diam sejenak. Langkah kami sangat lambat. Langkah yang sering aku bayangkan bersamanya namun dengan suasana hati kami yang saling mencinta, bukan yang bertepuk sebelah tangan seperti ini. Lalu ditambah dengan Kak Zaki yang membuka lagi cerita tantang Nara yang aku dan dia berakhir tak indah pula. Opo iki, Cak!
“Nara jadi agak gimana gitu sama cowok kabarnya. Dia tetep akrab sama cowok dan temen-temen cowoknya banyak banget, tapi gara-gara imej itu Nara gak mau punya hubungan khusus sama cowok, punya pacar misalnya.” Kak Zaki mengambil botol minum dan meneguk isinya.
“Jadi Nara bukan simpenan pejabat?”
“Kalo bilang ke aku sih bukan, tapi dia gak pernah mau ngomong banyak soal itu. Selalu bilang bukan meskipun gak diseriusin jawabannya. Atau kadang malah dia buat becanda. Aku geregetan aja sih Dish, aku kan pengen tau dia gimana, pengen ngelindungin dia juga, tapi Naranya begitu.”
Aku juga haus. Tenggorokanku menjadi kering mendengar curahan hati Kak Zaki karena terlalu sering menahan nafas. Aku ada disini Kak, mengharapkan yang sama darimu! Aku hanya bisa menelan ludah, mengecap bibir dan menggigitnya sekuat mungkin.
“Cowok-cowok yang deket sama Nara juga bukan cuma temen-temen kuliahnya. Temennya dia banyak banget, rata-rata cowok semua, sering ikutan dugem kalo pulang ke Jakarta, dan itu buat aku minder aja sih Dish, cemburu juga. Aku gak suka gitu-gitu, paling party aja sama temen-temen basketku, tapi gak se-wah Nara juga partynya. Aku pengen kenal dia lebih deket, ngobrol kayak kita sekarang, tapi Nara susah banget ditebak. Ngobrol serius sering, tapi pikirannya susah ditebak.”
Aku melihat Kak Zaki yang menatap jalanan lurus di depan kami. Daun-daun kering berjatuhan dari pohon yang tertiup angin kencang sore ini. Matanya sesekali menunduk, rahangnya tampak bergerak-gerak menggeretakkan giginya sendiri. Air mukanya tampak sangat emosional.
“Kak Zaki udah pernah bilang kalo Kakak suka sama Nara?”
“Hampir. Selalu hampir. Nara cerdas Dish, aku yakin dia tau kok kalo aku suka sama dia, cuma dia gak pernah mau aku bilang, mungkin karena dia cuma nganggep aku temen.”
“Kenapa gak coba bilang aja Kak?”
“Karena aku takut kehilangan dia. Memang sih gak nyaman ngeliat Nara digandeng-gandeng cowok lain apalagi sering nginep sekamar sama Ravi di kosnya si Ravi, tapi rasanya pasti bakal lebih sakit kalo Nara gak ngomong sama aku selamanya haha.”
Tawa itu sangat dipaksakan karena setelah itu Kak Zaki berdehem dan mengalihkan tatapannya ke sisi lain.
Aku menarik nafas yang masih tersisa di tenggorokanku. Mengapa ada orang yang mencintai orang lain sebesar ini dan bertepuk sebelah tangan? Lalu aku juga, ah….rumit sekali bahasa cinta.
“Kamu udah punya pacar Dish?” Kak Zaki mengejutkan ratapanku.
“Am, belum Kak!” Jawabku gugup. Remasan di tali tasku semakin menguat.
“Eh udah sampe parkiran aja! Gak kerasa ya! Mau aku traktir lagi Dish?”
“Gak usah Kak, aku mau pulang aja.” Jawabanku aku sesali karena aku baru sadar kalau Kak Zaki masih ingin terus bercerita, tapi sudah terlanjur.
“Mau aku anter?”
Aku menggeleng menyesal, “Gak usah Kak.” Gelengan yang juga kusesali.
“Ya udah deh! Makasih ya Dish udah dengerin!” Kak Zaki menepuk pelan bahuku. Aku hanya bisa mengangguk. Hanya itu yang aku bisa. Aku mengamati Kak Zaki yang menyalakan motornya dan keluar gerbang parkir.
Aku juga akan memilih untuk tetap bisa berteman dengan Kak Zaki dibanding mengatakan isi hatiku yang mungkin akan membuatnya pergi menjauh…
Aku menjalani hari-hari seperti biasa, Wahyu yang semakin populer dan tidak melirikku lagi sedikitpun. Aku yang masih berbohong pada Bapak dan Bulek Lastri. Bulek Lastri yang mengeluh karena Wahyu jarang menelepon dan susah sekali di telepon.
Aku mulai merindukan kehidupan desa lagi. Kehidupan kota membuat orang gampang lupa akan sesama, akan asal muasal. Di desa orang masih saling menyapa pada siapapun, baik tua, baik muda, baik laki-laki, baik perempuan. Tidak akan ada rasanya dilupakan di desa. Kota juga membuat seseorang gampang berubah, yang awalnya ayu jadi kemayu, yang awalnya bagus malah kebrangus, yang awalnya njowo jadi jumowo. Entahlah, entah salah kota, entah salah orang, atau salahku yang tidak rela melihat perubahan…
Kesibukanku mengajar yang bertambah siswa juga jamnya membuat aku sering harus pulang malam, seperti malam ini. Aku baru tiba di asrama pukul sembilan malam dengan tubuh yang terasa sangat lelah dan mengantuk. Rasa lapar yang tadinya menyiksa kini tak terasa lagi setelah melihat kasur dan selimut. Aku bahkan malas mandi dan ganti baju. Baru saja kurebahkan tubuh di atas dinginnya kasur yang tak tersentuh sejak pagi, tiba-tiba hapeku berdering kencang. Nara?
“Halo?”
“Disha.”
Suara Nara sangat pelan dan ia membisu setelah menyebut namaku.
“Ya?”
“Lo bisa tolongin gue gak?”
“Ada apa Ra?”
“Gue…gue..gue kemalingan.”
Rasa kantukku lenyap dan kembali sigap.
“Kemalingan apa?”
“Um….lo bisa ke kosan gue sekarang gak Dish?”
“Iya iya aku kesana sekarang!” Jawabku bersemangat.
Kosan Nara tidak terjangkau angkot karena jauh dari jalan utama sehingga aku harus jalan kaki cukup jauh. Malam-malam begini masih banyak mahasiswa yang berlalu lalang di jalanan berikut para penjual makanan di pinggir jalan. Rasa kantuk sudah hilang namun lapar kembali menyerang. Tak kuhiraukan laparku dan aku berjalan lebih cepat lagi.
Nara membukakan pintu dan langsung menarikku ke kamarnya. Handuk berwarna biru membalut kepalanya, dari aromanya ia tampak baru selesai mandi. Aku terhenyak saat memasuki kamar Nara.
Kamar itu berantakan dan kosong. Komputer dan CPU, juga tivi layar datar berikut PS serta kaset-kasetnya tidak ada di tempatnya. Satu-satunya jendela yang berbatasan dengan gang samping rumah Nara hanya ditutup dengan papan yang dipaku melintang padahal sebelumnya kaca, jeruji besinya yang sewaktu aku kesini masih ada juga tidak ada lagi.
“Apa aja yang hilang?” Aku mengamati sekeliling kamar.
“Dua botol Bourgogne Rouge.”
“Apa?” Tanyaku saat mendengar kata yang tak pernah aku dengar.
“Wine, dua botol wine gue ilang.”
“Wine?”
“Anggur, minuman yang dibuat dari anggur.”
“Anggur yang beralkohol itu?”
Nara mengangguk sambil mengacakkan kedua tangannya. Matanya menyapu kamarnya sendiri.
“Yang hilang cuma itu?”
“Enggak juga, komputer se-CPUnya, tivi, PS, DVD, laptop, tablet, dan DSLR gue juga ilang.”
Aku terperangah kaget, dari barang-barang penting yang hilang kenapa dia hanya menyebut dua botol minuman? Nara aneh.
“Kamu udah lapor polisi Ra??”
“Kagaklah!”
“Tapi itu kan banyak banget yang ilang!”
“Terus gue lapor polisi barang gue bakal dicariin dan dibalikin utuh, gitu?”
“Mungkin?”
Nara mendengus kesal.
“Gue boleh nginep di kamar lo gak malem ini?”
Tidak boleh ada teman luar yang menginap di asrama tanpa sepengetahuan Ibu Asrama. Aturan ketat asrama kembali teringat.
Lagipula dimana Nara akan tidur? Kak Vera dan Kak Hanny memang tidak ada di kamar, tapi menggunakan tempat tidur mereka tanpa ijin juga tidak baik.
“Cuma malem ini doang kok! Besok Ravi bakal balik dari Jakarta dan gue akan nginep di kosannya dia!” Nara tampak mengerti diamku. Aku masih bingung harus menjawab apa.
“Gue diusir sama Ibu Kos gue Dish, gara-gara tadi waktu gue lapor kemalingan dan dia ngecek, dia nemuin koleksi bir dan rokok gue di lemari dan kulkas. Gue langsung disuruh pindah!”
“Malem ini juga?”
“Gak juga, tapi dia nyuruh gue pindah kalo gue masih ngerokok dan minum. Dan gue juga jadi bete, masa udah kena musibah malah diusir!”
Nara merengut dan memasukkan pakaiannya ke dalam koper besar berwarna hitam yang baru dikeluarkannya dari balik lemari.
“Iya kamu boleh nginep di kamarku kok!” Jawabku seketika karena kasihan melihat Nara yang menyembunyikan paniknya. Aku membantunya membereskan kamarnya agar esok tinggal mengangkut tanpa perlu berlama-lama lagi. Nara juga mengeluarkan empat buah kardus besar polos yang terlipat di belakang lemari. Dengan cekatan ia memasang lakban di alas kardus dan kami masukkan buku-buku Nara kesana.
“Kalo bukunya gak ada yang ilang Ra?”
“Buku di Indonesia gak laku dijual kecuali jadi bungkus gorengan. Novel terlalu kecil kertasnya buat jadi bungkus apapun.”
Aku tertawa mendengar jawaban Nara namun segera aku tarik lagi saat melihat wajah Nara yang tetap kaku. Berikutnya Nara mengambil tasnya yang lain dengan lapisan dalam tas lebih tebal dan empuk untuk membungkus botol-botol minuman yang ia letakkan sangat berhati-hati ke dalamnya.
Setelah hampir jam 12 malam kami selesai mengepak semua barang yang tersisa. Nara membawa tas punggung yang biasa ia gunakan dan mengisinya dengan beberapa potong pakaian. Setelah itu ia memboncengku menuju asrama.
“Tempat tidur lo yang mana?” Tanyanya saat memasuki kamar. Aku menunjukkan tempat tidur yang menempel tembok. Tanpa basa-basi Nara langsung merebahkan tubuhnya menghadap tembok. Aku bingung harus tidur dimana. Aku takut Kak Hanny dan Kak Vera akan datang pagi-pagi di asrama saat kami belum bangun dan marah kalau tempat tidurnya aku tiduri. Masih ada tempat yang cukup lebar di samping Nara, tapi apakah ia mau berbagi tempat tidur?
Aku memilih mandi sambil berpikir. Saat aku kembali Nara juga sudah ganti kaos dan celana.
“Gak apa-apa kok Dish tidur sekasur juga. Gue gak banyak gerak kok tidurnya.” Lirih Nara dengan tubuh menghadap ke tembok.
Tanpa menjawab apa-apa aku naik ke kasur dan tidur satu ranjang bersama Nara malam itu.
Nara masih belum bangun saat aku bangun jam setengah enam pagi. Dia juga belum bangun saat aku sudah pulang membeli sarapan untuk kami. Aku ada kuliah jam delapan pagi ini namun aku tak tega untuk membangunkannya. Hape Nara bernyanyi keras, mengejutkan lamunanku setelah sarapan.
Nara juga langsung duduk dan mencari keberadaan hapenya. Aku serahkan hape yang terletak di meja, ada tulisan Mama di layarnya.
“Halo?”
…….
“Iya Ma, kemalingan.”
…….
“Semuanya, disisain baju sama daleman, buku sama kulkas.”
…….
“Antara pagi sampe habis maghrib kayaknya, gang samping sepi dan gelap juga kalo malem. Di rumah juga pas gak ada sapa-sapa.”
……
“Kamar depan Nara kena laptop juga, yang lainnya gak ada yang kena.”
……
“Iya ntar cari lagi. Sekalian mau pindah dari situ.”
…….
“Sekarang sama temen, mau nginep dulu aja di kosan temen.”
…….
“Iya. Bye.”
Nara masih sibuk mengutak-atik hapenya dan kuserahkan nasi kuning padanya. Nara hanya tersenyum dan melahap dengan cepat nasi kuning di pangkuannya.
“Maafin gue ya Dish.” Lirihnya kemudian. Aku hanya mengangguk. Kami saling terdiam.
“Lo ada kuliah pagi?”
“Jam delapan.”
Nara melihat layar hapenya.
“Yaudah gue anter aja sekalian ke kampus lo. Gue mau ke kosannya si Ravi. Udah di kosan katanya.”
Tanpa banyak bicara kami berangkat ke kampus.
“Thanks ya udah nampung gue semalem.”
“Kamu mau pindah kosan, Ra?”
“Iyalah gue diusir begitu!”
“Kemana?”
“Belum tau.”
“Kalo kamu butuh dibantuin beres-beres kasih tau aja Ra.” Tawarku sebelum Nara pergi. Ia hanya tersenyum dan mengangguk.
Apakah Kak Zaki tahu tentang ini? Sore ini akan ada tutorial Kak Zaki, apakah aku perlu memberitahunya?
“Disha!” Aku masih termenung mengamati Nara yang sudah tidak tampak lagi. Panggilan itu mengejutkanku dan Gita melambaikan tangannya. Gita teman satu jurusanku yang pendiam dan pintar menggambar, yang darinya juga aku bisa mendapat pekerjaan mengajar privat. Kami berjalan bersama-sama ke ruang kelas.
“Sore ini ada tutorial lagi kan? Pasti banyak banget yang dateng secara mau ujian minggu depan ya!”Ujar Gita agak menggerutu. Gita tidak suka kelas yang penuh, katanya itu membuatnya kesulitan berkonsentrasi. Namun mengingat kuliah yang ditutori oleh Kak Zaki adalah kuliah dengan jumlah siswa mengulang yang sangat banyak, kelas itu hampir dipastikan semakin penuh di waktu seperti ini.
“Hm.” Jawabku singkat. Aku yakin Gita akan….
“Gue pinjem catetan lo aja ya Dish! Gue males dateng!”
Aku sudah menduganya. Aku iyakan saja permintaan Gita.
Aku datang lebih awal di kelas tutorial sore itu, bahkan sudah ada beberapa orang yang sudah hadir padahal masih setengah jam lagi. Aku memilih duduk di posisiku biasanya lalu membuka-buka materi yang akan diujikan. Satu persatu orang mulai datang. Termasuk Wahyu yang bergandengan mesra dengan Tania. TANIA? WAHYU DAN TANIA?
Aku tidak bisa menunjukkan rasa terkejutku kali ini. Aku terus menatap Wahyu yang menggenggam erat tangan Tania dengan mesra, lalu ia sibakkan helai rambut yang bertiup menutupi wajah Tania lantaran angin yang berhembus kencang saat mereka berdiri di depan kelas. Tania kemudian mengelap bibir Wahyu yang masih sibuk mengunyah gorengan yang tersisa secuil di tangan kanannya. Lalu mereka bersandar di pagar tembok depan kelas, saling berbicara yang tampaknya mesra.
Pria yang dibicarakan oleh Tania dan Zahra waktu itu, apakah itu Wahyu? Karena seingatku aku tidak pernah melihat Tania bersama dengan pria lain tanpa Zahra apalagi sampai bergandengan tangan seperti itu. Sekarang, baru sekarang, setelah satu tahun berlalu Tania akhirnya bersama dengan pria, apakah benar pria yang Tania maksud waktu itu adalah Wahyu??
Wahyu menangkap tatapan mataku, dia juga terus melihatku meskipun Tania asik bicara dengannya dan tidak menyadari arah tatapan kekasihnya. Tatapan Wahyu yang keras, tegas dan tampak sedikit terpicing. Sebesar itukah kemarahan Wahyu padaku? Sehingga saat hari bahagianya pun seakan menjadi pertunjukan balas dendam atas perlakuanku yang dianggapnya durjana?
Tania dan Wahyu pun masuk seiring semakin banyaknya orang yang datang. Mereka duduk tak jauh dariku, mungkin disengaja oleh Wahyu…
Lalu Kak Zaki memasuki ruang kelas dengan tampannya….
Yoalah Gusti Pangeran Ndoro Juragan! Dua pria ini membuat hatiku nggregesi!
Kelas sangat penuh bahkan beberapa orang rela duduk di lantai demi mendengarkan pembahasan soal dari Kak Zaki. Suara berisik diskusi terus mewarnai sepanjang kelas sehingga Kak Zaki harus selalu setengah berteriak. Banyaknya soal, pertanyaan, sekaligus materi yang harus Kak Zaki ulas membuat kami harus cepat mencatat karena Kak Zaki akan menghapus papan tulis tanpa bertanya seperti biasanya.
Tiba-tiba penjelasan Kak Zaki berhenti ditengah-tengah. Aku menghentikan tulisan di binderku dan mengangkat kepala. Kak Zaki sedang menatap sosok di tengah pintu.
Nara sudah berdiri disana dengan menenteng binder di tangan kanannya sambil menatap ke ruang kelas untuk mencari tempat yang bisa ia duduki.