Aku melihat Wahyu dan Tania yang asik mengobrol sejak datang tadi, mereka bahkan tidak menulis melainkan hanya bisik-bisik bercanda. Seharusnya tidak usah datang saja kalau hanya mau bermesraan, setidaknya kursinya bisa digunakan oleh orang yang membutuhkan. Ben ora gawe sepete moto!
Tutorial selesai, namun Kak Zaki masih dikerubuti oleh siswa-siswa yang ingin bertanya lebih. Kak Zaki tampak berusaha melihat pintu untuk mencari Nara, tapi Nara juga sudah tidak ada disana. Aku pun segera berkemas dan berharap bisa mengejar Nara. Aku temukan Nara yang sedang bicara di telepon saat aku tiba di lantai dasar. Aku tunggu di belakangnya sambil mengamati punggungnya.
Kenapa gadis ini suka sekali menjepit rambutnya dengan pensil? Pensil yang ia gunakan juga selalu sama, pensil bermotif jerapah dengan ujungnya yang sudah terserut bukan dengan serutan pensil melainkan dengan cutter atau silet.
“Nara!” Panggilku saat ia selesai menelepon.
“Hey Dish! Lo duduk dimana tadi?”
“Aku dapet kursi di pojokan, aku juga liat kamu tadi.”
“Iya gue dateng telat, baru selesai angkutin barang ke kosan Ravi.”
“Sekarang udah selesai semuanya?”
“Udah.” Nara meraih kantong celananya dan mengeluarkan bungkus rokok lengkap dengan sebuah korek berwarna hitam dengan inisial namanya.
“Gak apa-apa kan gue ngerokok disini?”
Aku hanya mengangkat bahuku sebagai tanda tak keberatan.
“Kamu bisa fotokopi catetanku Ra kalo mau.”
“Oiyaa thanks, ya udah yuk sekalian ke fotokopian belakang, kayaknya belum tutup kalo jam segini!”
Aku menyusul Nara. Kak Zaki masih belum menampakkan tanda-tanda, mungkin ia masih dengan sabar melayani orang-orang yang belum jelas.
“Kamu suka pake pensil buat jepit rambut Ra?” Tanyaku untuk membuka percakapan lebih dulu. Tangan Nara yang menjepit rokok meraba jepitnya lalu ia tertawa.
“Biar gak usah bawa-bawa kotak pensil haha! Ini bukan sembarang jepit Dish. Selain merapikan rambut gue yang kayak bulu domba, ini juga berfungsi untuk senjata!” Jawabnya.
“Senjata buat apa?”
“Gue bisa bunuh orang pake pensil.”
“Haha, kenapa harus sampai bunuh orang?”
“Yakali kan ada yang mau nyulik dan merkosa gue!”
Aku tertawa lagi. Nara lucu. Lalu aku tersadar pada cerita Kak Zaki beberapa hari sebelumnya.
“Um Nara?”
“Hm?”
Jalanan sudah mulai petang, lampu-lampu gedung sudah menyala.
“Kak Zaki cerita ke aku kalo kamu digosipin jadi simpenan pejabat.” Lirihku sangat berhati-hati. Nara menoleh padaku lalu ia hisap rokoknya sekuat mungkin sebelum tawanya pecah.
“Gosip lama masih aja dipikirin sama si Zaki!” Ujarnya.
“Emang bener?”
“Gak lah Dish, pejabatnya gak punya selera amat kalo jadiin gue simpenannya.”
“Kenapa sampe ada gosip kayak gitu, Ra?”
Nara menghisap rokoknya lagi. Ia tidak segera menjawab pertanyaanku dan justru diam.
“Lo suka sahabat pena, Dish?” Tanyanya. Tidak berhubungan dengan apa yang aku tanyakan tadi.
“Aku belum pernah punya sahabat pena.” Aku pun memilih menekan rasa penasaranku dan mengikuti arah pembicaraan Nara. Mungkin benar kata Kak Zaki, Nara tidak pernah mau bicara serius tentang hal ini.
“Gue onliner, suka nyari temen online, terus kami akan melanjutkan pertemanan kami lewat surat, traditional way, surat pake cap pos dan harus nunggu lebih dari seminggu buat sampe.”
Aku pernah membaca tentang sahabat pena di beberapa cerita koran dan majalah, tapi tidak menyangka ada yang benar-benar melakukannya. Kedengarannya seru. Namun Nara masih diam.
“Terus?”
Rokok Nara habis, ia injak puntungnya dan ia lemparkan ke tempat sampah terdekat.
“Lo suka musik apa?” Tanyanya berganti haluan lagi.
“Aku gak punya kesukaan khusus, kadang kebetulan denger di radio atau tivi bisa langsung suka. Di desa dulu sering denger lagu-lagu nya Nike Ardilla, Poppy Mercury, Annie Carrera, ada juga lagu Malaysia, ada Siti Nurhaliza, ada Iklim, ada Search, aku tau yang gitu-gitu.”
Nara tertawa. Jalan kami juga lambat di tengah kampus yang mulai sepi.
“Gue suka Sabaton, Angel Dust, Unisonic, Laaz Rockit, Nostradameus….”
Nara melihatku yang juga melihatnya, lalu ia tertawa terbahak.
“Lo gak pernah denger nama-nama yang gue sebutin kan?”
Aku menggeleng dan ikut tertawa.
“Lo udah baca buku apa aja, Dish?”
“Aku lagi baca Laskar Pelangi, belum selesai.”
Kami tiba di tempat fotokopi.
“Jalan lagi ke depan ya, motor gue di depan.”
Kami pun jalan lagi ke depan kampus.
“Lo ada acara malem ini Dish?”
“Enggak Ra, belajar aja kayaknya.”
“Lo mau makan sama gue?” Nara menyulut batang rokoknya lagi. Aku mengangguk.
Ada yang aneh darinya. Nara saat dulu bisa memulai pembicraan apa saja dan sepertinya tak bisa diam, namun kali ini dia lebih banyak diam. Oh surat itu! Lembaran yang aku berikan padanya saat itu bisa jadi penyebabnya!
“Nara…”
“Hm?”
“Soal isi surat itu, kalo itu buat kamu gak nyaman lupain aja Ra. Maaf untuk semua yang….”
“It’s allright! Gue yang seharusnya minta maaf ke lo. Gue cuma…”
Nara menarik nafasnya yang terdengar berat.
“Belum pernah ada yang ngeliat gue kayak lo ngeliat gue.” Nara menatapku dan ada kaca di matanya, namun segera ia alihkan tatapannya ke arah lain. Kami diam lagi.
“Lo melihat diri lo penuh kelemahan, Dish?”
Aku mengangguk. Nafasku juga jadi berat sendiri.
“Kalo gue, gue selalu menganggap diri gue gak pernah punya kesempatan.”
“Kesempatan untuk apa Ra?”
“Segalanya.”
Air matanya menetes juga akhirnya. Nara segera mengusapnya dan tertawa kecil.
“Gue cuma gak percaya kalo seseorang bisa jadi malaikat bagi orang lain. Dan gue gak percaya aja kalo gue bisa jadi inspirasi buat lo, hal yang gak gue sadari bisa menyelamatkan lo. Gue terharu sekaligus sedih aja haha.”
“Sedih kenapa?”
“Karena itu datengnya bukan dari orang yang gue harapkan.”
“Sahabat kamu?”
“Gue gak suka temenan sama real person, sama orang beneran, Dish.” Tatapan Nara menunduk ke sepatunya.
Ada rasa sakit yang menyelinap di hatiku setelah mendengarnya.
“Gue sukanya sama temen pena yang gak gue tau mukanya atau sama temen online yang ada di suatu tempat yang gak akan gue raih.”
“Kenapa?”
“Karena gue pengen orang kenal gue dengan tulus, bukan dengan apa yang udah mereka liat.”
Aku menaikkan tudung jaketku seiring rasa perih yang semakin menyayat hati.
“Kamu sering dimanfaatin Ra?”
Nara menghembuskan asap rokoknya perlahan. Dari arahku, wajahnya membentuk siluet akibat lampu yang ada di sisi kirinya.
“Gue punya satu teman pena beberapa tahun lalu. Kami kenal dari salah satu kelompok review buku online. Kami udah saling kirim surat sejak sama-sama SMA. Kami saling serius ngejalanin pertemanan kami, dia juga gak mudah putus asa sama gue yang sering curhat di surat gak jelas, bahkan dia gak putus asa saat gue…”
Nara menghentikan kalimatnya untuk menyeka matanya. Ia menangis.
“Saat gue direhabilitasi dia juga gak putus asa, gue kabarin ke dia kalo gue masuk rehab dan gue gak nulis surat buat dia hampir enam bulan, tapi dia selalu kirimin gue postcard tiap minggu, dia juga kirimin gue Teddy Bear yang dia jahitin nama gue di dadanya. Dia juga rekamin suaranya yang lagi baca puisi dan harapannya buat gue. Katanya biar gue semangat buat sembuh.”
“Rahabilitasi apa?”
“Something bad.”
Aku kembali diam. Aku hanya pernah mendengar bahwa rehabilitasi dibutuhkan oleh orang-orang yang menderita kecanduan narkoba.
“Hingga suatu hari saat gue baru masuk kuliah, dia bilang butuh uang untuk ngobatin Ibunya yang lagi sakit parah. Gue tanya berapa, dia bilang 25ribu dollar. Gue bantuin tanpa mikir karena dia udah jadi treasure buat gue, harta karun yang tidak ternilai harganya. Beberapa bulan kemudian dia gak bales surat gue lagi, gue tunggu sampe berminggu-minggu gak ada balasan. Gue mulai takut saat itu. Namanya Izzi, dia tinggal di San Fransisco dan kami punya secret code saat itu, yaitu facebook kami berdua. Jika salah satu dari kami gak bales surat lebih dari tiga bulan bulan maka sesuatu pasti terjadi dan facebook adalah tempat terakhir yang akan kami datangi untuk tau apa yang terjadi.”
Aku tersentak mendengar jumlah uang yang disebutkan Nara. Sangat tidak sedikit.
“Kamu dan Izzi gak pernah saling buka facebook masing-masing?”
“Enggak.”
“Apa yang terjadi sama Izzi?”
“Move on.”
Aku menghentikan langkahku dan melihat Nara yang terus berjalan. Lalu ia juga berhenti.
“Izzi gak kuat ngadepin rusaknya gue pasca rehab. Gue depresi, ngeluh terus-terusan, ngerasa sampah dan pengen bunuh diri aja bawaannya saat itu. Gue mulai sering nelepon Izzi, surat masih, tapi gue selalu nelepon dia hampir tiap malem.”
Parkiran sudah di depan kami.
“Mungkin Izzi dengan kehidupan kampusnya, kesibukan-kesibukannya, temen-temennya, mungkin dia bosen sama gue yang kebanyakan ngeluh. Dia minta duit gue dan move on sama hidupnya. Mungkin itu untuk bayaran atas waktunya yang sering gue rampas.”
“Kamu gak nyariin dia? Kamu punya alamatnya, punya facebooknya, punya informasi tentang dia kan?” Desakku.
“Gue juga marah ke Izzi. Gue telepon dan gue banjirin PM facebooknya. Dia cuma bilang hidup gue ngebosenin setelah gue rehab, dia suka sama gue yang dulu, yang sering berbagi cerita tentang buku-buku atau dunia impian kami, tapi dengan gue yang depresi dan hidup Izzi yang tambah sibuk, Izzi mulai bosen dengan apa yang kami omongin, terakhir dia manfaatin gue. Dia akui itu dengan santai.”
Nara tertawa kecil dengan paksa.
“Mungkin kamu butuh temen dunia nyata yang bisa liat kamu apa adanya Ra, yang bisa peluk kamu kalo kamu butuh dipeluk, bukan cuma lewat kata-kata. Semua orang juga bisa kalo cuma ceramah, tapi berusaha untuk ada secara raga itu sulit!”
Nara mengenakan jaket dan helmnya. Kami pergi ke sebuah tempat makan di bilangan Riau. Tempatnya tidak ramai dan sangat nyaman untuk mengobrol. Harga makanannya tidak murah namun aku tidak ingin mengecewakan Nara dengan keluhan harga di saat seperti ini.
“Kak Zaki orangnya baik loh Ra.” Celetukku pelan di tengah makan kami.
“Ah Zaki! Dia bilang sama lo kalo dia suka gue?”
“Kok kamu tau?”
“Taulah Dish, gelagatnya udah kebaca dari setahun lalu.”
“Kamu gak mau ngasih kesempatan buat Kak Zaki?”
Nara menatapku sambil menggeleng. “Gue gak cinta sama dia.”
“Kalo gitu kenapa gak bilang Ra? Kan kasian Kak Zakinya udah nungguin kamu sejak tahun lalu.”
“Dia bakal berhenti sendiri, Dish. Stupid Love! Udah tau unrequited, masih aja nungguin.”
Nara memutar-mutar mi dengan garpunya. Aku sendiri kembali makan mi goreng di piringku. Aku juga begitu ke Kak Zaki, Ra! Orang ganteng yang terbuang sia-sia.
“Terus Izzi, dia bener-bener gak mau balikin uang kamu Ra?”
“Bukan tentang uangnya, Dish. Tapi tentang cara gue melihat diri gue sendiri.”
“Maksudmu?”
“Sejak saat itu, gue sadar bahwa gue harus berubah biar gue gak ngebosenin. Gue harus menjadi Cool Girl karena semua orang suka Cool Girl, semua orang suka liat cewek yang tau banyak hal, bisa banyak hal, gak tabuan, gak gampang depresi. Orang benci sama orang-orang yang suka ngeluh, dikit-dikit ngaku depresi, menganggap dia orang yang paling menderita, menganggap hidup gak adil cuma ke dia.”
“Kamu berubah untuk membuat orang lain senang?”
“Iya. Gue menekan semua penderitaan gue dan mulai menjadi Cool Girl. Gue pelajari apa yang disukai orang lain, gue belajar menjadi orang yang bisa diterima dan ternyata gue berhasil. Gak gue suka, tapi bisa gue lakukan dengan mudah.”
“Kenapa?”
“Karena gue takut sendirian. Saat gue sendiri, rasa depresi gue akan ngerambat kayak rayap, lalu gue akan mulai nangis sendiri, mikir ini itu dan selalu pengen bunuh diri pada akhirnya.”
Aku semakin penasaran pada apa yang terjadi padanya. Mengapa ia begitu rusak?
“Kamu punya temen beneran, maksudku yang bukan online?”
“Banyak. Temen gue banyak, meskipun gak disini tapi di kampung gue sana.”
“Kenapa masih cari temen online?”
“Karena temen online akan dengerin apa yang pengen gue omongin, kami gak terikat emosional wajah, gak perlu baca ekspresi, bisa ditipu dengan smiley, bisa putus nyambung kapan aja.”
“Kenapa Ra? Kenapa kamu berlari dari orang di dunia nyata?”
“Gak tau. Gue selalu merasa kurang dan kekurangan itu bisa gue tutup saat gue chat dengan unknown person.”
“Kamu gak takut disakiti kayak Izzi ke kamu?”
Nara menggeleng.
“Gue sedih Izzi gak ada. Tapi gara-gara dia gue jadi terlahir dengan gue yang baru.”
Aku menatap lilin yang menyala di tengah meja.
“Gue difitnah dengan banyak hal Dish. Gue dituduh jadi simpenan pejabat, jadi perek kampus, bahkan gue mau dijual sama orang yang gue kira temen.”
“Tapi kan itu gak bener toh Ra? Gak perlu kamu ambil hati kalo itu salah.”
“Easy to say that. People used to say that too. Manusia suka mendikte manusia lain untuk melakukan apa yang menurut mereka benar padahal mereka gak pernah ada di posisi itu. Perbedaan akan selalu ada dan perbedaan akan selalu sulit diterima.”
Ada kaca lagi di mata Nara dan kali ini ia biarkan alirannya tampak di depanku, meskipun hanya dua butir dari mata kirinya dan tetap menggenang di mata kanannya.
“Lo dan gue beda dalam merasakan sesuatu, Dish. Lo dan gue beda dalam menerjemahkan sesuatu karena pengalaman kita berbeda.” Lirihnya sangat pelan.
Aku menahan nafasku dan seketika merasa bersalah. Aku jadi ingat Pak Tarman lagi, mungkin ejekan kami tak benar karena kami melakukannya hanya dari asumsi kami sendiri, dugaan-dugaan yang kami bangun dengan kuat berdasarkan ketidaksukaan dan susah diterima oleh nalar kami yang sempit. Lalu kami poles dugaan-dugaan tersebut dengan norma yang normal, norma seharusnya, norma yang diikuti masyarakat, norma yang kami anut.
Karena menurut kami, Pak Tarman tidak sesuai dengan fakta masyarakat pada umumnya, sehingga kami menolaknya. Kami tidak pernah memaknai tepo seliro, tepo seliro bukan hanya tentang menyilahkan orang lain berjalan lebih dulu, menyapa orang-orang yang akan berangkat ke sawah, inggah-inggih ke orang yang lebih tua. Tepo seliro bukan hanya itu. Lebih dari itu, tepo seliro dinafasi oleh dasar rasa hormat tanpa syarat yang seharusnya dilakukan tanpa memandang derajat.
Tidak pernah ada yang tahu seberapa besar rasa sakit yang diderita oleh seseorang. Termasuk Pak Tarman, juga Nara. Aku tidak tahu sakit yang Nara maksud sebesar apa. Aku tidak tahu bagaimana perasaanku jika aku ditimpa fitnah seperti itu. Tampaknya akan biasa saja? Yakinkah? Sedangkan Wahyu yang menuduhku selingkuh dengan Saka saja menjadi duka bertahun-tahun lamanya!
“Kamu merasa sembuh kalo temenan sama temen online?”
“Bukan kesembuhan yang gue cari, gue hanya mencari kesempatan untuk sedikit menjadi diri gue yang sebenarnya di balik sosok Cool Girl gue.”
“Tapi kamu bisa ngalamin kayak sama Izzi lagi kan Ra? Orang yang gak peduli lagi sama kamu?”
“Karena gue terlalu jujur sama Izzi, gue biarkan diri gue sakit sendiri dengan kejujuran itu. Sekarang, lets say, gue lebih berhati-hati dan bisa milih orang.”
Aku menghabiskan isi gelasku.
“Kamu cerita ini ke aku karena apa?”
“Karena lo butuh temen, temen yang kayak gue. Gue sangat bisa jadi temen lo Dish, tinggal lonya mau gak temenan sama gue?”
Pertanyaan itu bukan tentang iya atau tidak. Pertanyaan itu bukan seperti pertanyaan anak-anak saat berkenalan dengan teman baru. Pertanyaan Nara datang dengan harga yang sangat mahal untuk aku bayar. Sebuah penawaran yang jika aku ambil, maka aku akan memasuki labirin tak berlampu, menebak arah dengan meraba-raba dan aku tidak akan pernah tahu ujungnya dimana, masih dekat atau masih jauh, apakah aku yakin aku tidak berputar-putar di titik yang sama?
Aku tidak bisa menganalisa orang lain selain mengamati dan menghafal interaksi fisik (suara, gaya bicara, ekspresi wajah, tatap mata dan bahasa tubuh) mereka. Aku tidak memiliki kemampuan seperti Hima yang bisa menyelami ke kedalaman pikiran orang lain meskipun baru dua kali bertemu. Saat itu aku hanya marah pada Hima dan aku tak punya ide apakah kata-kataku yang aku ucapkan padanya benar adanya. Aku tidak punya ide sama sekali tentang isi kepalanya.
Namun mendengarkan cerita Nara, aku dihadapkan kepada seorang perempuan yang rumit. Ia memilih memendam dirinya sendiri bersama rahasia-rahasianya dan menjadi diri yang baru, menjadi dia yang disukai Kak Zaki, menjadi dia yang disukai banyak orang, menjadi dia yang aku kagumi. Sedangkan dirinya yang nyata justru terbuka di serat fiber yang terbentang antara negara demi negara, melintasi benua dan samudera, lalu berujung di salah satu komputer atau kotak pos seseorang di suatu tempat.
Aku mengerti, jika aku menerima tawarannya maka aku akan mendapatkan raganya tapi tidak dengan jiwanya. Nara akan tahu aku tanpa aku bisa mengetahui tentang dia. Bukan karena ia tak bisa berbagi, tapi ia tak mau melakukannya denganku, dengan orang yang nyata wujudnya.
Seberapa besarkah luka hatinya? Seandainya aku menjadi Izzi saat itu, apakah aku juga akan meninggalkannya? Rahasia apa yang sudah Izzi buang begitu saja sehingga pemiliknya memilih untuk bersembunyi?
“Aku bisa hidup dengan itu, Ra. Berteman sama kamu meskipun aku gak akan dapatkan apa-apa.” Jawabku pelan.