Apa gunanya ini? Apakah ini yang aku cari?
Inginku sederhana. Inginku adalah miliki teman yang sederhana. Tak perlu berdrama karena hidup sudah penuh warna. Tak perlu bicara harga karena teman artinya saling menjaga bukan berniaga. Inginku yang sederhana, yang tak bisa aku raih dengan mudah. Mungkin aku memang harus memberikan apa yang aku punya untuk wujudkan inginku menjadi nyata. Berubah seperti Nara agar diterima? Berubah seperti Wahyu sehingga aku bisa gamit lengan siapa saja dan bicara apa saja? Semua orang mungkin perlu berubah.
Apa salahnya mencoba? Aku memang selalu sendiri, selain kekasih, aku juga sudah pernah kehilangan sahabat seperti Alin dan Tari, apa salahnya kalau aku mencoba dan mungkin akan jatuh kesekian kalinya, tapi apa salahnya mencoba berubah?
“Ikut gue ke Jakarta yuk weekend ini!” Nara menutup buku dan melepas kacamata bacanya. Kebersamaan pertama kami setelah pembicaraan serius beberapa malam lalu adalah membantu Nara pindahan ke kosan barunya satu hari sebelumnya. Nara memilih sebuah rumah kos seperti milik Tari, berada di lingkungan perumahan bagus dengan pagar tinggi juga tingkat. Sudah tidak ada komputer dan tivi lagi, hanya ada satu meja, satu laptop bekas, satu kulkas, satu dipan, satu lemari baju dan satu lemari buku. Tidak sepenuh kamar Nara yang lalu meskipun ukuran kamarnya lebih besar dengan kamar mandi di dalam kamar.
Sudah lebih dari dua jam kami berada di dalam kamar tanpa saling bicara. Nara tiduran di kasurnya sementara aku duduk di atas karpet sambil bersandar dipan.
Di tangannya ada buku berjudul Anna Karenina yang sangat tebal sedangkan di tanganku masih sama, Laskar Pelangi.
“Ngapain ke Jakarta?”
“Main lah, Bandung kan ngebosenin tempat mainnya. Kalo di Jakarta kita bisa main macem-macem!”
“Aku gak pernah ke Jakarta.”
“Makanya pergi sama gue.”
“Aku gak punya uang buat ke Jakarta.”
“Lo bayar ongkos aja, makan sama lain-lain gue yang bayarin.”
Aku berpikir sejenak untuk mengingat jadwal mengajar atau tugas yang harus segera dikumpulkan.
“Nginep?”
“Nginep semalem. Jumat berangkat jam delapan dari sini, Minggu pagi pulang.”
“Itu dua malem namanya, Ra.”
“Emm, kita akan sampe rumah gue sekitar jam 1 malem, terus Minggu pulang jam enam, gak ada 48 jam kan? Satu malem setengah dong!” bela Nara.
Aku menghembuskan nafasku pasrah.
“Haha iya-iya, dua malem! Bisa?”
“Bisa, jangan molor ya Ra, Senin ada kuliah pagi!”
“Iya-iya!”
Aku tidak bilang Bapak akan rencanaku pergi ke Jakarta, padahal sebelumnya aku selalu bilang meskipun hanya pergi menonton. Kali ini aku ingin pergi menjelajah tanpa rasa khawatir. Aku tidak ingin ditarik mundur oleh rasa takut. Aku harus berubah. Karena aku lihat orang yang berubah, bisa mendapatkan apa yang ingin didapatkan.
Satu nafas panjang aku tarik lagi untuk mengusir ragu.
“Wahyu, mantan lo, lo sejurusan sama dia, kalian masih sering ngobrol gak?” Tanya Nara setelah cukup lama diam.
“Enggak.”
“Lo kenapa masih mikirin dia, Dish?”
“Aku gak mikirin dia sih Ra, aku cuma mikirin orang tua kami yang udah meletakkan harapannya pada kami.”
“Holy Fuck! Lo terus bohong ke orang tua kalian sejak kalian putus sampe..SEKARANG??”
“Iya.”
“Gilak lo Dish! Apa susahnya ngomong udah putus? Ortu kalian bakal marah?”
“Gak tau, Ra.”
“Terus si Wahyu, sekarang udah punya pacar?”
Bayangan Wahyu dan Tania menari-nari lagi.
“Kayaknya udah.”
“Kok?”
Aku tarik nafas panjangku. Barisan kalimat dalam buku yang kubaca menjelma dalam susunan garis berwarna hitam. Tak ada satupun kata yang mampu aku baca.
“Gak tau Ra.”
Aku merasakan tangan Nara mengelus kepalaku.
“Kalo lo masih bohong ke ortu kalian dan mereka percaya, berarti Wahyu juga nyembunyiin itu dari orang tuanya kan Dish?”
“Mungkin.”
“Itu jahat namanya, kalo dia udah move on dan ngebiarin lo sendirian menanggung beban dengan bohong terus, itu jahat. Seharusnya dia juga jelasin ke orang tuanya bahwa kalian udah putus, kalo seandainya ortunya marah ya marahlah ke anaknya. Sekarang malah lo yang ditinggal sendiri dan berusaha sendirian untuk menutupi kesalahan yang gak lo buat sama sekali.”
Air mata meleleh di pipiku. Bukan atas wejangan Nara, tapi atas sentuhan tangannya di kepalaku. Sentuhan itu terasa sangat lembut, menenangkan dan menumpas dahaga akan rasa tenang.
“Aku harus bilang gimana Ra ke ortu kami?”
“Bilang sebisa lo Dish. Sisanya tinggal menjawab pertanyaan dan lo tinggal jujur aja sama mereka.”
Nara merubah hari-hariku secara total. TOTAL.
Hapeku sudah terbiasa sunyi selain SMS Jarkom dari lembagaku mengajar, kini ada Nara yang selalu membanjiri dengan SMS, bukan SMS yang bertanya, tapi dia selalu berbagi kutipan dari buku yang sedang ia baca atau tentang kesannya pada buku yang baru mulai ia baca atau pertanyaan tentang sosok tokoh yang ia baca:
“JK Rowling membuat plot twist dengan Severus Snape yang ternyata mencintai Maknya si Harry, gue gak kaget karena Snape terlalu obvious dengan blackey dan misteriusnya dia yang sangat membenci Harry dari awal, gue justru pengen ada plot twist dimana Voldemort adalah another face dari Bapaknya Harry.”
Aku tidak mengerti SMS yang Nara kirimkan. Tentu saja hingga bertahun-tahun berikutnya saat aku mengikuti semua film Harry Potter.
Atau pernah juga ia mengirim SMS:
“Jaman dulu ada perempuan yang mau mati karena cinta pada pria lain meskipun punya suami kaya raya dan terhormat dan kematiannya menjadi simbol pilu. Jaman sekarang perempuan rela bunuh suami yang mencintainya demi bersama pria kaya HAHA. Kejadian Anna Karenina kalo terjadi di jaman sekarang gak akan pernah bisa jadi headline di Kompas ATAU kalaupun jadi berita gede, pasti si Anna bakal jadi VICTIM BLAMERS. Apa sih yang gak bisa disalahin di jaman sekarang?”
Aku juga tidak mengerti yang satu ini.
Tapi aku menjadi sering tersenyum sendiri membaca SMS-SMS Nara. Aku mulai belajar bercanda untuk membalas SMS-SMS Nara karena ia sangat tidak menyukai jawaban tidak tahu.
Berteman dengan sosok seperti Nara membuat aku merasa kerdil sekaligus merasa ditinggikan. Aku sering merasa malu atas obrolan yang selalu dimulainya. Topik obrolan yang selalu saja ada dan jarang yang aku mengerti. Nara selalu bicara sesuatu yang benar-benar baru bagiku. Percaya atau tidak, aku selalu mencari di google atas apa yang sudah kami obrolkan karena aku sering dibuat terpukau pada topiknya. Aku merasa kerdil karena ternyata aku hanya tahu sedikit, bahkan tidak tahu apa-apa dari hampir semua hal yang dia bicarakan.
Disaat yang sama aku juga merasa ditinggikan karena ada orang yang dengan sukarela menawarkan pertemanan tanpa meminta balas, berbagi apa saja meskipun bukan tentang dirinya. Aku menyukai tatap matanya yang tajam, dengan tawanya, dengan senyumnya, dengan pilihan kata-katanya yang sering ia ungkapkan dalam bahasa Inggris karena ia kesulitan menemukan kata dalam bahasa Indonesia.
“Otak gue udah biasa mikir pake bahasa Inggris, Dish karena itu bahasa yang diajarin Bokap gue dari gue kecil. Gue bisa bahasa Indonesia tapi kadang ada beberapa kata yang susah gue jelasin dalam bahasa Indonesia sedangkan mulut gue udah terlanjur gak bisa diem, jadi aja gue sering nyeplos pake bahasa Inggris. Kalo lo gak tau artinya tanya aja, gue selalu bawa Oxford gue buat jelasin artinya ke lo. Serius gue bukan songong kayak Cinta Laura yang sampe malsuin aksen begitu, tapi gue emang sering kesulitan nemuin artinya.”
Berkatnya juga aku menjadi semangat untuk membaca buku, terutama buku-buku yang ada di lemarinya. Aku bersemangat menyelesaikan Laskar Pelangi karena aku ingin membaca buku-buku Nara. Aku bersemangat untuk membaca novel dan membuka kamus sambil mencari artinya. Ditambah lagi, aku tidak punya uang untuk membeli buku.
Tok-tok-tok!
Ada ketukan di pintu kamarku saat aku sedang mengerjakan tugas. Sudah hampir jam sepuluh malam, Kak Vera dan Kak Hanny juga sedang belajar di tempat tidur masing-masing. Sebagai yang paling muda, akupun membukakan pintu kamar.
Nara berdiri di depan kamar. Ada gambar berwarna-warni di wajahnya, ukiran batang berdaun dan berbunga di pipi kanan hingga keningnya, lalu ada bintang-bintang kecil juga kupu-kupu kecil di sekelilingnya. Seringainya lebar saat melihatku terkejut melihat wajahnya.
“Bagus gak?” Tanyanya.
“Apa itu?”
“Ini face painting namanya. Tadi gue diajakin temen gue liat festival di Sarijadi, ada face painting gitu, gue ikut deh.”
Aku tertawa dan mengangguk. Wajah secantik dia akan tetap indah mau digambar apapun.
“Nih gue bawain surabi buat lo, ada sop buah juga!” Nara menyerahkan plastik kecil berwarna hitam. Aku terima plastik itu dan menekan rasa sungkan untuk menolaknya.
“Kenapa?” Tanyaku.
“Emm, gak kenapa-kenapa. Tadi gue inget lo pas makan, jadi kenapa enggak gue beliin aja? Yaudah gue balik yak, udah ditungguin ma temen gue di bawah! Bye Disha!” Nara langsung berjalan cepat menuruni tangga.
Mengingatku? Aku rasakan genangan panas dalam mataku. Dia mengingatku saat dia makan, lalu dia belikan makanan yang sama untukku? Aku seka mataku sebelum masuk lagi ke kamar.
Aku dan Nara jarang bertemu di hari-hari biasa. Aku memiliki waktu luang namun tidak dengannya. Nara sangat sibuk. Ajakannya untuk main ke Jakarta membuat hari-hariku dalam pekan ini tak menenangkan. Apakah Jakarta seperti yang ada di berita-berita itu? Banyak gedung, macet, jalan-jalan bersusun tingkat? Sekaligus banyak mal dan tempat wisata? Apakah orang-orangnya ramah? Kalau nanti aku hilang bagaimana? Aku tidak memberitahu Bapak lalu aku berani main ke Jakarta?
Aku tidak tenang dalam belajar juga mengajar. Aku cari gambar Jakarta di Google dan membayangkan aku ada disana. Aku berkali-kali mengirim SMS pada Nara tentang berapa banyak uang yang harus aku siapkan untuk pergi ke Jakarta. Ketakutan mulai menguasaiku bersamaan dengan buncah girang akan bertualang. Berlebihan? Begitulah haha.
Hari keberangkatan kami tiba. Aku menghampiri Nara ke kosnya.
“Nara, aku cuma bawa tiga ratus ribu, cukup gak?”
“Cukup banget! Tas lo gede banget, apa isinya?”
“Baju ganti?”
“Lo mau nginep sebulan di Jakarta?”
Aku menatap Nara tidak mengerti.
“Bawa satu baju sama beberapa daleman aja! Celana gak usah ganti!”
“Kalo kotor gimana? Kalo kehujanan?”
“Stop worrying!”
“Ha?”
“Buang rasa khawatir dan preventing-on-thing-that-might-happen-thinking lo. Percaya sama gue, bawa satu baju dan daleman. Taro sisanya di kasur gue ntar baliknya bisa lo bawa lagi!”
Aku menurut pada Nara meskipun hati tak yakin. Aku tinggalkan satu kaos dan beberapa pakaian dalam di dalam tasku dan menumpuk empat pasang pakaian lainnya di kasur Nara.
“Ke kampus gue dulu ya! Ada yang mau gue ambil.”
Aku mengangguk tanpa berkata-kata. Aku belum pernah masuk ke kampus Nara. Kami tiba di gerbangnya dan Nara menelepon seseorang.
“Gue udah di depan, lo dimana Nyet?”
….
“Yeeh! Buru ah!”
Lalu ditutup.
Tak lama kemudian sebuah mobil berhenti di depan kami. Mobil yang tampaknya sama dengan mobil yang dibawa Nara pertama kali saat mengantarku dulu. Ternyata warnanya hitam. Seorang pria turun dari sisi kemudi dengan wajah kuyu dan rambut keriting yang gondrong dan berantakan.
“Halo Sayang!” Ia langsung memeluk Nara mesra.
“Minggu siang gue sampe sini, jaga diri ya Babe!” Nara memegang kedua pipi pemuda itu dan mencium bibirnya singkat. Lalu ia serahkan kunci kosan juga motornya.
“Dish kenalin ini Ravi, Rav ini Disha yang mau gue ajak ke Jakarta!”
Ravi melihatku dan mengulurkan tangannya. Ada banyak gelang di tangan kanannya.
“Hati-hati, jangan ngebut-ngebut, kalo lo mati ntar gak ada yang ngelonin gue lagi!”
“Gue gak mati aja lo udah tidur ma perek!”
Ravi memeluk Nara dengan manja lagi. Akupun masuk ke mobil setelah Nara mengajakku. Tak lama kemudian mobil berjalan menjauh dari kampus Nara.
“Dia pacar kamu?”
“Bukan Dish, harus berapa kali gue bilang haha!”
“Kok kamu cium dan peluk dia?”
Nara melihatku lalu tertawa.
“Gue hugger and kisser.”
Aku hanya mengangguk-angguk. Ini baru bagiku, aku tidak pernah melihat wanita dan laki-laki yang tidak berhubungan kasih mau memeluk dan mencium seperti Nara dan Ravi.
“Kita gak jadi naik travel, Ra?”
“Kagak, bawa mobil aja biar ntar di Jakarta enak kemana-mananya.”
“Emang Ravi gak make mobilnya?”
“Dia bawa motor gue.”
Aku diam lagi. Jalanan cukup padat malam ini. Kami terjebak macet cukup lama di Pasteur.
“Taciturn.” Celetuk Nara tiba-tiba.
“Hah? Apa?”
“Taciturn.”
“Apa itu?”
“Copy me Dish! Ta-ci-turn!”
“Ta-ki-tern. Takitern.” Tiruku.
Nara tertawa tanpa melihatku. Mobil berjalan maju sesekali. Gerbang keluar Bandung sudah nampak di depan kami.
“Taciturn artinya pendiem, gak banyak omong, berasal dari bahasa Latin, taciturnus.” Tambah Nara saat kami sudah keluar gerbang Bandung menuju pintu tol. Aku tertawa kecil. Sepertinya ini sindiran untukku.
“Aku gak pendiem kok Ra, cuma gak tau aja mau ngomong apa.”
Nara mengambil tiket di pintu tol.
“Pasang sabuk pengaman lo Dish. Gue suka gak inget penumpang kalo nyetir!”
Aku mengikuti sarannya. Bodohnya aku yang tak menyadari bahwa Nara sudah mengenakan sabuk pengamannya sejak naik mobil tadi.
“Emma dan Fred. Keduanya besar di desa yang sama, berteman sejak kecil hingga saat remaja keduanya saling jatuh cinta.” Ujar Nara pelan. Matanya menatap jalanan di depan kami dengan kecepatan yang cukup tinggi. Aku mulai merasa tidak nyaman dengan pembuka cerita yang mirip denganku.
“Tapi kedua orang tua Emma dan Fred adalah musuh bebuyutan. Orang tua Fred adalah pejabat ternama, seorang Gubernur, sedangkan orang tua Emma adalah pemimpin kelompok aktivis penentang kebijakan yang dibuat oleh orang tua Fred.”
Aku bernafas lega. Bukan tentang aku.
“Emma dan Fred tidak peduli pada alasan politik karena mereka berdua saling mencintai. Mereka selalu ketemu diam-diam di sebuah hutan yang terletak di pinggiran kota. Mereka membuat janji untuk terus bersama-sama, mengukir inisial mereka di sebuah pohon dan selalu duduk di bawah pohon yang sama setiap ketemu.”
Nara mengambil permen di laci mobil, memberikannya satu untukku dan satu untuknya. Permen rasa kopi.
“Hingga suatu hari terjadi kekacauan di kota itu. Kudeta.”
“Kudeta apa Ra?”
“Perebutan kekuasaan, penggulingan legitimasi yang tujuannya untuk membalikkan kekuasaan pada yang dianggap berhak berwenang. Biasanya selalu dengan cara brutal dan ilegal. Krismon 1998 salah satu contohnya, saat presiden dipaksa turun dan mengembalikan kekuasaan kepada rakyat.”
Aku seketika mengerti saat Nara memberikan contoh yang aku tahu.
“Lalu Emma dan Fred,” lanjutku.
“Orang tua Fred tewas dibunuh. Atas kekalahan itu, Fred dibawa pergi dari kota sama keluarganya yang lain. Fred gak pernah punya kesempatan untuk pamit sama Emma karena mereka pergi tengah malam dan diam-diam. Bahkan Fred juga gak sempat kirim surat sama Emma.”
Nara menatapku sebentar. Tatapannya tajam dan misterius sebelum ia selingkan senyum tipis di bibirnya.
“Emma selalu datang ke pohon cinta mereka setiap hari Kamis, hari dimana dia biasa ketemu sama Fred. Emma terus datang kesana hingga bertahun-tahun kemudian, tapi Fred gak pernah datang. Lalu Emma pun berhenti pergi ke hutan.”
“Lalu?”
“Lalu Emma ketemu dengan pria lain, namanya Willy. Willy adalah seorang dokter sehingga hubungan Emma dan Willy tidak dipermasalahkan sama keluarga Emma, justru disanjung. Emma akhirnya pacaran sama Willy dan mereka menikah.”
“Lalu?”
“Willy adalah dokter bedah plastik. Setelah menikah dia mulai membujuk Emma untuk melakukan operasi plastik ini itu, mulai dari membentuk hidung agar lebih cantik, menaikkan pipi agar lebih berisi, menipiskan bibir dan aneka perubahan di wajah Emma. Emma bersedia meskipun ia tak rela, semua dilakukan atas rasa cintanya pada Willy.”
“Lalu Ra?” Tanyaku saat Nara berhenti bercerita.
“Emma menjadi jauh lebih cantik. Bahkan Emma seketika lupa pada wajah lamanya karena terpukau pada wajah baru yang diberikan oleh Willy. Semua orang di kota terpukau pada hasil kerja Willy sehingga para wanita berbondong-bondong pergi ke klinik Willy, bahkan orang dari kota seberang juga mendengar kehebatan kerja Willy. Hingga…”
BEEEPPPP!!! Nara berbelok tajam ke sisi kiri sambil memencet klakson dengan kencang saat sebuah mobil berhenti mendadak di hadapan kami.
“WOY SETAN!!” Teriak Nara sambil membuka jendela. Jantungku sendiri berdegup kencang tak karuan atas kejadian mengerikan barusan. Nara kembali menaikkan kecepatannya lagi.
“Lalu suatu hari Emma mendapat surat rahasia yang memintanya pergi ke hutan, ke pohon cintanya bersama Fred dulu.”
Rasa debar atas kejadian barusan berubah menjadi debar terkejut akan cerita Nara.
“Terus-terus?”
“Gue lanjutin ntar kalo kita balik ke Bandung haha!”
“Yaaah!”
“Disha-Disha, gue ngasih lo contoh bahwa lo bisa memulai obrolan dengan apa aja Dish. Gak perlu nunggu, kalo lo punya pikiran yang pengen lo bagi, omongin aja. Kalimat pertama akan terasa sulit, kalimat berikutnya tinggal ngembangin dari kalimat pertama.” Guyon Nara cerah.
“Aku suka gak kepikiran Ra mau mengawali darimana.”
“Baca buku yang banyak kalo lo pengen obrolan yang berkualitas. Gue tau lo cerdas dalam bermain kata, lo gak mungkin mau terlibat alam obrolan biasa aja kan?”
“Enggak juga, aku suka ngobrolin apa aja kok, gak pilih-pilih topik. Emang akunya aja yang susah ngomong.”
“Kalo gitu nulis cerita aja. Ngobrol dengan karakter ciptaan lo di dalam tulisan.”
Aku melihat Nara yang sesekali melihatku. Kok dia bisa berpikir cepat sekali?
“Gue ngerokok ya?” Nara mengambil bungkus rokok di laci mobil dan menyalakannya.
“Kenapa kamu pengen banget aku ngomong Ra?” Tanyaku dengan tawa kecil.
Nara menurunkan kaca jendelanya, seketika angin jalan masuk ke dalam mobil dan meniup kencang rambutnya.
“Karena gue tau rasanya kesepian, rasanya ngomong sama diri sendiri, tanya gak dijawab, nangis gak dipeluk, sakit gak disembuhin. Gue kasian kalo liat orang gak punya temen, gue selalu melihat diri gue di orang-orang yang sakit dan sendirian dan gue benci itu.” Nara menghisap rokoknya dan tertawa.
“Aku gak apa-apa kok Ra.”
“Tahap pertama, iya. Lo gak apa-apa, tahap berikutnya hingga berikutnya lagi, lo akan membenci diri lo yang gak mampu ngapa-ngapain.”
Aku menghela nafas dan tertawa kecil, mungkinkah?
Nara menyetel radio mobil, tangannya sibuk menekan-nekan tombol untuk memilih gelombang. Lalu ia berhenti di salah satu lagu yang sering aku dengar dulu.
“Lo tau lagu ini dong Dish?”
Aku tertawa.
“Bila Cinta Di Dusta punyanya Screen.” Jawabku.
“Haha gue juga tau Dish, sering denger kalo lagi ke Saritem.”
“Saritem?” Aku tahu tempat itu adalah tempat prostitusi di Bandung, Alin pernah bercerita padaku dulu.
“Iya nganterin Ravi ke tempat langganannya.”
Lagu mulai melantun.
Insan jadi idaman
Kini dimilik orang
Cinta yang diimpikan
Putus di tengah jalan
Terpaksa mengalah
“Wahyu akan menyesali kesalahannya suatu hari nanti, Dish.” Lirih Nara.
“Ooo…oo merayu-rayu
Ooo…oo ingin kembali
Ooo…oo meratap sayu
Tidak mungkin orang simpati
Menoleh pun tak sudi…” Nara menyanyi, membuatku tertawa dan menyusulnya menyanyi.
“Mengapa menyinta
Andainya tak setia
Tak usahlah bercinta
Jika hanya berpura
Bila hati dah jemu
Mula berpaling tadah
Tak pernah dipikirkan
Orang yang ditinggalkan
Tersiksa sayu pilu…..”