Spasi episode 17

-- 17 --

Tidak ada Wahyu diantara mereka.“Lo kok gak ngabarin sih kalo balik ke Jakarta! Bawa mobil Ravi pula! Kan gue bisa nebeng!” Rajuk Tania saat menghampiri kami.
“Enak aja nebeng! Beliin bensin sama nyetir juga kagak!!”
“Kan lo kuli Ra haha!”
“Jek! Gib! Dan! Ngapain kalian kesini? Gak kapok digebukin satpam? Haha!”
Beberapa pria hanya tertawa dan tos dengan adu kepal tangan dengan Nara.
“Kenalin ini Disha, temen gue!” Satu persatu menyalamiku, termasuk Tania. Tania yang satu kelas denganku pun tak mengenali wajahku? Yasalam…

Mereka terus mengobrol untuk beberapa saat sebelum Tania dan teman-temannya pamit pergi.

“Tania kan sejurusan sama aku Ra, sekelas juga kok!” Ujarku.
“Iya. Seangkatan sama lo gitu?” Nara menghitung sesuatu dengan jarinya.
“Oiya angkatan lo ya? Gue kirain Kakak Tingkat lo!”

Aku tak sabar ingin bertanya banyak hal tentang Tania namun Nara sudah mengajakku untuk kembali berjalan. Ia mengajakku bermain seluncur es, errrr baiklah, ice skating. Permainan yang baru aku lihat pertama kalinya.
“Udah gue aja yang bayar!” Katanya.
“Nara aku gak bisa!” Aku pun panik saat mencoba berdiri apalagi berjalan dengan sepatu beralas pipih di kakiku.
“Lo pegang tangan gue dan percaya sama gue, OK!”

Aku memegang tangannya dan mengikutinya berjalan di atas lapisan es yang keras. Rasa dingin yang tadi sempat terasa kini tidak lagi. Meski berkali terjatuh dan ditertawakan oleh anak-anak kecil yang sudah mahir, aku tetap tidak berhenti tertawa bersama Nara. Nara yang sudah sangat mahir berputar-putar terkadang mengerjaiku dengan melepaskan peganganku lalu meninggalkan aku di tengah-tengah arena sementara dia memutariku. Akhirnya aku berhasil minggir perlahan-lahan dan berpegangan di tepian arena, masih mengamati Nara yang berputar-putar lincah bersama anak-anak kecil. Celanaku basah akibat jatuh beberapa kali, namun dengan guyonan Nara aku pun lupa pada bekas basahnya.

Jakarta adalah pengalaman tersendiri bagiku. Diantara macetnya jalan, diantara rengkuhan gedung-gedung tinggi, diantara irama klakson yang bertempo cepat juga tinggi, diantara wajah-wajah berpeluh juga lesu, diantara teriakan marah pengemudi dan pencari nafkah, Jakarta seperti seorang gadis penari topeng. Gemulai indah tubuhnya menarik siapapun untuk melihatnya, wajah dibalik topengnya membuat penonton penasaran pada parasnya, namun gemerincing gelang tangan juga binggel di kaki menghipnotis penikmatnya. Tak ada pilihan lain selain untuk tetap menikmati atau ikut menari dan mengikuti hentakan dari kendang yang tertabuh.

Aku tidak menyukai Jakarta. Aku tidak menyukai rasa asing yang tidak akrab, aku merasa sedih diantara orang-orang yang berlalu-lalang. Aku tidak hanya merasakan batas tipis yang seperti dikatakan Nara pagi tadi, tapi aku merasakan sebuah dinding tebal yang membatasi individu. Tatap mata mereka tertuju pada semu, seakan orang lain juga tak ada. Diantara suara dentum musik tak beraturan, teriakan, obrolan, serta deru dan klakson kendaraan, ada sepi yang tak bisa terusir, ada sunyi yang tak akan bisa diganti. Senyap yang tak akan singsing meskipun hiruk pikuk gemerlapnya kota tetap bising.

Aku mengamati Nara yang tidak berhenti bercerita. Apakah kota ini seperti dia? Ataukah dia yang menjelma menjadi kota ini? Kecantikan yang menghipnotis penikmatnya? Atau kerapuhan yang menjelma dalam keterasingan?

“Kenapa jujur itu sulit?”
“Hah?”
Reaksi Nara membuatku terkejut. Aku tidak sadar saat tanya terlantun dari bibirku.
“Apa?” Ulang Nara.
“Gak kenapa-kenapa, aku ngelantur aja, inget sesuatu yang lain.”

Nara menatapku heran, lalu tersenyum dan melihat jalanan lagi. Kemudian kami tiba di titik macet yang lain. Benar-benar macet sehingga mobil tak bisa jalan sedikitpun. Nara menaikkan kedua kakinya ke atas jok dan memainkan jemari di pahanya sambil mengikuti musik yang mangalun dari radio.

“Kamu udah lama kenal Tania, Ra?”
“Udah, dia dari Jakarta juga SMAnya. Gak satu sekolah sama gue, tapi gue kenal dia aja sejak SMA.”
“Dia model?”
Nara mengangguk, “sejak SMA.”

Aku manarik nafas dan menahannya.

“Dia udah punya pacar?” Tanyaku diantara nafas yang tertahan.
“Tania? Setau gue sih dia pacarnya si Gigib, yang tadi ikut.”
“Sampe sekarang?”
“Umm, mereka udah lama sih pacarannya, sejak Tania SMA kalo gak salah. Kenapa?”
“Mereka udah putus atau…?”
“Gak tau lah! Kenapa sih?”
“Waktu tutorial sama Kak Zaki, yang kamu juga dateng, aku liat Tania sama Wahyu…”
“OH!” Potong Nara dibarengi hempasan tubuhnya di kursi kemudi. Ia tatap wajahku sambil menggigit bibirnya.

“Tania deket sama Wahyu?”

Aku mengangguk.

“HAHAHAHAHAA!!!!” Nara tiba-tiba tertawa. Terbahak dan lama. Lalu berhenti. Ia lepas sabuk pengamannya dan memiringkan tubuhnya padaku.
“Lo pernah kissing?” Tanyanya.
“Ha? Apa?”
“Lo pernah kissing?”
“Um..iya pernah.”
“Lo mau gak gue kiss? Gue pengen banget cium orang saat ini. Mau?” Wajah Nara sudah ada tepat di depan wajahku yang terpojok di pintu. Aku mengedipkan mataku berkali-kali, tak percaya bahwa seorang wanita akan menanyaiku ini. Jantungku ikut berdetak kencang secepat musik hiphop yang mengalun.
“Em, Nara..” Bisikku gugup. Hangat nafas Nara sudah di depan hidungku.
“Gue mau kiss lo, boleh gak?” bisiknya.

Aku masih diliputi rasa terkejut dan kalut, hingga Nara menarik tubuhnya dan tertawa lagi.

“Muka lo langsung pucet gitu Dish!”
“Mau dicium perempuan gimana gak pucet Ra!”

Nara tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Mobilpun berjalan lagi.

“Kamu pernah kiss perempuan, Ra?”
“Sering.”

Eladalah! Ada toh?

Kami tiba di sebuah tempat makan selepas maghrib. Aku pamit ke kamar mandi setelah memesan makanan.

Tania dan Gigib, lalu Tania dengan Wahyu kemarin apa artinya? Apakah Tania sudah putus dengan Gigib lalu pacaran dengan Wahyu? Aku melamun mengamati aliran air kran di tanganku hingga seorang anak kecil menyenggolku dan membuyarkan tanya yang tak terjawab.

“Habis ini mau nonton gak Dish?”
“Boleh, tapi aku aja yang bayar ya, kan kamu udah bayarin aku main sama minum tadi.”
“Udah gak usah! Nikmatin aja kesempatan lo di Jakarta, kapan lagi lo bakal kesini kan haha!”
“Makasih ya Ra udah ajak aku jalan-jalan.”
“Gue berasa ngajak anak panti kalo lo bilang gitu! Gak apa-apa Dish, gue hepi kalo lo hepi, anyway lo hepi gak?”

Aku menyuapkan nasi ke mulutku.

“Aku ngerasa hepi meskipun kita gak kesini Ra.”
“Lo gak betah di Jakarta ya haha.”

Aku tertawa kecil.

“Tapi aku hepi kok bisa pergi sama kamu kemana aja.”
“Apakah kita perlu pergi berdua ke ujung dunia, menikah dan hidup bahagia, Sayang?” Nara meraih tanganku dan memegangnya ala Pangeran pada Putrinya.
“Nanti gak bisa punya anak kalo nikahnya sama kamu!”
“Punya kamu udah cukup bagiku Sayang, gak perlu anak lagi!” Balas Nara. Aku hanya tergelak risih membayangkan guyonan Nara. Baru kali ini ada perempuan yang menggombal di depanku, bahkan hendak menciumku tadi.

Ternyata kami tidak jadi nonton karena film-film yang tidak menarik menurut Nara. Akhirnya kami habiskan waktu dengan menyetir lagi, entah kemana Nara akan membawaku. Nara menunjukkan nama-nama gedung juga patung-patung yang menjadi ikon kota Jakarta yang kami lewati. Di tengah perjalanan, Nara menerima telepon dan akhirnya membatalkan rencana ke diskotik juga.

“Ada apa Ra kok jadi berubah jadwalnya?”
“Gue ada undangan rapat sama BEM Bandung, katanya hari Senin gak taunya dimajuin besok jam sepuluh. Besok kita harus berangkat jam setengah lima dari sini. Bisa kan lo bangun sebelum jam segitu?”
“Iya bisa.”

Aku pun menurut saja saat Nara menyetir mobilnya menuju arah pulang. Nara segera mandi dan mengganti bajunya dengan piyama, lalu berbaring di kasur. Sudah hampir jam dua belas malam saat kami bersiap tidur.

“Dish?” Panggil Nara saat lampu sudah kumatikan.
“Hmm?”

Nara tak segera menjawab. Kamar ini gelap gulita, aku hanya bisa mendengar nafas Nara yang mulai melembut.

“Emma dateng ke pohon cinta mereka.” Lirihnya setelah agak lama.

“Hmm, terus?”

“Udah ada yang nunggu dia disana, seorang pria yang lagi menatap goresan nama mereka di pohon.”

“Lalu?”

“Emma yang perasaannya tidak menentu akhirnya menyentuh pundak si pria.”

“Pria itu Fred?”

“Lalu pria itu memeluk Emma sangat erat, terus dia ambil pistol dari balik jasnya dan dia tembakkan ke kepalanya, lalu tembus ke kepala Emma. Mereka berdua mati.”

“Nara!” pekikku lirih.

“Fred merubah wajahnya hanya untuk membalas dendam pada keluarga Emma, namun rasa cintanya pada Emma membuat dia gak tega untuk membunuh wajah lamanya Emma, sehingga dia minta Emma untuk operasi wajah. Fred udah bunuh keluarga Emma sebelum ketemu Emma di hutan.”

“Fred adalah Willy??”

“Yep. Night-night Disha, sleep tight, dont let the bed bugs bite.”

Aku tercengang atas akhir cerita Nara. Aku dengar dengkuran pelan dari Nara yang menghadap ke dinding.

“Ra?” Lirihku.

“Hm?”

“Apa judul bukunya?”

“Nothing. Gue ngarang sendiri ceritanya.”


Spasi

Spasi

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2017 Native Language: Indonesia
Kata orang, persahabatan yang sukses adalah saat aku dan kamu menjadi kita dan kita saling menjadi buku yang terbuka.Tapi tidak ada yang bercerita tentang apa isi dalam bukunya. Bagaimana jika buku itu berisi bahasa yang berbeda dalam aksara yang juga purba? Bahasa yang aku dan kamu tidak mengerti cara membacanya. Akankah kita bisa mencapai nirwana yang kamu sebut Valhalla? Mungkin tidak ada surga di ujung jalan kita karena surga itu mungkin ada disini. Namun kita saja yang tidak pernah mau melihat lebih dekat. Mungkin juga tidak ada neraka yang menunggu kita karena bisa jadi apa yang kita tinggali saat ini adalah neraka.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset