Spasi episode 2

-- 2 --

Siang itu sangat panas.Angin bertiup sangat pelan, awan yang terarak dalam gumpal kapas tipis di biru lazuardi juga merambat sangat lambat, terlebih lagi lapangan juga sepi. Aku duduk di salah satu bangku beton yang melingkari pohon beringin yang terletak di sudut lapangan. Tak jauh dari tempatku duduk ada gerobak penjual es milik Mas Nadir. Ia menyapaku dan menawariku es namun aku tolak dengan janji “nanti aku beli kalau sudah haus ya Mas”.

Ada beberapa anak yang memaksa untuk menerbangkan layangan di antara udara tanpa angin. Layangan berwarna merah dengan ekor berwarna kuning yang tampaknya mereka buat sendiri karena aku yakin belum ada yang menjual layangan di musim seperti ini, setidaknya hingga satu bulan ke depan warung-warung baru akan mulai menggelar koleksi layangan mereka yang sudah disimpan sejak tahun lalu.

Mungkin tidak ada yang mengajari mereka kapan waktu yang tepat untuk bermain layangan. Mereka juga pasti belum belajar Geografi tentang angin di Indonesia. Bulan Mei hingga Agustus adalah waktu paling tepat untuk bermain layangan karena saat itu angin akan berhembus lebih kencang. Sekarang masih bulan April, mereka memulai terlalu awal, batinku.

Enam orang anak mulai berebut memegang gulungan benang. Mungkin memegang badan layangan dan berlari hingga layangan terbang mulai tidak asik, apalagi saat layangan tidak kunjung terbang, hanya lelah yang di dapat. Pemegang benang selalu merasa seperti raja, selain ia bisa berlari tanpa peduli teman yang memegang layangan, ia juga bisa mengendalikan layangan di angkasa. Ia yang akan berdamai dengan angin melalui tarik-ulur benang, lalu bercakap-cakap dengan langit lewat layangan saat layangan sudah melanglang tenang.

Lapangan ini terletak tidak tepat di belakang atau di samping atau di depan sekolah. Lapangan ini sebenarnya menjadi milik siapa saja yang ingin menggunakannya. Sekolahku terletak sekitar 300meter di sebelah utara lapangan dan satu-satunya yang paling sering menggunakan lapangan ini. Lapangan ini pun akhirnya dikenal dengan lapangan milik sekolah.

Teriakan anak-anak di tengah lapangan mulai berubah haluan, yang awalnya saling menyemangati kini saling menyalahkan karena ekor layangan yang terinjak lalu putus. Masih dengan omelan, mereka berjalan ke pinggir lapangan. Layang-layang yang ternyata sudah sobek-sobek ditarik malas oleh Raka, anak TK yang tinggal di sebelah rumahku. Dia satu-satunya yang paling kecil diantara anak SD lainnya. Mereka berenam menghampiri gerobak Mas Nadir dan memesan es teh.

Raka duduk tak jauh dariku. Wajahnya berkeringat, berdebu dan bau amis. Raka minta es pada si Supri namun tidak diberi. Supri yang pelit. Raka meminta es pada si Danang juga tidak diberi. Danang yang pelit.

“Kowe lek ngombe ngentek-ngenteki, Ka!” (Kamu kalo minum suka ngabisin, Ka!) bentak Hari. Teman-teman Raka yang pelit.

“Mbak Disha! Tukokno es seh Mbak!” (Mbak Disha, beliin es dong!) teriak Raka sambil berlari ke arahku.

Melihat tubuhnya yang kecil dan wajahnya yang berkeringat juga memelas membuatku tidak tega, tapi aku sudah sering dipalak oleh anak-anak kecil untuk minta dibelikan es atau terang bulan (martabak keliling) sehingga aku tidak mudah jatuh hati lagi. Uang sakuku juga tidak banyak dan anak-anak sering tuman (ketagihan) jika sekali dituruti.

“Heh! Kebiasaan!” Suara Wahyu mengejutkan kami.

Anak-anak mulai menyoraki Wahyu dan aku sehingga mau tidak mau Wahyu harus membelikan Raka es dan mengusir kerumunan bocah-bocah tengil tersebut.

Kami duduk berjajar dalam jarak yang bisa diisi oleh dua orang lagi.

“Udah lama Dish?”
“Udah.”

Aku menendangi batu-batu yang masih terpendam di tanah dengan ujung sepatu.

“Aku dipanggil Pak Ratno (Kepala Sekolah) dulu tadi.”

Teman-teman kami pasti sedang merayakan berakhirnya ujian di sekolah. Mungkin mereka akan berkumpul di kantin Bude Marla, memesan nasi soto, pecel, atau menikmati jajanan sambil membicarakan apa saja selain ujian. Mungkin mereka yang juga sudah diterima kuliah sedang membicarakan rencana masa depan dan impian-impian yang sudah tersusun rapi dalam ilusi.

Tidak ada satupun dari siswa-siswa di sekolahku yang pernah keluar lingkup Lumajang. Kami adalah anak-anak gunung yang tahunya kaki Semeru, sawah, dan kali. Kami hanya melihat Jakarta dari berita, Bali dan Bandung dari FTV, Surabaya cukup setahun sekali atau tidak sama sekali. Tak lebih. Tidak ada yang punya ide nyata akan bagaimana kehidupan di luar sana.

Mungkin Nilam juga mencariku, atau tidak. Nilam tidak pernah menjadi sahabat dekat selain mendekati untuk mencontek tugas. Nilam mempunyai banyak teman yang bisa ia ajak main kapan saja, tidak sepertiku yang sering sibuk membantu Bapak atau mengurung diri di kamar dengan buku-buku pelajaran.

Selain Nilam, tidak ada yang akan mencari Disha. Mungkin guru-guru yang butuh bantuan menilai tugas anak kelas satu atau memasukkan nilai ke daftar nilai saja yang akan mencari Disha. Aku menarik nafas pelan sambil membayangkan tidak ada satupun yang mencari keberadaanku.

Mas Nadir perlahan menarik gerobaknya, ia memilih berjualan keliling karena lapangan sepi.

“Mau ngomong apa Yu?” Tanyaku.

“Kamu mau kan Dish pura-pura untuk tetep pacaran sampe kita berangkat ke Bandung?”

“Kamu kok gak percaya aku sih Yu. Aku sama Saka gak ada apa-apa. Kami cuma pernah latihan paskibra tahun lalu, habis itu gak ada apa-apa lagi. Waktu itu dia nganterin aku pulang karena kebetulan aku disuruh Bapak ke kantor Lurah terus sepedaku rusak Yu, jadi Saka nawarin aku naik motornya. Tanyain sama Pakdenya Fadil yang rumahnya di perempatan itu kalo gak percaya! Sepedaku dibenerin sama Pakdenya Fadil!”

Aku berusaha keras untuk mengulangi penjelasan yang sama seperti saat kami bertengkar sebelumnya, juga di tempat ini.

Wajah Wahyu biasa saja, tetap kaku dan tidak tersentuh atas pembelaanku. Sepertinya dia sudah memasang penjaga hatinya setinggi dan setebal mungkin.

“Kok kita gak baikan aja sih Yu. Aku minta maaf kalo aku lancang boncengan sama Saka waktu itu. Tapi beneran gak ada apa-apa kok. Kamu bisa tanya Saka!” Aku masih berusaha sembah sujud agar kami bisa baikan lagi.

“Gak sudi!” Jawab Wahyu tegas namun pelan.

Aku kembali diam dan ingin menangis.

“Bapak sama Ibu pengen kamu maen ke rumah lagi. Kan ujian udah selesai, Ibu minta kamu nginep di rumah sekalian ngomongin slametan nanti sebelum berangkat ke Bandung.”

Wahyu menyampaikan niatnya seakan ia membaca prompter berita. Mungkin ia sudah menyusun skenario di kapalanya sejak pagi sehingga kata-kata tanpa emosi itu meluncur mulus.

Bagaimana mungkin aku bisa biasa saja dan berpura-pura bahwa kami baik-baik saja? Bukankah itu akan menjadi sesuatu yang kualat, berbohong pada orang tua?

Aku memakai lagi tasku dan berdiri. Aku lihat wajah Wahyu yang masih tidak mau melihatku.

“Aku gak bisa Yu. Aku kasian sama Bapakku, Bapakmu dan Ibumu. Aku akan bilang Bapak kalo kita sudah gak ada hubungan apa-apa lagi.”

Aku menuntun sepedaku dan meninggalkan Wahyu. Ia tidak memanggilku.

Teriknya matahari seakan-akan membakar kulit. Tetap kukayuh sepeda meskipun aku tidak tahu akan pergi kemana. Tidak mungkin kembali ke sekolah, toh disana tidak ada yang menungguku.

Aku memilih pulang.

Belum sampai di rumah, Wahyu menyusul dengan sepedanya dan menahan stang sepedaku dengan satu tangan sehingga mau tidak mau kami berdua harus berhenti.

“Jangan bilang sekarang Dish! Kalo mereka tau kita putus, mereka gak akan tenang biarin kamu dan aku pergi kuliah ke Bandung! Kalo aku sih laki-laki gak apa-apa pergi merantau sendirian, tapi kamu? Kamu gak takut Bapakmu kuatir sama kamu dan akhirnya ngelarang kamu kuliah?”

“Bapakku malah pengen aku pergi merantau Yu.”

“Karena Bapakmu tau kamu pergi sama aku!” Tegas Wahyu.

Tubuhku terasa lemas. Ada benarnya yang dibilang oleh Wahyu. Kabar putusnya hubungan kami hanya akan menambah panik keluarga kami. Ibu Wahyu selalu di dusun ini sejak lahir. Bisa melihat Jakarta di tivi saja sudah membuatnya terkagum-kagum atas lampu dan jalan raya dimana-mana. Saat melihat berita kejahatan yang terjadi di pulau lain, ia akan membahas berita itu di sawah, di ladang, dan akhirnya khawatirnya meradang padaku, mewanti-wanti atas rasa waspada. Lalu merembet ke Wahyu yang diwanti-wanti untuk menjagaku.

Lagipula siapa yang akan bertindak jahat di dusun sekecil ini. Semua orang saling mengenal sejak bayi. Lalu mengenal bayi-bayi yang dilahirkan oleh sahabat sejak bayi itu. Begitu seterusnya. Orang asing akan sangat dikenali disini. Orang yang berniat jahat akan mungsret nyalinya karena semua orang akan menyapa di sepanjang perjalanan. Tak akan ada waktu untuk menyusun plot keji karena mungkin Kepala Dusun akan njagong (duduk dan ngobrol) sepanjang malam di rumahnya, lalu ia akan mengajak semua Bapak-Bapak di desa untuk bertandang dan berkenalan ke rumah orang baru. Lalu ia akan diundang ke gardu poskamling dan berujung main catur atau gaple.

Aku menatap hamparan sawah di sisi kananku sambil menimbang perkataan Wahyu.

“Aku pikirin lagi di rumah!” Aku hentakkan stang sepeda ke kanan untuk mengusir tangan Wahyu yang masih menahan stang kiriku.
“Kalo Bapakmu tau kita putus, Keluargamu dan Keluargaku bisa musuhan Dish!”

Wahyu menegaskan sekali lagi alasan untuk bersandiwara.

Aku tidak mengerti lakonku. Selama 18 tahun aku menjalaninya sebagai penyenang Bapak dan orang-orang di sekitarku. Bapak ingin aku pintar maka aku belajar. Bapak ingin aku bahagia maka aku manut pada wejangannya. Bapak ingin aku manut pada wejangannya maka aku tidak pernah berkata tidak atas perintahnya. Aku tidak mengerti arti luar dan dalam karena bagiku, tempatku hanya disini dan aku hidup di saat ini.

Aku tidak memiliki impian kemana-mana sebelum Bapak mendongeng tentang keindahan di balik Semeru. Ia bilang di luar sana ada harapan yang lebih baik. Harapan yang menawarkan masa depan yang tidak hanya berwarna hijau padi dan hutan, tapi ada warna-warna pelangi yang akan membuatku lebih indah.

Memang aneh.

Di FTV, orang-orang kota mengidamkan damainya hidup di desa, di sawah-sawah, di pegunungan, di aliran sungai layaknya sungai Gondoruso. Mereka para pria kota dengan dandanan necis jatuh cinta pada gadis desa yang hanya pakai rok dan kemaja lusuh yang sedang mencuci baju di kali. Para gadis kota dengan pakaian indah, kacamata hitam, rambut tergerai bebas dan kuku bercat merah jatuh hati pada pria desa yang kumal yang sedang mencangkul di sawah.

Aku tidak mengerti bagian itu. Aku rasa mereka terlalu berlebihan.

Tidak ada pria kota atau gadis desa yang datang ke dusun kami dengan hambusan angin yang menerbangkan rambut dan pakaian indah mereka. Tidak ada gadis kota yang berjalan-jalan di sawah lalu jatuh dan ditolong oleh pria desa. Tidak ada gadis desa atau pria desa yang menikah dengan orang kota lalu diboyong ke istana megah. Gadis desa menikah dengan pria desa. Itu kenyataannya. Sandiwara yang edan.

Aku memilih melakoni sandiwara yang disutradarai oleh Wahyu dan sedikit aku. Aku tetap ke rumah Bulek Lastri, menginap semalam dan membantunya membuat lambang sari untuk aku bawa pulang.

Saat pengumuman kelulusan, aku dan Wahyu juga ikut hore-hore bersama teman-teman kami yang lain, membuat Jaka dan Nilam tercengang atas kedekatan kami lagi. Kami berdua tidak peduli. Kami hanya ingin segera pergi dari sini dan berharap akan menemukan cara untuk menjelaskan kepada orang tua kami atas hubungan yang sudah menjadi abu.

Bapak menghadiahkan sebuah hape untukku sebelum berangkat ke Bandung. Bapak bilang, ia menjual padi hasil panen sebelumnya yang masih tersimpan di dapur. Seyogyanya padi itu untuk dimakan sendiri hingga panen berikutnya, tapi demi memberiku hape dan uang saku, Bapak rela menjual beras dengan senang hati ke koperasi.

Hape berwarna hitam dengan merk Nokia itu juga hasil hutang, namun Bapak tampak tidak keberatan sama sekali dan kegiranganku untuk pergi kuliah juga tidak membuat aku terlalu mengkhawatirkan itu. Aku sudah menyusun rencana bahwa saat uang beasiswaku turun nanti, aku akan menabungnya dan mengirimkannya ke Bapak untuk membantu melunasi hutang hape ini.

Wahyu juga begitu. Ia dibelikan hape oleh Bapak Ibunya, Hape dengan merk dan warna yang sama dengan milikku.

Tidak banyak yang memiliki hape di desa kami. Bagi kami, hape masih tergolong barang mewah yang tidak kami perlukan karena teriakan kencang dari satu petak sawah ke petak lainnya dinilai lebih efisien atau kunjungan langsung dari rumah ke rumah dan bicara di depan muka adalah interaksi yang tidak akan pernah terganti.

Kami berangkat ke Bandung di pertengahan Mei. Diiringi derai air mata orang tua, tetangga juga beberapa teman, kami berangkat selepas maghrib. Kami tidak sendirian, ada beberapa siswa dari sekolah kami dan sekolah yang lain juga yang ikut berangkat meskipun kampus tujuannya berbeda.

Kursiku dan kursi Wahyu bersebelahan, kursi yang dipilihkan oleh Bulek Lastri.

Saat bis meninggalkan terminal, saat itu juga Wahyu meminta tukar kursi dengan Sari, salah satu teman kami yang diterima di akademi kebidanan di kota Bandung.

Wahyu pindah ke kursi yang terletak tepat di deretanku tanpa pamit apalagi menatapku.
Aku menarik nafas panjang dan mengalihkan pandangan ke luar jendela sementara Wahyu tampak sibuk mengutak-atik hape barunya.

Aku mengerti saat itu juga bahwa hubungan kami tidak bisa diperbaiki lagi.


Spasi

Spasi

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2017 Native Language: Indonesia
Kata orang, persahabatan yang sukses adalah saat aku dan kamu menjadi kita dan kita saling menjadi buku yang terbuka.Tapi tidak ada yang bercerita tentang apa isi dalam bukunya. Bagaimana jika buku itu berisi bahasa yang berbeda dalam aksara yang juga purba? Bahasa yang aku dan kamu tidak mengerti cara membacanya. Akankah kita bisa mencapai nirwana yang kamu sebut Valhalla? Mungkin tidak ada surga di ujung jalan kita karena surga itu mungkin ada disini. Namun kita saja yang tidak pernah mau melihat lebih dekat. Mungkin juga tidak ada neraka yang menunggu kita karena bisa jadi apa yang kita tinggali saat ini adalah neraka.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset