Spasi episode 4

-- 4 --

Tari memeluk lenganku sepanjang perjalanan pulang dan tidak berhenti menghibur suramku. Aku mendengarkan setiap perkataan Tari dan mengulangnya dalam hati agar kekuatan yang diberikan Tari bisa membuat aku berjalan dengan tegak lagi.Hingga berminggu-minggu berikutnya, Tari masih dengan setia terus melafalkan keajaibannya.

Pada suatu hari kami pulang ke asrama bersama dan menyetop angkot yang akan kami naiki dari depan kampus. Aku naik lebih dulu dan disusul Tari. Saat kami sudah duduk dan angkot mulai berjalan, aku melihat Wahyu duduk di bagian belakang angkot.

Tatapan kami bertemu sebentar sebelum ia palingkan keluar melalui jendela belakang angkot.

Aku belum tahu Wahyu diterima di fakultas apa. Ingin bertanya namun ia tampak tidak mau bicara denganku lagi. Aku akan lihat sendiri besok.

Tari dan Alin juga tinggal di asrama dan kamar mereka bersebrangan dengan kamarku (Alin dan Tari berada di satu kamar). Meskipun hasil matrikulasi memisahkan kami dalam fakultas yang berbeda, namun kami masih selalu belajar bersama-sama.

Kelas kami sudah dipisahkan berdasarkan fakultas.Teman-teman satu kelasku adalah fakultas yang sama denganku, begitupula Tari dan Alin.

Aku masih sangat menyesali kegagalanku masuk Biologi. Aku tidak menyukai Fisika, Matematika, Kimia apalagi Astronomi. Saat bersama Tari dan Alin, aku selalu iri mendengar cerita mereka tentang pengenalan prodi di fakultas mereka, himpunan mahasiswa mereka, atau kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh fakultas mereka.

Mereka selalu bercerita dengan asik dan seru. Mereka terlihat siap membuka kedua lengan untuk tantangan masa depan karena mereka berada di jalur yang mereka pilih.

Tidak bagiku.

Hari-hariku terasa gelap.
Saat di kelas aku merasa sendirian.

Aku selalu duduk di deretan agak depan karena aku tidak bisa memperhatikan papan tulis dengan jelas. Namun tidak ada yang menyapaku seperti Tari dulu. Tidak ada yang meminjam catatan dan mengajak berkenalan. Aku selalu takut untuk memulai. Krisis rasa percaya diri yang kritis membuat aku seperti siput dalam cangkangnya.

Pernah aku mencoba menembus batas takut. Aku menyapa seorang teman perempuan yang duduk tepat di samping kananku di suatu pagi saat dosen belum datang. Saat itu dia hanya diam sambil mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja, mungkin ia sedang mengingat lagu kesukaannya dan bersenandung dengan ketukan.

“Hai, aku Disha!” Aku ulurkan tanganku padanya. Rasa dingin dalam tubuhku menjalar ke telapak tangan yang juga ikut dingin. Kupertahankan senyum kaku di bibirku dan memberanikan diri menatap wajahnya. Dia menoleh,
“Gue Nadia.” Dia balas uluran tanganku dan hanya menjabat dengan sangat lembut, atau malas? Karena aku hampir tidak bisa merasakan tangan kami bersentuhan. Senyum tipis yang singkat langsung sirna seiring dia lepas tangannya dari tanganku. Lalu ia kembali melihat papan tulis yang kosong dan mengetuk-ngetukkan jemarinya lagi.

Aku memformulasi pertanyaan berikutnya dalam otakku. Namun mengingat jabat tangan barusan juga wajah Nadia yang tampak tidak tertarik untuk mengobrol denganku membuat aku mengalikan semua formulasi pertanyaan dengan nol. Nihil. Tak ada pertanyaan lanjutan atau topik susulan antara aku dan Nadia hingga dosen memasuki ruang kelas.

Di lain waktu ada yang pernah menyapaku lebih dulu.
“Eh, lo pengen masuk apa ntar?” Tanyanya tiba-tiba. Dia adalah seorang pria dengan rambut gondrong, berwajah lesu dan penampilan agak lusuh. Aku juga sering melihatnya di kelas. Dia selalu datang terlambat dan duduk di deret tak kasat mata. Hari itu aku duduk di depannya, di deret tak kasat mata juga karena aku kesiangan dan kursi langgananku sudah diduduki orang lain.

“Belum tau.” Jawabku dengan rasa berdebar. Antara ketertarikan akan kemungkinan obrolan berikutnya juga kepanikan akan pertanyaan apa yang harus aku berikan sebagai bentuk balasan. Aku tidak ingin obrolan itu gagal seperti dengan Nadia karena saat ini aku berada di posisi Nadia, sebagai orang yang ditanyai. Lancar tidaknya obrolan berikutnya ada di tanganku. Aku bisa jadi memegang kartu As untuk membuat interaksi ini berhasil.

“Kalo kamu mau masuk jurusan apa?” Pertanyaan itu aku luncurkan juga sambil menahan debar dalam dada agar suaraku tidak ikut bergetar.
“Mate.” Jawabnya singkat sambil meletakkan tasnya di meja dan ia tumpukan dagu diatasnya. Dosen masuk kelas.
“Mate?” Bisikku.
“Matematika.” Jawabnya tegas dan singkat.

Aku mengangguk-angguk dan kembali menunggu dia akan menanyaiku sesuatu atau aku perlu merumuskan pertanyaan baru. Hampir semua mahasiswa di kelasku suka mengobrol meskipun dosen sedang menjelaskan. Meskipun obrolan mereka pelan dan curi-curi, tapi tetap saja mereka menemukan cara untuk mengobrol di kelas.

Ada Deva dan Faya yang hampir selalu mengobrolkan lagu dan artis. Ada Sintia, Randi dan Belda yang hampir selalu mengobrolkan teman-teman mereka di kelas atau kampus lain. Ada Gabriel, Sandi dan Yunia yang selalu membicarakan jurusan. Ada Ibra dan Wawa yang selalu membicarakan radio karena Kakak Ibra juga Wawa adalah penyiar radio ternama di Bandung.

Aku menghafal hampir semua nama orang-orang di kelasku dari mendengarkan obrolan. Bukan hanya nama mereka, tapi juga nama mahasiswa kelas lain yang sering disebut dalam obrolan. Aku jadi tahu mahasiswa-mahasiswa papan atas yang berasal dari sekolah-sekolah ternama yang memilih FMIPA atas dasar rasa suka. Aku juga jadi tahu dosen-dosen mana yang murah nilai dan pelit nilai. Namun semua itu hanya dari mendengarkan, bukan terlibat langsung dalam pembicaraan.

Menguping pembicaraan orang lain itu buruk. Tapi, aku tidak bisa untuk tidak mendengarkan, lagipula aku hanya mendengarkan dan tidak pernah membocorkan hasil obrolan. Mendengarkan adalah satu-satunya kemampuan yang aku miliki. Kemampuan yang tidak memerlukan interaksi. Saat aku diam, aku hampir bisa mendengarkan perkataan setiap orang di sekelilingku dan aku tidak bisa membisukan suara-suara itu. Sering aku mencoba untuk menyibukkan diri dengan membaca buku pelajaran atau mengerjakan soal, tapi suara itu tetap masuk ke dalam telingaku. Aku mengenali cara bicara mereka, panjang pendeknya kata, naik turunnya nada, dan pilihan-pilihan kata yang membedakan setiap orang. Perlahan aku mengenali orang mana yang cepat marah, selalu tertawa, selalu serius, optimis dan pesimis.

Aku mengenali mereka meskipun mereka tidak mengenalku.

Bagiku, ini menyedihkan karena aku ingin terlibat dalam keasikan tersebut, aku ingin ikut tertawa dan bersorak atau curi-curi mengobrol saat dosen di depan kelas. Tapi itu hanya keinginan yang menjadi angan.

Tidak ada pertanyaan lanjutan dari — siapa namanya??

“Nama kamu siapa? Aku Disha.” Aku bertanya dengan pelan dan aku ulurkan tanganku.

“(…)en.” Jawabannya tidak jelas dengan posisi dagunya yang masih menumpang di atas tas. Tidak hanya itu, ia juga tidak membalas jabat tanganku melainkan menyatukan kedua telapak tangan di depannya, seperti saat punggawa atau rakyat menyembah Sang Raja. Aku tidak mengerti artinya, namun menyadari jabatanku tidak ia balas maka aku turunkan tanganku.

Siapa tadi namanya? Yen? Zen? Hen? Ben? Ken? Den?

Aku memperhatikan dosen sambil berusaha memutar rekaman ulang otakku, mungkin otakku mendengar yang tidak didengarkan oleh telingaku.

(…)en tidak menanyakan apapun lagi padaku. Saat jam kuliah selesai, ia langsung pergi tanpa pamit atau melakukan interaksi tambahan yang setidaknya mengindikasikan bahwa kami bisa berteman. Lambaian tanganku yang kaku juga tidak dia lihat sehingga segera aku kempit kedua tangan di antara kedua paha.

Mungkin berteman memang sulit bagiku.

Sejak saat itu aku menjadi ciut nyali. Aku memilih diam dan menunggu sampai ada yang menanyaiku. Tidak ada yang menanyaiku selain kadang meminjam pena, pensil, penghapus, penggaris, atau catatan. Hanya seperti itu, tidak ada lebih selain terima kasih.

Perlahan, keinginan untuk berteman tertimbun di antara banyaknya tugas. Pekerjaan kelompok juga aku jalani sebagai bentuk tugas semata, yang hanya mempertemukan kami di kampus selepas kuliah, bekerja lalu selesai.

Tari dan Alin selalu menjadi tempat pelarian dari semua jenuh akan kuliah yang memeras peluh.

Aku selalu tidak sabar untuk segera pulang ke asrama dan berkunjung ke kamar mereka lalu kami mengobrol (aku lebih sering mendengarkan, tapi aku sangat suka). Tari yang sangat menyukai drama Korea akan mengajak kami menonton drama di laptopnya atau Alin sang penyuka film horror, juga menawarkan hal yang sama.

Meskipun aku tidak sering terlibat dalam obrolan, aku senang karena aku merasa dilihat dan disadari keberadaannya.

“Besok nonton yuuukkk!!” Ajak Tari di suatu Minggu sore. Hari Sabtu kemarin kami isi dengan senam bersama di kampus dan hari Minggu dengan membersihkan asrama. Melanie dan Azka sudah pindah ke kosan baru mereka sehingga aku sendirian di kamar. Alhasil, kamarku menjadi gubuk ceria kami bertiga.

“Nonton Summer Scent lagi Tar? Apa film baru?” Tanyaku mengingat Tari sangat mengidolakan Song Seung-heon dan rela menonton film-film yang dibintanginya berkali-kali, Summer Scent salah sekiannya.

“Yeee ndaklaah!! Nonton bioskop kita!” Jawabnya sambil melempar bantal padaku dan kutangkap dengan sigap.

“Bioskop?” Ulangku. Aku pernah mendengar dan melihat bioskop di tivi, tapi tidak pernah sekalipun terlintas aku akan benar-benar menonton di bioskop.

“Eaaa Disha roaming lagi!!” Sambung Alin terbahak.

“Eh enak saja kamu Alin! Aku tau bioskop, tempat nonton film kan? Yang ada layar lebarnya? Aku pernah liat di tivi itu!” Aku lempar bantal ke arah Alin yang masih tertawa.

“Sekalian saja kamu bilang layar tancap indoor, Dish!” Sela Tari.

Kami bertiga terpingkal bersamaan. Aku memang yang paling kampungan di antara kami. Banyak hal tentang kota yang tidak aku pahami dan benar-benar baru bagiku. Bapak benar, ada warna baru disini, warna-warna yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Dari Alin dan Tari jugalah aku tidak hanya belajar bahasa dan logat baru, tapi juga belajar istilah baru, tempat baru, makanan baru dan budaya-budaya yang baru.

“Kenapa gak nunggu minggu depan saja Tar? Kan Sabtu depan gak ada senam lagi?” Tawarku.

“Nonton pas weekend itu mahaaal Dishaa! Kalo Senin ada nomat, tiketnya cuma 10ribu! Kalo weekend bisa 25ribu!” Jawab Tari.

“Nomat?”

“Nonton hemaat DISHAAA! Sumpah ih, maneh orang gunung pisan yeuh!” Alin melempar bantalnya dan tertawa lagi.

“Oooo aku kira kita mau tanam tomat!” Candaku.

Senin pun aku jalani dengan ceria meskipun Kimia jadi mata kuliah pertama jam tujuh pagi dan dilanjut dengan kuis kalkulus dan fisika. Senin tidak pernah menyenangkan. Di penghujung hari ada praktikum pemrograman yang tidak aku mengerti sama sekali dan amat sangat membosankan.

Tapi aku tahu nanti malam aku dan teman-temanku akan pergi nomat jadi aku hadapi semuanya dengan rasa senang.

Kami berangkat dari kampus, meskipun masih dengan wajah lusuh bekas dihajar mata kuliah yang mengucek kami hingga kusut, kami tetap bisa tertawa di sepanjang perjalanan.

“Kita mau nomat dimana Tari?” Tanyaku.
“Di BIP! Tau BIP gak Dish?” Jawab Alin dengan tawa.
“Aku teh tau BIP Teteh!” Jawabku menirukan logat dan bahasa Alin.
“Eeh salah! Bilang aja aku tau BIP TetehTeh itu gak cocok kalo dipake di konteks kalimat kamu tadi!” Terang Alin dan membuat aku juga Tari tertawa lagi.

Kami tiba di Bandung Indah Plaza dan segera membeli tiket. Pilihan Tari dan Alin jatuh pada I Am Legend yang dibintangi oleh Will Smith dan seekor anjing di posternya. Aku hanya menurut saja atas pilihan mereka berdua dan menyerahkan uang untuk membeli tiket.

Ini adalah pertama kalinya aku masuk ke dalam bioskop. Bioskop hanya pernah aku lihat beberapa kali saja di tivi saat ada latar film atau berita, itupun tidak detail, hanya menunjukkan barisan orang-orang yang sedang duduk dan sebuah layar berukuran raksasa.

Aku masih melihat layar tancap hingga SMA. Meskipun tidak sesering saat masih SD dulu, setidaknya beberapa kali dalam setahun selalu ada layar tancap yang digelar di lapangan sekolah. Belakangan film-film yang diputar hampir selalu film horror Suzanna atau silat Berry Prima yang diulang-ulang dari bulan ini ke bulan berikutnya. Mungkin sudah tidak ada lagi yang mau memproduksi kaset untuk layar tancap karena televisi sudah ada dimana-mana dan film-film saat ini sudah bermetamorfosis dengan budaya yang membaru.

Layar ini lebih besar dibanding layar tancap. Barisan kursi-kursi yang dilapisi beludru berwarna merah disusun seperti bangku kuliah yang semakin meninggi ke belakang. Ruangan berdinding gelap dengan langit-langit yang tinggi diterangi lampu berwarna kuning yang memberikan suasana adem, tenang dan nyaman.

Tangga dan lantainya dilapisi karpet tebal yang empuknya bisa aku rasakan dari balik sepatu.
“Dish! Kamu kenapa ketawa-ketawa sendiri? Kayak orang gila aja!” Alin menyikut lenganku.

Aku pasti tidak sadar dengan tawa yang terkembang begitu saja.

Kenyamanan ruang seperti ini belum pernah aku rasakan sebelumnya dan hatiku dipenuhi kegirangan sampai-sampai aku tidak menemukan jawaban untuk menjawab Alin.

Tari berjalan di depanku menaiki tangga-tangga dan mataku mengamati angka-angka berlampu di setiap barisan kursi hingga kami sampai di kursi kami. Kursi yang terasa sangat nyaman, tidak keras seperti kursi kampus, tidak juga seperti kursi di rumahku yang hanya terbuat dari kayu tanpa ada busanya. Bahkan kursi ini lebih empuk dibanding kasur di rumahku.

“Kamu belum pernah ke bioskop beneran, Disha?” Tari memutar duduknya menghadapku. Layar masih belum menyala meskipun satu persatu penonton mulai berdatangan.
“Belum.” Kujawab Tari tanpa melihatnya karena mataku mengamati layar dan kursi-kursi di sekeliling.
“Ih Disha biasa wae atuh! Jangan gitu-gitu amat duduknya. Norak pisan! Malu tau!” Alin menarik bahuku agar bersandar di kursi dan berhenti menunjukkan keterpukauan akan ruang bioskop. Tari tertawa dan aku juga menyusul dengan tawaku. Aku turuti Alin meskipun aku masih belum puas melihat sekeliling. Aku tidak ingin mempermalukan teman-temanku di hadapan orang lain.

Film dimulai. Jelas sekali ini jauh lebih bagus dibanding layar tancap. Warnanya lebih terang, gambarnya lebih jelas dan suaranya menggema dalam dada juga kepala. Detail gambar dengan detail warna sempurna dan tidak menyakitkan mata serta suara yang keras tapi tidak membuat telinga pengang.

“KASIAN DIA NGOMONG SAMA ORANG-ORANGAN!”
“Disha, ssuushhhh!!” Alin mencengkeram lenganku. Aku segera membungkam mulutku. Orang yang duduk disamping Tari melihatku dengan tatapan aneh sebelum melihat layar lagi.
“YAAAH ANJINGNYA MATI!”
“Disha!! Ssuussshhh!” Alin mencengkeram tanganku lagi dan Tari menatapku dengan terbelalak meskipun ada tawa tak percaya di bibirnya. Aku membekap mulutku lagi.

Aku berhasil diam hingga film berakhir. Rasa khawatir mulai menjalari hatiku, aku takut akan membuat Tari dan Alin marah atas ulah lancangku tadi.

Tari tiba-tiba melihatku dan tertawa setelah barisan nama-nama pemain muncul. Ia tertawa hingga matanya berair dan ia lepas kacamatanya lalu ia usap matanya. Setelah itu Tari masih tertawa.
“Disha, kamu polos sekali ya!” Katanya disela-sela tawanya yang mulai mereda.
“Iya saking polosnya bisa-bisa kita diusir dari bioskop!” Tambah Alin. Alin tidak tertawa melainkan berwajah kesal.
“Maaf, aku gak tau dan gak sengaja.” Ucapku pelan. Rasa ingin menangis mulai membuat mataku berbayang dan terasa panas.
Aku amati layar hitam yang menggulung tulisan-tulisan kecil berwarna putih ke atas.
“Sudah Disha tak apa, lucu aja ingat kamu kelepasan teriak begitu tadi! Tari gak nyangka kalo kamu akan se-spontan itu!” Tari menggenggam tanganku.
“Kalo di asrama gak apa-apa Dish teriak-teriak pas nonton, kalo di bioskop jangan sampe buat suara, bisa diamuk orang! Udah yuk makan, laper nih!” Ajak Alin dan langsung diiyakan oleh Tari.

Pulang dari bioskop aku langsung menelepon Bapak yang katanya sudah di rumah Pakde Rekso. Aku ceritakan tentang bioskop dan tentang film yang aku tonton dengan bersemangat.

“Wahyu ikut nonton juga Ndok?”

Oh, Wahyu…

Sudah lama aku tidak melihat Wahyu. Terakhir kali adalah di angkot saat itu, kurang lebih satu bulan yang lalu. Aku juga lupa tidak melihat papan pengumuman untuk tahu dia diterima di fakultas mana. Apakah dia diterima di fakultas teknik mesin seperti cita-citanya?

“Wahyu gak ikut, Pak. Aku pergi sama temen-temen perempuanku.” Jawabku.

Aku harus mampir papan pengumuman lagi besok untuk lihat nama Wahyu diterima di fakultas mana.

Pagi yang mendung. Kuliah pertama selalu dimulai pukul tujuh. Seperti biasa aku, Tari dan Alin dipisahkan ke arah gedung kuliah yang berbeda. Hujan mulai merintik saat aku menginjakkan kaki di gedung kuliah. Aku mengitari kantin untuk mencapai papan pengumuman yang terletak di sisi lain gedung.

Beberapa lembar nama sudah sobek, hilang dan ditutup oleh pengumuman yang lain. Aku mencari kelas Wahyu di antara lembaran yang tersisa.

Masih ada.

Aku telusuri mencari nama Wahyu Permana Hariadi. Aku temukan.

FMIPA.


Spasi

Spasi

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2017 Native Language: Indonesia
Kata orang, persahabatan yang sukses adalah saat aku dan kamu menjadi kita dan kita saling menjadi buku yang terbuka.Tapi tidak ada yang bercerita tentang apa isi dalam bukunya. Bagaimana jika buku itu berisi bahasa yang berbeda dalam aksara yang juga purba? Bahasa yang aku dan kamu tidak mengerti cara membacanya. Akankah kita bisa mencapai nirwana yang kamu sebut Valhalla? Mungkin tidak ada surga di ujung jalan kita karena surga itu mungkin ada disini. Namun kita saja yang tidak pernah mau melihat lebih dekat. Mungkin juga tidak ada neraka yang menunggu kita karena bisa jadi apa yang kita tinggali saat ini adalah neraka.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset