Spasi episode 5

-- 5 --

Tari mengenalkan aku pada binder.Binderku bersampul kuning dan berukuran A5 dengan 20 cincin penjepit kertas. Tari bertanya kenapa aku tidak memilih binder B5 seperti miliknya, aku bilang aku menyukai kertas yang berukuran kecil seperti buku tulis yang biasa aku gunakan. Aku juga ikuti apa yang Tari lakukan dengan bindernya yaitu menyelipkan data diri seperti nama, NIM, fakultas juga kampus, email dan nomer telepon di bagian dalam sampul agar kelak jika sampai hilang akan mudah dikembalikan oleh si penemu.

Aku merinding membayangkan kalau binder kesayanganku sampai hilang. Itu pasti akan jadi mimpi terburukku.

Aku suka menulis sejak SMP, terutama menulis puisi dan beberapa cerita pendek. Terinspirasi oleh puisi-puisi milik Chairul Anwar, Djoko Damono, Goenawan Muhamad, Or. Mandank, Sanusi Pane, Muhammad Yamin dan beberapa penulis puisi yang puisinya bisa ditemukan di buku-buku pelajaran atau koran. Aku tidak pernah membaca buku selain buku pelajaran karena tidak ada buku lain selain buku pelajaran dan koran yang sudah kadaluarsa beritanya di perpustakaan sekolah.

Aku menyukai bahasa puisi sejak SD. Bagiku, bahasa puisi seakan memiliki kekuatan sihir dari setiap kata yang disusun dalam irama. Setiap katanya seperti berdiri sendiri dengan ratusan arti yang bercabang lalu salah satu artinya menjalar, menggamit salah satu arti dari kata berikutnya.

Hingga satu buah bait membentuk satu belukar kecil. Salah satu sulur dari belukar kecil ini akan merengkuh batang di belukar kecil lainnya sehingga mereka menyatu membentuk hutan kecil. Begitu seterusnya.

Satu buah puisi bisa membentuk satu hutan belantara yang rimbanya bisa menyimpan rahasia apa saja.

Aku tidak bisa menulis puisi sendiri saat SD. Ketika SD, yang aku lakukan adalah menyalin puisi-puisi di buku pelajaran ke halaman belakangan buku catatanku, terutama catatan Bahasa Indonesia.

Saat SMP aku mulai mencoba menulis puisi, mencomot kata-kata dari puisi yang pernah aku baca dan menggabungkannya dengan arti yang aku sendiri masih meraba. Saat SMA ada KBBI di perpustakaan yang sering aku gunakan untuk mencari arti dari kata-kata dalam bait puisi.

Lama-kelamaan, kesukaan ini menjadi bahasa yang mulai membahasakan diam yang sebelumnya selalu sulit untuk aku terka maksudnya.

Aku mulai belajar meletakkan rasa kebas dalam alas yang aku ciptakan.

Aku tidak punya buku harian karena aku justru tidak bisa menulis saat memiliki buku khusus. Aku justru suka pada lomba yang dibuat oleh catatan sekolah dari halaman depan vs puisi dari halaman belakang. Terkadang aku tertawa sendiri saat melihat mereka berebut beberapa lembar terakhir di bagian tengah. Catatan sekolah selalu menang, ia selalu berhasil melewati setidaknya lima hingga sepuluh halaman tengah.

Binder seperti dunia baru bagiku yang lahannya masih kosong dan bisa aku tumbuhi belantara tanpa batas. Tidak perlu aku khawatirkan akan retas batas karena aku bisa menambah lahan baru di antara batas yang menipis. Kali ini aku tidak berlomba siapa yang akan mencapai bagian tengah buku lebih dulu, aku membuat kompetisi baru dengan warna kertas yang berbeda. Kertas putih untuk catatan kuliah dan kertas coklat untuk puisi.

Aku menyukai suara yang dibuat oleh gesekan kertas dan cincinnya saat dibuka. Kertas bergaris berwarna coklat teduh yang licin dan terbuka rata dengan cincin di bagian tengah halaman menciptakan ketenangan tersendiri sebelum aku menciptakan belantaraku.

Sejak kuliah, hampir semua puisi itu tentang Wahyu, tentang kesepian, tentang kesendirian, dan tentang kehilangan tujuan. Barisan bait-bait yang kelam dan menyedihkan. Hutan-hutan yang rimbanya tidak tertembus srengenge (matahari).

Ditambah mengetahui Wahyu ternyata satu fakultas denganku membuat aku membuka halaman coklat dan melarikan penaku sesukanya lagi pagi ini.

Aku hanya bisa melihat wajah dosen dengan gerak bibirnya sesekali tapi tak bisa aku dengarkan suaranya. Suara Faya, Deva, Ibra dan yang lainnya juga tidak terdengar meskipun bibir mereka bergerak-gerak lebih jelas. Mereka seperti Amoeba dalam lingkungannya, bergerak tanpa suara. Sejenak, aku bisa berhenti mendengarkan dan melihat setiap lekuk garis hitam yang mulai menyusun elegi pagi.

Jam berikutnya aku berjalan cepat ke Lab Kimia untuk melaksanakan praktikum. Praktikum yang dilaksanakan di tingkat pertama selalu digabung antar kelas, tapi jelas aku tidak satu jadwal dengan Wahyu karena aku tidak pernah melihatnya di lab. Aku berjalan sambil membaca modul praktikum percobaan hari ini.

“Disha!”

Wahyu sudah berjalan menyusul langkahku dari belakang.

Duh…

“Mau ikut kumpul minggu depan gak Dish?” Tanyanya. Wahyu berjalan di sampingku meskipun sangat kelihatan menjaga jarak sejauh mungkin.

“Kumpul?”

“Kumpul anak-anak daerah kita di Cibiru, masa gak tau?”

Pertanyaan itu lebih terdengar seperti ejekan. Aku memang tidak tahu.

Bagaimana mungkin tidak ada yang mengabariku tentang ini padahal aku sudah memberikan nomerku pada Sari, koordinator anak daerah kami?

“Gak tau. Kamu ikut?”

“WAHYU!!”

Belum sempat Wahyu menjawab pertanyaanku, ada suara panggilan seorang gadis dari arah belakang kami. Aku dan Wahyu menoleh bersamaan.

“Tungguin dong! Kelas kita dimana sih?” Gadis itu menyejajarkan langkahnya di samping Wahyu.

“Di Labtek. Oiya lo udah selesai tugas yang kemaren belum?” Tanya Wahyu dengan nada lebih bersemangat.

Wahyu? Oh, Wahyu sudah merubah cara bicaranya dengan lo-gue layaknya mayoritas mahasiswa disini.

“Beluuum! Lo udah?” Jawab Gadis itu dengan unyu.

“Satu nomer lagi sih, yang nomer lima!”

“Gue pinjeeeem dooong! Pliiisss Wahyuuu Plissss!” Gadis itu merajuk sambil memegang lengan Wahyu.

“Yaudah yuk buruan ke kelas!” Ajak Wahyu. Mereka berdua berjalan lebih cepat dariku.

“Oiya Dish! Gue dateng!” Tambahnya sebelum berbelok ke arah Labtek.

Entah mengapa aku masih belum bisa melepaskan Wahyu, padahal sudah jelas Wahyu tampak tidak peduli padaku lagi.

Aku langsung menelepon Sari setelah praktikum berakhir. Nada sambung Dan milik Sheila on 7 mengalun cempreng di telingaku.

Caci maki saja diriku
Bila itu bisa membuatmu
Kembali bersinar
Dan berpijar seperti dulu kala
Whoa oh…
Whoa oh…

Whoa…
Lupakanlah saj….

“Halo?” Jawab Sari di seberang.
“Halo Sar, ini aku Disha!”
“Oiyo, ono opo Dish?”
“Minggu depan mau kumpul ya?”
“Iya Dish, udah tak jarkom toh?”
“Belum Sar, aku gak dapet jarkommu!”
“Loh mosok?? Sek sek, tak ceknya dulu!”

Terdengar bunyi tut-tut-tut-tut tanda Sari sedang memencet-mencet hapenya.

“Nomermu 0852273414 kan Dish?”
“4154 Sari! 08522734154!”
“Loh? Owalaaahhh aku salah ngetik nomer Dishaaa! Amit Dishaa! Tapi bisa ikut kan?”

Aku diam sejenak. Mataku tertuju pada sebuah poster yang tertempel di papan pengumuman lab kimia, Say No To Drugs. Rasa ragu untuk datang ke pertemuan semakin besar. Bisa jadi jawaban Wahyu bahwa ia akan datang tadi adalah penegasan agar aku tidak usah datang.

“Gak tau Sar, aku gak janji.”

Pada akhirnya aku tidak datang ke pertemuan pertama anak daerahku dan Wahyu juga tidak menanyakan perihal ketidakhadiranku. Aku tidak memedulikan tamu penting (Pak Bupati daerah kami) yang datang di pertemuan, aku lebih memilih untuk tidak bertemu dengan Wahyu sama sekali.

Bapak dan Bulek Lastri meneleponku beberapa hari setelah pertemuan karena menerima kabar dari Pak Camat bahwa aku tidak datang di pertemuan penting tersebut. Aku menutupi ke-pengecut-anku dengan kebohongan, lalu kebohongan, dan masih menutupi putusnya hubunganku dengan Wahyu dengan kebohongan lagi. Aku sudah lupa sejauh apa aku terus berbohong pada Bapak dan Bulek Lastri, tapi perasaan ini semakin merasa bersalah dan cacat oleh dosa.

Menjelang ujian tengah semester, Alin pindah dari asrama. Orang tuanya datang dari Garut dan mencarikan ia kosan karena kebetulan Kakak Alin pindah kerja dari Garut ke Bandung sehingga mereka bisa tinggal bersama-sama. Kosan Alin terletak jauh dari asrama juga kampus, namun Alin mendapat motor baru sehingga ia tidak perlu naik angkot lagi.

Kini hanya aku dan Tari yang mengisi malam-malam kami. Aku diijinkan pindah ke kamar Tari oleh Ibu Dali karena di kamarku aku juga sendirian. Malam tak lagi sama meskipun tetap kami isi dengan menonton drama Korea.

“Tari baru putus sama pacar Tari.” Celetuk Tari saat kami selesai menonton tiga episode My Girl.
“Kapan Tari??” Tanyaku kaget.
“Dua hari lalu.” Tari mengambil hapenya dan menunjukkan foto dirinya bersama seorang pria berkulit putih dan berwajah tampan.
“Ini pacar kamu?”
“Iya, namanya Abay. Dia kuliah di Jakarta, dua tahun di atas Tari.”
Wajah Tari tampak sedih menatap foto di layar hapenya.
“Aku kira kamu beneran gak punya pacar.”

Tari memang tidak pernah cerita tentang urusan pribadinya, tidak juga aku. Alin justru yang selalu bercerita tentang mantan kekasihnya yang kuliah di kampus tetangga. Aku dan Tari memilih menjawab dengan canda sehingga kami saling percaya bahwa kami berdua sama-sama tidak punya pacar.

Tari menghela nafasnya.

“Tari dan Abay sering marahan sejak Tari diterima disini. Tari tak mau cerita-cerita karena Tari sudah yakin tak lama lagi akan putus dengan Abay. Ternyata butuh hampir setahun untuk benar-benar putus.”

“Kenapa kalian putus?”

“Abay tak mau jauh-jauh ke Bandung dan Tari juga tak bisa sering-sering ke Jakarta. Mau menginap dimana Tari kalau ke Jakarta, bisa dimarah Mama kalau sampai Mama tau.”

Aku memeluk bantal dan memperhatikan wajah Tari. Sedih semakin jelas di wajah cantiknya.

“Tarik ulurlah hubungan kami, sudah tiga tahun lebih sejak Tari masih kelas satu SMA dan Abay kelas tiga SMA. Abay minta Tari lanjutkan di kampus Abay tapi Tari terpilih beasiswa Pemda di kampus ini. Sempat galau saat itu, tapi Mama Papa Tari bantu Tari putuskan. Belum tentu Tari bisa masuk ke kampusnya Abay lewat UMPTN, kalau tidak masuk lebih repot lagi kan. Jadilah Tari memilih yang sudah pasti saja.”

“Mama Papa kamu tau tentang Abay?”

“Mama tau, Papa tidak. Papa tak suka Tari pacaran. Papa Tari Arab, Disha. Mau Papa, Tari taaruf saja dengan anak teman Papa. Tapi Tari tak suka yang begitu, Tari ingin pria Indonesia saja dan berpacaranlah ala anak muda.”

“Mama kamu tau kalo kalian putus?”

“Mama sudah tebak kami akan putus saat Tari kuliah di Bandung.”

Tari mengambil botol minum di tasnya dan menghabiskan isinya.

“Kamu sedih, Tari?”

Tari tertawa meskipun ia tampak tidak ingin tertawa.

“Pastilah! Tapi kalau jodoh tak akan kemana! Biar Abay juga tenang kuliahnya, tak sibuk berantem sama Tari terus!”

Aku mengelus lengan Tari seperti yang biasa ia lakukan padaku saat aku sedih.

“Terima kasih Disha. Tari jadi lega cerita ini ke kamu. Sudah lama Tari tak pernah curhat.”

Aku mengangguk dan tak menjawab apapun sebelum pamit ke dapur sebentar untuk mengisikan air minum untuknya. Tari pamit tidur cepat malam ini dan aku mengulang membaca materi kuliah sebelum menyusul Tari tidur.

Suara isak tangis mengejutkan aku yang rasanya baru terlelap beberapa menit yang lalu. Lampu kamar selalu dimatikan saat tidur, namun jendela yang menghadap lampu jalan depan asrama selalu memberi terang melalui gorden jendela. Jam dinding bisa terlihat dalam remang ini, 2:15. Aku tertidur sekitar jam sebelas tadi.

Aku pusatkan pendengaranku dan isak itu berasal dari tempat tidur Tari. Kenny, teman satu kamar kami sedang menginap di kamar salah satu Kakak Tingkat di lantai dua sehingga hanya ada aku dan Tari. Dalam remang aku juga bisa melihat tubuh Tari berguncang di balik selimutnya.

Aku duduk di kasurku.

Apakah Tari mimpi? Atau Tari ingat Abay?

Aku mengikuti ketukan jam untuk menunggu melakukan sesuatu. Isak Tari makin kencang.

“Tari?”

Sesaat ia menahan isaknya.

“Tari bangunkan Disha?”

Tari tidak mengigau atau bermimpi. Suaranya parau dan bindeng. Tari memang terjaga dan tangisnya nyata.

“Kamu ingat Abay?”

Aku pindah ke kasur Tari dan duduk di ujung kakinya. Tari bangun dan mengusap air matanya. Masih dalam remang aku bisa melihat kilatan air mata dan ingus yang sudah membasahi wajahnya.

“Iya, Tari ingat Abay.”

Reflekku untuk memeluknya datang tanpa alasan. Tari mencengkeram erat bahuku dan menangis kencang selama beberapa menit kemudian. Aku tidak mengatakan apa-apa selain memeluknya hingga tangisnya mereda.

Aku ambilkan botol yang sudah aku isi. Tari minum lebih dari setengah isinya dan kembali tidur tanpa berkata apa-apa lagi.

Aku tertidur dan terjaga sepanjang sisa malam. Hatiku dipenuhi ketidakpastian antara senang dan sedih. Aku sedih karena Tari sedang bersedih dan aku senang karena Tari bercerita tentang kesedihannya padaku. Aku bangun berkali-kali untuk melihat Tari di tempat tidurnya, memastikan ia tidak bangun dan menangis lagi.

“Kamu bangun pagi sekali Disha?” Sapa Tari saat melihat aku sudah mandi dan sedang menulis di depan meja belajar. Wajah Tari sembab dan kedua matanya bengkak.

“Iya. Ada kuis Kalkulus hari ini. Oya ini aku belikan sarapan untuk kamu. Nasi uduk kesukaan kita jualan lagi hari ini. Bosan kan makan lontong sayur terus haha.” Aku bawakan piring dan nasi uduk ke kasur Tari. Tari menyelipkan rambutnya ke balik telinga.

“Aduh Tari malu sudah nangis depan kamu. Maaf ya ganggu tidur Disha semalam.”

“Tidak apa-apa Tari.”

Tangis Tari malam tadi membuat aku kepikiran. Rasa sedihnya mampu menembus palung terdalam hatiku. Aku membayangkan bagaimana seandainya Tari tidur sendirian dan ia menangis di tengah malam tanpa ada yang menemani? Seharian ini aku terus berpikir tentang Tari. Sekilas aku melihat Wahyu yang sedang berjalan dari kantin belakang bersama rombongan teman-temannya (gadis yang kemarin salah satunya), namun Wahyu sekalipun tidak bisa mengalihkan pikiranku tentang Tari.

Hari ini dosen Fisika tidak datang sehingga aku selesai sebelum pukul empat. Aku mampir ke supermarket sebelum pulang ke asrama untuk membeli beberapa kebutuhan. Saat sedang berkeliling, aku melihat sebuah gantungan kunci huruf T latin yang terukir sangat cantik dan berwarna pink pucat.

Lalu teringat Tari, akupun mengambil gantungan kunci yang menjadi inisial nama Tari tersebut. Saat mengantri kasir, mataku terpesona lagi oleh kue-kue hias dalam etalase. Tercetus ide untuk membantu Tari merasa lebih baik, akupun memilih sepotong kue blackforest dengan satu buah cherry di atasnya.

Aku letakkan kue di atas piring berdampingan dengan gantungan kunci di atas meja kecil yang biasa Tari gunakan untuk meletakkan laptopnya di atas kasur saat kami menonton drama korea.

Aku mulai gugup dengan duduk lalu mondar-mandir di dalam kamar. Tari akan pulang jam lima, begitu katanya di SMS tadi, masih setengah jam lagi. Rendaman cucian di kamar mandi menyapa otakku sehingga kupilih menunggu sambil mencuci baju.

“DISHAAAAA!!” Teriakan Tari menggema di ruang kamar mandi mengalahkan kucuran air kran.
“YAA?” Jawabku.
“DISHAA ITU PASTI DARI KAMU YAA??” Tari menghampiri kamar mandi tempat aku mencuci. Aku menyelesaikan perasan terakhir dan menyambut pelukan Tari.
“Semogalah Uni suka hadiahnya dan jadi senanglah hati Uni makan kuenya!” Harapku sambil menirukan logatnya. Tari tertawa dan memelukku erat.

Tari membagi kuenya denganku dan kami makan sambil bercerita tentang kuliah.

Sejak saat itu, Tari tidak pernah membahas Abay lagi. Tari juga tidak pernah menangis lagi saat malam. Tari juga tidak pernah tampak sedih lagi. Karena aku atau bukan, tapi senyum dan tawa di wajah Tari adalah apa yang aku mau dan selalu ingin aku lihat setiap hari.

Aku tidak pernah menceritakan Wahyu pada Tari karena aku memang tidak ingat Wahyu saat bersama Tari (juga Alin saat di kampus).

Tidak terasa perjalanan kami sudah sampai di penghujung semester kedua. Kami akan memilih program studi dan hasil ujian akan dijadikan penentu karena di dalam FMIPA sendiri prodi-prodinya memiliki passing grade yang berbeda. Kami memilih prodi sebelum ujian dan aku klik Fisika di urutan pertama lewat komputer warnet. Fisika adalah program studi dengan passing grade tertinggi di fakultas. Alasan aku memilih Fisika di urutan pertama karena aku tidak yakin dengan semua pilihan yang tersedia. Biologi sudah kukubur dalam-dalam, Tari bilang aku harus selalu siap menyambut hari baru, tidak boleh patah semangat.

Kita hanya bisa berencana, Allah yang memutuskan, Disha.
Dan semoga Allah tidak memutuskan aku dan Wahyu bertemu di Fisika.

Kampus lebih tampak sibuk namun suram di pekan-pekan ujian. Sudut-sudut dan pelataran bangunan dipenuhi oleh mahasiswa yang duduk berkelompok sambil membuka buku. Jarang terdengar canda tawa, yang tersisa adalah pembahasan soal dan ocehan-ocehan materi kuliah. Kampus menjadi jauh lebih membosankan saat ini.

Asrama juga menjadi lebih sepi. Semua mahasiswa disibukkan belajar di meja masing-masing. Aku, Tari dan Alin selalu belajar bersama di asrama, tidak ada drama Korea dari Tari apalagi film horor koleksi Alin. Kami pusatkan seluruh tenaga untuk mencapai yang terbaik di akhir semester dua ini.

Ujian demi ujian terlalui. Kali ini aku lebih sedikit yakin dengan apa yang aku pelajari. Meskipun tidak dengan keyakinan 100% dalam mengerjakan ujian, setidaknya aku mengerti lebih dari setengah dari soal-soal yang diujikan.

Aku sudah menabung untuk pulang ke desa liburan semester genap ini karena liburan semester lalu aku tidak pulang. Aku juga bisa menyisihkan sedikit untuk membelikan hape Bapak meskipun hanya hape yang difituri telepon dan SMS agar Bapak tidak perlu ngonthel jauh-jauh ke rumah Pak Lurah. Aku tidak memikirkan lagi bagaimana dengan Wahyu karena aku sangat merindukan Bapak dan ingin menceritakan pengalamanku selama hampir satu setengah tahun di kota Bandung. Nilai dan penjurusan masih akan diumumkan beberapa minggu ke depan, kira-kira saat aku masih di desa nanti.

Tari dan Alin mengantarkan aku ke terminal.

“Tari tak pulang Disha. Mama Papa Tari yang akan kesini jenguk Tari. Cepat pulang ya Disha!” kata Tari.
“Yeey nanti kalo maneh udah kesini kita udah jadi mahasiswa beneran! Cepet kesini lagi ya Dish! Kami pasti kangen sama ke-kampungan-maneh haha! Salam buat Bapak maneh yeuh!” kata Alin.

Bergantian, kami saling berpelukan dan melambaikan tangan saat bis yang mengantarku melaju.

Bapak menjemputku di terminal Pasirian. Wajahnya tampak lebih tua setelah satu tahun lebih tak sua. Namun tawa lebarnya yang selalu lepas dan tulus tak pernah berubah. Lelahku seketika sirna dan aku bercerita tiada henti di sepanjang perjalanan ke rumah.

“Wahyu nelepon Ibunya katanya dia gak pulang yo Ndok. Sibuk sama kegiatan mahasiswa katanya. Kamu gak ikut opo?”

“Enggak Pak. Aku gak ikut kegiatan apa-apa di kampus.”

“Bapak sama Lek Ponaji (Bapak Wahyu) sudah saling nembung, gimana kalo kamu sama Wahyu ditunangkan saja. Diikat cincin begitu biar lebih sah dan jelas hubungannya. Kalian kan tinggal jauh dari orang tua, gak ada yang nuturi (nasehati) tiap malam, gak ada yang bisa bantu jaga, jadi biar saling menjaga tunangan saja gimana?”

Disha, kebohongan yang kalian tanam kini menuai buahnya….


Spasi

Spasi

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2017 Native Language: Indonesia
Kata orang, persahabatan yang sukses adalah saat aku dan kamu menjadi kita dan kita saling menjadi buku yang terbuka.Tapi tidak ada yang bercerita tentang apa isi dalam bukunya. Bagaimana jika buku itu berisi bahasa yang berbeda dalam aksara yang juga purba? Bahasa yang aku dan kamu tidak mengerti cara membacanya. Akankah kita bisa mencapai nirwana yang kamu sebut Valhalla? Mungkin tidak ada surga di ujung jalan kita karena surga itu mungkin ada disini. Namun kita saja yang tidak pernah mau melihat lebih dekat. Mungkin juga tidak ada neraka yang menunggu kita karena bisa jadi apa yang kita tinggali saat ini adalah neraka.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset