Spasi episode 6

-- 6 --

Dusta dicipta.
Dura dirasa.
Lara berkuasa.
Terperangkap gagap.
Kalap.

Senyap.

 

{Ely. Elysium. 8}“Nunggu aku selesai kuliah aja ya Pak. Kalo sekarang tunangan aku malah gak tenang. Temen-temenku gak ada yang tunangan gitu kayaknya, nanti malah jadi grogi.”

Jawaban itu terlantun seperti beban seberat lima puluh kilo yang dililit di kaki tahanan. Langkahku semakin berat.

Bapak dan keluarga Wahyu, kedua belah pihak orang tua yang tuhu dan lugu, hanya iya-iya saja pada kebohonganku. Mungkin juga pada kebohongan Wahyu.

Mungkin aku adalah lakon yang handal.

Aku biarkan hatiku dipasung bahkan terpancung.
Aku biarkan harga diriku digadai hingga terbantai.

Untuk alasan yang tak bisa aku mengerti lagi karena mau Bapak adalah sabda.

Aku tidak mengerti mengapa aku masih berusaha menutupi jalanan berbatu nan cadas dengan lapisan rumput hijau dengan bunga di sisi. Kenapa pula aku harus tetap merangkai bunga padahal batang, daun dan mahkotanya sudah menjadi abu.

Tak banyak teman yang tersisa di desa. Banyak yang melanjutkan kuliah ke kota atau pergi merantau. Satu dua sudah menikah dan mengurus sawah atau ladang. Aku mengisi liburan dengan kegiatan lamaku, bangun pagi-pagi, memasak bekal, dan pergi meladang hingga sore hari.

“DISHA!”

Aku berhenti koret rumput dan menengok ke arah suara yang memanggilku. Saka, pria yang dicemburu buta-i oleh Wahyu, berdiri di galangan sawah. Saka masih mengenakan seragam prajanya yang berwarna coklat.

“Eh Saka, apa kabar?” Aku segera mencuci tangan di grojogan air yang mengalir dekat ladang. Lalu aku lapkan tangan basah ke bajuku dan menyalaminya. Jabatan tangan Saka sangat mantab dan tegap.
“Baik, Dish. Aku baru pulang, tadi ketemu Bapakmu dan bilang kalo kamu juga disini. Langsung aja kesini. Kamu apa kabar?”
“Aku juga baik, Ka. Gimana sekolahmu?”
“Ya gitu Dish. Kalo kamu pasti lancar banget ya!”

Saka duduk di tunggak pohon sengon yang melintang.

“Enggak juga Ka. Kuliah itu susah ternyata, gak seindah SMA.” Aku menyusul Saka duduk.

“Wahyu gak pulang, Dish?” Saka melihat ke pematang sawah di kejauhan.

“Enggak Ka, dia sibuk.”

“Aku tau kok Dish kalo kamu putus sama Wahyu gara-gara aku.”

Aku meremas ujung bajuku dan menatap gemericik air yang membentuk air terjun mini.

“Wahyu nelepon aku waktu kalian udah di Bandung.”

“Dia bilang apa, Ka?”

“Gak usah dibahas apa yang dibilang Wahyu ya Dish. Intinya aku minta maaf udah buat hubungan kalian berantakan.”

Kami menarik nafas hampir bersamaan.

“Bukan salahmu kok Ka. Salahku yang gak bisa lebih hati-hati padahal aku tau kalo Wahyu itu cemburuan.”

Angin bertiup pelan dan membawa dingin, artinya kabut sudah mulai turun.

“Bapakmu belum tau Dish?”

Aku menggeleng.

“Ada yang bisa aku bantu Dish? Pasti berat buat kamu ngadepin Bapakmu dan keluarganya Wahyu sendirian.”

Aku bisa mendengarkan tawaku sendiri yang terkesan bodoh dan menyedihkan. Aku tidak tahu bagaimana cara memberi tahu Bapak, namun harapan Bapak dan orang tua Wahyu yang setinggi Semeru juga semu.

“Kalo kamu bantuin aku bukannya malah bakal jadi rame toh Ka. Aku dan Wahyu berakhir dengan salah paham, biar kami aja yang tanggung jawab kalo ada apa-apa.” Putusku. Matahari yang mulai turun di puncak Semeru disadari juga oleh Saka. Ia berdiri lalu meraih tasnya yang berbentuk seperti koper.

“Aku pulang duluan ya, Dish.”

Tubuh ramping dan tegap praja muda itu berjalan menjauh di pematang sawah. Saka adalah sosok yang tak banyak bicara, namun kali ini ia tampak lebih diam lagi dan tak ada senyum tergambar di wajahnya sedikitpun.

Aku juga ingin menghentikan semua sandiwara ini, tapi bagaimana caranya?

Aku selalu bertelepon dengan Tari dan Alin beberapa kali seminggu. Kami bertukar kabar juga cerita tentang liburan. Hingga setelah lebih dari dua minggu aku berada di rumah, Tari mengabariku bahwa pengumuman penjurusan prodi sudah keluar.

Aku menggoes sepedaku dengan cepat untuk mencapai warnet yang terletak di dekat pasar Candi. Aku buka website kampus dan memasukkan NIM ke dalam kotak masuk.

FISIKA! Aku diterima di pilihan pertamaku!
Aku buka transkip nilai yang juga sudah keluar, IPK 2.97.
Memang sedikit sekali yang A dan banyak sekali yang C, namun aku bersyukur tidak ada mata kuliah yang perlu aku ulang.

Satu hari setelah pengumuman, aku menerima SMS dari himpunan mahasiswa Fisika akan ajakan untuk bergabung dengan himpunan. Jika aku bersedia, maka aku harus mengikuti proses ospek himpunan yang akan dilaksanakan mulai minggu depan, terhitung empat hari setelah hari ini.

Aku tidak pernah mengikuti kegiatan kemahasiswaan sejak kuliah. Alasanku adalah aku takut nilaiku akan semakin anjlok dengan kesibukan selain kuliah. Tari mengikuti perkumpulan mahasiswa Minang dan Alin juga mengikuti Kesenian Sunda, hanya aku yang menganggur selama setahun penuh.

Mungkin aku perlu ikut himpunan agar punya teman baru di jurusanku nanti.

Tanpa pamit ke Bulek Lastri, aku kembali ke Bandung diantar Bapak sampai terminal. Aku sengaja tidak memberitahu Bapak tentang diterimanya aku di Fisika karena aku tidak ingin Bapak menanyakan tentang Wahyu sehingga aku harus berkelit lagi dengan lidah yang makin pandai pelintir cerita.

Aku sedang tidur saat hapeku berdering keras. Hari sudah pagi namun para penumpang masih tertidur. Aku tidak punya ide perjalanan sudah sampai mana karena kanan kiri jalan dipenuhi pepohonan. Leherku terasa sangat kaku akibat tidur terlalu lama dalam satu posisi. Lagu campursari Manthos mengalun pelan dari speaker bis.

“Halo, Pak?”
“Ini Bulek Lastri, Ndok! Kok kamu gak pamitan ke rumah kalo mau pulang ke Bandung? Kan Bulek bisa masak buat bekel di jalan!”
“Gak apa-apa Bulek. Aku juga lagi buru-buru kemarin.”
“Wahyu telepon semalem katanya dia diterima di Fisika, Ndok! Kamu diterima di jurusan opo?”

Duh Gusti!

“Aku belum liat punyaku Bulek, makanya ini mau ke Bandung.” Jawabku bohong (lagi).

Aku tiba di Bandung dengan lesu (lagi). Aku sempatkan melihat daftar mahasiswa baru Fisika yang mengikuti program penerimaan himpunan dan nama Wahyu ada disana.

Aku tidak jadi masuk himpunan.

Sekali lagi aku kalah dengan rasa takutku.
Bahkan aku ingin memasang label di keningku bertuliskan Disha Pengecut.

Tari juga kembali lagi ke asrama setelah menginap di penginapan bersama orang tuanya. Tari juga disibukkan dengan kegiatan penerimaan himpunan miliknya. Apalagi Alin yang masuk ke dalam Teknik Tambang, katanya sudah wajib untuk menjadi bagian keluarga besar mereka dengan bangga.

Aku hampir tidak bisa menjawab pertanyaan Tari tentang kenapa aku memilih tidak bergabung dengan himpunan dan akhirnya aku selalu menjawab dengan kebohongan baru bahwa aku tidak berminat. Alasan yang membuat Tari mengerutkan alisnya dan membujukku untuk tetap ikut agar kelak aku tidak terkucilkan. Tapi tetap saja aku tolak dengan dalih yang aku rangkai diantara hati yang tertatih.

Semester baru dengan jurusan baru, ditambah Wahyu membuat aku ngeri akan menjadi seperti apa aku kelak? Selama ini aku berteman dengan Tari dan Alin yang mampu membuatku lupa sama sekali pada sosok Wahyu, lalu bagaimana saat aku di Fisika nanti? Karena bisa jadi aku dan Wahyu akan selalu satu kelas dan bertemu setiap hari.

Aku meringkuk di bawah selimut. Jendela yang terbuka mendesirkan angin dingin ke dalam kamar. Sesaat aku teringat pada bocah-bocah di lapangan yang sedang bermain layangan dulu, bulan ini adalah bulan bagus untuk bermain layangan, semoga mereka sudah tahu sekarang.

Aku seperti layangan, dengan tali adalah ketakutan dan si pemegang benang adalah–tidak tahu siapa.

Aku ingin putus, tapi kalau aku sampai terputus, bisa jadi aku akan hilang selamanya. Mungkin begini saja lebih baik. Tidak melakukan apa-apa mungkin akan membuatku tetap aman. Kata Tari kita bisa memilih meskipun Allah yang putuskan, aku memilih untuk tidak melakukan apa-apa, terserah Allah jika membelokkan aku ke rencanaNya.

Halaman coklat binderku semakin tebal seiring nganggurku. Aku menimbang untuk melepas catatan kuliah tingkat satu dengan halaman-halaman kosong, namun aku batalkan. Aku menyukai tebalnya binder ini. Ketebalan yang menceritakan sejarah. Perjalanan yang aku rintis dari meja ke meja, ruang ke ruang, gedung ke gedung, dari hari ke hari selama satu tahun. Bukan hanya tentang isi papan tulis hijau, tapi juga tentang rasa yang aku ukir selama menjadi musafir dalam padang ilmu ini.

“Tari sudah dicarikan kosan sama Mama, Disha.” Kabar Tari sambil memijat kakinya yang membiru akibat terbentur batu saat melakukan ospek. Kali ini giliran hatiku yang terbentur oleh kabar yang ia bawa.
“Dimana?”
“Dago Asri. Masih ada satu kamar kosong lagi kalau kamu mau ikut.”

Aku ingin ikut Tari kemanapun Tari pergi agar tetap bisa terus dekat dengannya, tapi Dago Asri…
Uang beasiswaku tidak akan cukup untuk membiayai uang kosnya saja.

“Kamu gak ingin ngekos di tempat yang murah aja Tari? Biar kita bisa barengan.”

“Tari juga inginnya begitu, tapi Mama dan Papa Tari tidak ijinkan. Mereka ingin Tari kos di tempat yang mereka pilihkan Disha. Maafkan Tari.”

Ini adalah keadaan yang tidak bisa aku kendalikan.

Tidak ada keadaan yang bisa aku kendalikan.

Aku bantu Tari pindahan ke kosan barunya di sebuah rumah mewah yang dijadikan kosan. Kamar Tari pun lebih besar dari ruang asrama kami, dengan kamar mandi di dalam kamar sehingga tidak perlu meminta ditemani saat butuh malam-malam. Dapurnya juga bagus dan ada pembantu yang membersihkan rumah sehingga tak perlu jadwal piket. Tari bisa belajar dengan tenang tanpa ada teriakan dari Kakak Tingkat atas panci yang lupa dicuci setelah masak mi.

Aku masih memilih tinggal di asrama karena biaya bulanannya yang terjangkau, juga aku tidak tahu harus mencari kos dimana.

Aku dipindahkan ke lantai dua bersama dua orang kakak tingkat yang jarang sekali di asrama kecuali untuk tidur malam. Mereka pergi pagi-pagi sekali dan katanya sering menginap di himpunan atau kosan teman.

Mungkin kalau aku…ah sudahlah.

Aku tidak pernah pergi jauh-jauh dari kampus dan asrama karena aku tidak mengetahui banyak tempat. Bersama Alin dan Tari, kami lebih sering pergi ke mal atau tempat makan. Saat ini Alin dan Tari selalu sibuk juga saat aku ajak pergi bermain. Aku juga tidak ingin pergi sendiri.

Aku terbiasa berjalan di jalanan kampus sendirian, biasanya aku tidak merasa berat hati karena ada Tari dan Alin yang akan aku jumpai di asrama, berbagi cerita sebelum tidur dan membuka hari-hari dengan tawa.

Namun kali ini aku seperti melewati jalanan yang benar-benar sepi. Tak ada yang akan aku temui di asrama. Tak ada yang akan aku ajak berbagi cerita. Tak ada siapa-siapa.

Bandung kembali mengulang siklus hujannya. Hampir setiap hari hujan selalu turun. Aku menyukai rintik hujan di desa karena aku bisa melihat Semeru dengan jelas di bawah gerimis. Saat hujan menderas, aku bisa mendengar grojogan bersuara makin keras seakan berlomba sampaikan pesan cinta dari hulu pada muara.

Kisah cinta hulu dan muara,
Bicara rindu dalam gemericik tirta
karena raga takkan pernah sua.

Aku sedang berteduh di pelataran fakultas saat melihatnya untuk kali pertama. Hujan yang mengguyur sejak subuh hingga jam dua siang ini tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti dari rintiknya yang rapat dan deras.

Dia mengenakan kaos putih dengan gambar huruf V besar berwarna hitam di bagian belakang. Kedua lengan pendeknya masih ia gulung hingga hampir mencapai bahu. Bawahan celana Levi’s dengan sobekan di lutut kanan dan ikatan bandana hitam di lutut kiri sudah memudar warna birunya.

Ia tidak mengenakan sepatu atau sandal saat berdiri bersandar ke tiang batu. Baru aku sadari sepatu Converse berwarna hitam dan bertali putih ada di samping tas yang ia letakkan di dekat kakinya. Sepatunya sangat basah terlihat dari basah lantai yang melebar dibawah solnya.

Rambutnya tampak panjang, berwarna coklat-hitam, tak lurus dan ia gelung asal dengan sebuah pensil. Pensil untuk menulis. Poninya menutupi kening hingga tepat di atas kelopak mata.

Tubuhnya sangat kurus, tinggi dan berkulit putih. Ia juga sangat cantik. Hidungnya yang sangat mbangir membatas jelas dengan tiang berbatu abu-abu di baliknya.

Ia kacakkan tangan kiri di pinggang kiri dan jemari kanannya menjepit sebatang rokok yang sudah tinggal setengah diantara telunjuk dan jari tengah. Kuku-kukunya berwarna merah gelap. Ia memainkan asap rokok hingga membentuk beberapa cincin sebelum pudar bersama udara dingin.

Aku tidak pernah melihat perempuan merokok sebelumnya.

Berkali-kali ia melihat jam tangan dengan tali hitam di lengan kirinya, lalu melihat ke arah gerbang depan. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang.

Aku terus mengamatinya dari tangga yang aku duduki, agak belakang dari posisinya berdiri. Tak lama kemudian seorang pria yang membawa payung menghampirinya. Ia bawakan tas milik Sang Gadis sementara Sang Gadis menjinjing sepatu basahnya dan mereka pergi ke arah gerbang depan dengan Sang Gadis tak beralas kaki.


Spasi

Spasi

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2017 Native Language: Indonesia
Kata orang, persahabatan yang sukses adalah saat aku dan kamu menjadi kita dan kita saling menjadi buku yang terbuka.Tapi tidak ada yang bercerita tentang apa isi dalam bukunya. Bagaimana jika buku itu berisi bahasa yang berbeda dalam aksara yang juga purba? Bahasa yang aku dan kamu tidak mengerti cara membacanya. Akankah kita bisa mencapai nirwana yang kamu sebut Valhalla? Mungkin tidak ada surga di ujung jalan kita karena surga itu mungkin ada disini. Namun kita saja yang tidak pernah mau melihat lebih dekat. Mungkin juga tidak ada neraka yang menunggu kita karena bisa jadi apa yang kita tinggali saat ini adalah neraka.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset