Aku hanya mengingat wajah putih berponi dengan senyumannya. Aku yakin kami tidak bersentuhan saat berpapasan, tidak juga kudengar suaranya. Seperti saat pertama kali aku melihatnya, aku juga tidak mendengar suaranya. Aku ingin sekali mendengar suaranya sehingga saat aku mendengarnya di keramaian, aku akan bisa tahu itu dia.
AKU INGIN MENDENGAR SUARANYA!
Aku duduk di depan komputer warnet, fokusku sudah terpecah dan dari semua serpih fokus yang berantakan, hanya sedikit sekali yang tersisa pada laporan praktikum. Jarak dari warnet ini ke McD hanya lima menit dengan angkot tanpa ngetem. Kalau aku kembali kesana setelah selesai mengerjakan laporan, apakah dia masih disana? Aku pun mulai mengerjakan laporan yang tinggal dua bab terakhir. Aku berusaha mengetik dengan cepat, cenderung ngasal dan aku kutip langsung dari website lain tanpa mengolah lagi bahasanya.
Warnet langgananku selalu ramai, rata-rata dikunjungi oleh pria. Ruangannya berbau apek asap rokok dengan meja komputer yang kotor dan lengket. Alas mouse bahkan mousenya juga lengket dan kotoran yang sudah menjadi kerak di atasnya. Namun kecepatan internetnya sangat tinggi, setidaknya dibandingkan dengan kecepatan internet di komputer kampus.
Laporanku selesai dan terkirim. Jam 11:15.
Yakin mau ke McD lagi Dish?
Aku berdiri di luar warnet sambil menimbang apakah aku harus kembali lagi. Jika aku kembali, akan berapa lamakah aku disana? Aku akan kemalaman sampai di asrama. Aku tidak pernah pulang semalam ini. Aku tidak tahu apakah jalanan ke asrama tetap aman karena ojek sudah tidak ada selepas jam 10 malam. Tapi Gadis Tanpa Alas Kaki tadi, aku ingin melihatnya lagi dan mungkin kali ini bisa mendengar suaranya. Kalau tidak sekarang mau kapan lagi? Aku sudah mencarinya lebih dari empat bulan yang….
Tik tik tik tik!
Gerimis, lalu deras.
AH!
Aku kembali lagi ke halaman warnet untuk berteduh. Sudah malam, kendaraan hanya satu dua yang lewat. Angkot juga jarang. Aku pun memilih pulang meskipun hujan turun deras.
Kak Vera sudah tidur saat aku sampai di kamar, sedangkan Kak Hanny masih bermain dengan hapenya. Aku segera mandi cepat karena baju dan rambutku basah. Hujan semakin deras di luar.
Gadis Tanpa Alas Kaki masih di McDkah? Ah setidaknya sepatunya tidak basah kalaupun dia terjebak hujan disana.
Kak Vera selalu bangun paling awal di kamar kami yaitu pukul 4:30 pagi. Dia selalu sudah mandi saat aku bangun karena kesibukannya, lalu ia sholat dan mengaji di atas tempat tidurnya. Kak Vera baik dan ramah, hanya saja ia jarang sekali di asrama.
“Kuliah pagi Kak?” Sapaku saat melihatnya bersiap mengenakan jaket dan tasnya.
“Iya ada praktikum jam 7. Kamu?”
“Aku ada kuliah jam 9, Kak.”
“Duluan ya Dish. Hanny gak usah dibangunin, katanya hari ini dia gak ada kuliah.”
Kak Vera meraih kunci motor di meja belajarnya dan berlalu di balik pintu. Aku duduk di atas tempat tidurku. Kepalaku agak pusing dan tubuhku agak kedinginan, mungkin gara-gara kehujanan semalam.
Aku pergi membeli nasi kuning, yang dulu juga menjadi kesukaan Tari, kini hanya aku yang tersisa menikmatinya sendirian. Pening kepala semakin menjadi seiring matahari merambat naik. Aku tidak bisa melewatkan kuliah hari ini karena absensi sangat berpengaruh pada nilai akhir. Aku sudah bersiap ke kampus meskipun tidak berani mandi pagi.
Tasku basah!
Aku lupa mengeluarkan isinya semalam. Dengan panik aku buka tasku untuk mengeluarkan binder dan buku yang aku pinjam dari perpustakaan. Hanya ada buku perpustakaan, map yang berisi berkas-berkas, juga kotak pensil.
Mimpi terburukku terjadi juga. Binderku tidak ada di dalam tas.
Aku panik mencari di seluruh ruang. Seingatku memang tidak kukeluarkan di kamar. Aku berusaha mengingat-ingat lagi dimana aku keluarkan binderku.
Warnet! Aku harus pergi ke warnet lagi! Peningnya kepala sudah tidak aku rasa lagi. Dengan berjalan cepat bahkan sesekali berlari, aku menuju warnet.
Penjaganya sudah berganti. Semalam adalah seorang laki-laki dan sekarang adalah seorang perempuan. Aku tanyakan padanya apakah ada binder berwarna kuning tertinggal disini. Setelah menjelaskan kapan kira-kira tertinggalnya, ia pun dengan baik hati menelepon penjaga shift malam.
Katanya tidak ada.
Aku memeriksa meja yang aku duduki semalam memang tidak ada binder disana. Lagipula siapa yang akan mengambil binder? Tidak bisa diuangkan dan tidak menarik. Terutama saat isinya adalah catatan kuliah yang idealnya si penemu akan tahu bahwa itu kemungkinan sangat penting.
Aku memeriksa hape di tasku, mungkin penemunya akan meneleponku.
Hapeku mati.
Duh Disha!
Aku tidak kuliah pagi ini. Aku pulang ke asrama untuk mengisi ulang baterai hape, juga kepalaku yang terasa semakin pusing rasanya tidak berkompromi untuk berada di udara luar. Aku berbaring di tempat tidur. Semua tempat tidur di asrama adalah tempat tidur susun dua, ada tiga tempat tidur, idelnya ada enam kasur, namun hanya tiga kasur bawah saja yang diisi, bagian atas semuanya dikosongkan, juga tanpa kasur.
Tatapanku pada alas kasur di atasku terasa berputar dan papan juga triplek di atas terasa semakin jauh, kembali mendekat lalu menjauh lagi berulang-ulang. Selain denyutan dalam kening yang terasa menyiksa, dingin juga merasuk di seluruh tubuh meskipun aku sudah berselimut.
Aku tertidur.
Suara pintu yang tertutup cukup kencang mengejutkan tidurku. Kak Hanny tidak ada di kamar. Sudah jam 12 siang. Ada jadwal kuliah jam 2 siang, namun pusing yang masih bertalu membuatku masih tidak ingin keluar kamar. Aku nyalakan hapeku, ada satu SMS masuk.
Binder lo ada di gue. Kasih tau gue kapan lo bisa ambil — Nara
Aku menimbang antara harus membalas dengan SMS atau langsung menelepon. Menelepon lebih sopan sebagai seorang yang harus berterima kasih, putusku. Aku menelepon nomer Ajeng. Tidak ada nada tunggu. Lama tidak diangkat, setelah hampir terputus, ada jawaban dari seberang.
“Halo?”
“Halo, ini Nara?”
“Yep”
“Aku Disha yang punya binder yang kamu temuin.”
“Oh!”
Hanya Oh, tidak ada sambutan yang lain. Suaranya terdengar serak, apakah dia sedang sakit pilek juga?
“Aku–Eh, kamu bisa ngasih hari ini?”
“Sorry, gue gak bisa kalo hari ini. Sekarang lagi otw ke Jakarta. Lusa baru balik ke Bandung. Sorry ya.”
“Tapi aku–
Aku sangat butuh binder itu.
“–ya udah gak apa-apa. Makasih Nara.”
Tidak sopan memburu orang lain yang sudah baik hati padamu hanya untuk kepentinganmu, Disha.
Aku mengira Nara akan menutup telepon kami, tapi tidak. Panggilan kami masih terhubung dan terdengar ia bersenandung pelan dan santai. Aku tidak pernah menjadi yang pertama untuk memutus panggilan telepon dengan siapapun, biasanya lawan bicaraku yang akan menutup lebih dulu dan kini aku mulai panik harus bicara apa lagi.
“Um, binderku..”
“Gue temuin di McD, ada di bawah kursi yang gue dudukin.” Jawabnya cepat.
Oh pasti jatuh saat aku meletakkan tas di bawah kursi dan mengeluarkan map soal semalam.
“Tapi kalo lo butuh banget, lo bisa ambil ke kosan gue. Bilang aja sama Ibu Kosnya ada barang yang mau lo ambil, ntar sama dia dibukain pintunya. Binder lo ada di atas kasur. Kalo mau gue kasih alamat kosan gue nih!”
Aku memang membutuhkan binder itu, terutama catatan kuliahnya, tapi kalau harus masuk kamar orang lain yang bahkan tak aku tahu wajahnya, rasanya sangat tidak beretika.
Bagaimana mungkin juga gadis ini percaya begitu saja padaku untuk masuk ke kamarnya?
“Gak usah Nara, aku akan tunggu sampai kamu pulang dari Jakarta aja.” Putusku.
“OK, cool! Bye!”
“Makasih Na….tut tut tut.”
Nara menutup panggilan kami. Aku merasa lega dan kembali tidur.
Beberapa minggu sebelumnya aku mendengar obrolan dua orang yang duduk di sampingku saat kuliah. Mereka adalah dua mahasiswi yang dulu tidak satu kelas denganku saat tingkat satu. Di Fisika, mereka selalu berdua dan keduanya tak banyak bicara. Salah satunya, Zahra, adalah mahasiswi yang sangat cerdas. Dia banyak bertanya pada dosen dan nilai-nilainya selalu sempurna 100 atau tak pernah kurang dari 95. Sahabatnya, Tania, adalah mahasiswi biasa saja dalam hal akademik.
Namun dalam hal non akademik, Tania adalah idaman pria. Tania sangat cantik. Dia adalah seorang model dan beberapa kali mengikuti ajang-ajang kecantikan ternama. Dia sering digoda dan digosipkan oleh para siswa lain meskipun Tania hanya berlalu. Juga banyak orang yang tampak berusaha mendekati Tania karena ingin mengobrol bahkan mungkin berteman, tapi Tania tidak terlalu mau didekati. Ia hanya akan menjawab seadanya.
Namun siang itu mereka tampak terlibat pembicaraan yang serius, sehingga tetap mengobrol meskipun pelan.
“Jadi lo udah lama suka sama dia?” Tanya Zahra.
“Sejak ospek.”
“Lo kenal dia?”
“Kenal nama aja sih, beberapa kali doang pernah belajar bareng pas sama lo dulu.”
“Anaknya kayaknya asik sih. Lo yakin dia jomblo haha!” Goda Zahra.
“Yakin dong, di facebook sih dia bilang jomblo statusnya.”
“Trus lo mau nembak dia?”
“Menurut lo? Ya enggaklah, gue deketin aja dulu sampe dia nembak gue duluan haha!”
“Modus lo Tan!”
“Apa sih yang gak bisa gue dapetin selain nilai A?” Tania dan Zahra tertawa tertahan bersamaan.
Obrolan mereka berhenti sampai disitu karena bertepatan dengan kuliah yang sudah selesai.
Tania sangat jarang tampil bersama pria, dia selalu bersama Zahra. Pria yang disukai Tania sudah pasti adalah mahasiswa Fisika juga, angkatan atau tidak seangkatan, lihat saja nanti.
Lingkunganku kini semakin kecil, aku bisa melihat lebih jelas dari orang ke orang. Mengenali wajah dan watak mereka satu persatu dan menghafal suara mereka. Gosip-gosip yang aku dengarkan aku simpan dalam otakku dan aku petakan kemungkinannya. Saat sebuah gosip ternyata benar sesuai dengan prediksiku, aku hanya akan tersenyum sendiri.
Aku menemukan kesukaan baru dalam cangkangku. Aku menjadi lebih sering berpikir, seakan membangun sebuah istana dengan tumpukkan kartu. Kartu-kartu itu adalah informasi bagiku. Aku menyusunnya untuk melihat bentuk utuh dalam otakku sebelum bentuk itu terkonfirmasi di dunia nyata.
Memodelkan prediksi.
Kadang susunan kartuku harus runtuh, kadang juga bisa terbentuk namun berbeda dengan kenyataannya, namun bisa juga terbentuk sama persis dengan yang aku duga. Awalnya aku mengira aku terlalu memikirkan kehidupan orang lain, membuang energi dan waktu sementara masih banyak yang harus aku pikirkan tentang aku sendiri. Masih mengira seperti itu, hingga aku bertemu dengan dia.