Spasi episode 9

-- 9 --

Aku mengirim SMS pada Nara dua hari kemudian. Pilekku masih parah dan suaraku mulai bindeng dengan hidung yang masih mampet.Mau ketemu dimana hari ini? — Disha

Nara langsung menelepon.

“Ketemu di Starbucks BIP bisa gak?” Tanyanya langsung tanpa basa-basi.
“Um, iya, jam berapa?”
“Gue disana dari jam 8 malem sampe jam sepuluan kira-kira.”
“Iya, nanti aku kesana jam 8.”

Lama berjeda dan Nara masih tidak menutup teleponnya.

“Lo dateng sendiri apa sama temen?” Tanyanya agak ragu.
“Aku sendirian.”
“OK. Bye!”

Lalu dia tutup.

Kenapa aku tidak pernah bisa menutup panggilan lebih dulu?

Aku selesai kuliah jam lima sore hari ini. Namun dosen yang terlambat masuk membuat ia mengundurkan jam selesai hingga jam enam kurang lima belas menit. Jalanan ke BIP biasanya macet saat maghrib, sehingga aku putuskan untuk berangkat setelah jam tujuh malam.

Aku juga tidak pernah ke Starbucks. Tempatnya dikurung dalam dinding kaca, tampak nyaman dan mewah bagiku, sehingga aku tidak pernah masuk kesana. Kata Tari dulu, Starbucks seperti JCo yang pernah kami datangi, menjual kopi dan beberapa kue meski tak sebanyak JCo.

Aku tiba di BIP dan melangkah ke Starbucks yang terletak di bagian depan mal. Aku lupa untuk bertanya pada Nara bagaimana aku bisa mengenalinya, dimana ia akan dud….

Gadis Tanpa Alas Kaki duduk sendirian di salah satu meja.

Gadis Tanpa Alas Kaki!

GADIS TANPA ALAS KAKI!

Aku menghentikan langkahku sebelum membuka pintu kaca di hadapanku. Aku mengenalnya meskipun malam ini rambutnya ia gerai dan menutupi bahu kurusnya. Ia mengenakan baju tanpa lengan berwarna putih dan rok berwarna pastel. Kaki putihnya yang saling tersilang dibalut dengan sepatu yang sama dengan yang aku lihat waktu itu, Converse hitam bertali putih. Sepatunya tidak basah lagi.

Di hadapannya ada buku yang terbuka dan matanya menatap ke lembaran-lembarannya. Di samping buku ada segelas besar minuman dengan cap Starbucks di gelasnya.

Dia disini.
Gadis itu ada disini.

Aku tidak bisa mempercayai kebetulan ini.

Apakah aku temui saja dia dan mengajaknya berkenalan?

Pfftt, Disha Disha, bisakah?

Tapi, itu Gadis Tanpa Alas Kaki yang pernah buatku merasa sangat nyaman dan tenang meskipun hanya satu malam! Mungkin aku harus berterima kasih padanya!

Binder, oh iya binder.

Aku melihat sekeliling dari luar pintu. Ada beberapa orang yang juga duduk sendiri disana, beberapa perempuan dan beberapa laki-laki.

Aku mundur lagi dari pintu kaca dan berdiri di sudut luar Starbucks dibalik pohon palem merah dalam pot besar.

Kamu dimana? Aku udah di depan Starbucks — Disha.

Ajeng langsung menelepon lagi. Dia selalu menelepon, tidak mau membalas SMS dengan SMS.

“Gue udah di dalem Starbucks. Lo dimana?”

Aku membalikkan tubuhku dan melihat ke dalam ruang Starbucks.

Gadis Tanpa Alas Kaki sedang bicara di teleponnya dan melihat sekeliling.

“Kamu yang pake baju putih?” Pertanyaan itu meluncur terbata karena aku yakin aku hendak menangis.
“Iya, gue pake baju putih dan gak pake kerudung.”

Aku masih melihatnya dari luar pintu. Semua perempuan yang sedang duduk sendiri di dalam ruang itu memang mengenakan kerudung, kecuali dia.

“Iya, aku udah liat kamu. Aku di deket pintu masuk.”

Bersamaan dengan Nara yang melihatku, aku merasakan aliran panas di pipiku. Dia tersenyum lebar dan melambaikan tangannya. Lalu ia tutup panggilan kami.

Aku mengusap kedua mata dengan punggung tanganku sambil berusaha menarik nafas sedalam dan sekuat mungkin agar isakku lalu dan telaga dalam mataku kering.

Aku dorong gagang pintu yang berat, angin dingin menyapa, berikut senyumnya yang masih lebar seringainya.

Gadis Tanpa Alas Kaki itu bernama Nara.
Gadis yang aku cari sejak lama kini ada di depan mataku dan dia yang menyelamatkan bukuku.

Air mataku menetes lagi tepat saat aku sampai di meja Nara. Senyumnya sirna seketika dan mata beningnya membelalak lebar.

“Lo, lo kenapa??”

Aku tersenyum dan menggeleng.

Buku yang terbuka di mejanya adalah binderku, halaman coklatku. Hutan-hutanku. Duniaku. Rahasiaku.

“Oh Fuck! Pasti gara-gara ini, oh sorry kalo gue nekat baca buku lo! Sorry! Gue cuma–cuma suka aja sama tulisan lo! They’re awesome!”

Aku mengangguk dan berusaha mengatur nafas. Nara adalah orang pertama yang membaca tulisanku dan dia bilang awesome, aku tidak tahu arti tepatnya tapi aku tahu itu adalah ungkapan yang berarti baik. Aku pernah mendengarnya di percakapan film horror Alin dulu.

Nara menutup binderku dan mendorongnya ke dekatku dengan agak kaku. Wajahnya masih tersenyum gugup.

Dia cantik. Sangat cantik. Lebih cantik dari Tania.

Dia seperti artis film yang sering aku lihat di tivi. Wajahnya seperti persilangan Indonesia-Barat, terutama dengan rambut berwarna coklat, hidung mbangir dan kulit seputih itu. Suaranya memang serak-basah bukan karena sakit pilek. Sorot matanya tajam dan terus menatapku.

“Makasih.” Ucapku.

“Its allright. Lo mau minum?” Nara menunjuk ke konter di belakangnya. Aku menggeleng. Nara tertawa kecil. Ia jatuhkan tatapannya pada binder di hadapanku.

“Lo gak capek bilang enggak?”

Aku terperanjat singkat. Lalu dia tertawa lagi.

“Satu gelas frappucino gak akan bikin gue atau lo sakit.” Sambungnya.

“Gue pesenin ya!” Nara berdiri dari kursinya. Tubuhnya memang tinggi. Dia melangkah ke konter dan memesan minuman. Aku mengamatinya dari kursiku, tidak percaya pada yang terjadi hari ini. Mungkinkah pusing ini membuat aku berhalusinasi? Jangan-jangan aku masih terbaring di asrama atau duduk di kelas Teori Relativitas Khusus. Aku kedipkan mata dan Nara masih ada disana.

Mungkin juga ini nyata.

Karena tak ada antrian, pesanan Nara cepat jadi. Aku tidak tahu apa yang dipesannya, namun melihat harga yang terpajang di papan menu, semuanya tidak murah. Aku pernah ke JCo sekali dan itupun menguras semua uang jajan selama satu minggu berikutnya.

“Ini sama sama punya gue! Caramel Coffee Jelly. Ada jellynya, jadi kalo lo laper lumayan buat ganjel perut!” Dia letakkan satu gelas besar minuman dingin dengan krim yang memenuhi tutup gelas. Minuman Nara sudah tinggal setengah, krimnya sudah habis dan esnya mencair di tisu yang ia gunakan untuk alas.

Ia seruput lagi minumannya sambil melihatku.

“Makasih Nara.”
“No worries. Stop saying thank you and just–enjoy! OK?”

Aku tidak mengerti yang dia ucapkan tapi aku mengangguk pura-pura tahu. Mungkin Nara memang keturunan luar negeri. Lidahnya sangat fasih berbahasa Inggris.

“Lo suka baca buku apa?” Tanyanya lagi. Aku mulai merasa malu tidak pernah menanyainya terlebih dahulu.
“Buku apa?”

Nara mengangkat alisnya.

“Lo liat itu?” Dia menunjuk ke arah depan mal.
“Yang ada tulisan Gramedia, lo liat?” Sambungnya.
Aku mengangguk canggung, tidak mengerti maksudnya lagi.
“Di dalem situ isinya buku-buku buat dibaca. Lo suka baca apa?”

Oh, aku benar-benar tidak tahu kalau Gramedia berisi buku bacaan.

“Aku gak pernah baca.”
“Really?” Sahutnya tiba-tiba.

Aku benar-benar roaming atas Nara.

“Trus inspirasi lo nulis puisi dan cerpen segitu banyaknya darimana?”

“Gak tau.”

Aku merasa pertanyaan Nara mengintimidasiku sehingga kuputuskan untuk minum minumanku. Nara benar, ada agar-agar yang ikut tersedot. Aku kunyah agar-agarnya.

“Gue gak baca semuanya kok. Anyway, lo ngekos dimana?”

“Aku di asrama putri. Kamu?”

“Gue di Cisitu.”

Aku ingin menanyakan dan menyatakan banyak hal padanya, namun aku tetap diam.

“Lo jurusan apa?” Tanyanya lagi. Ia sangat ringan dan tidak ada canggung dalam nada bicaranya. Seakan tidak ada istilah orang asing dalam kamusnya sehingga ia harus merasa rikuh dan berhati-hati. Aku tidak menangkap kaku dalam tanyanya, bahkan ia tidak pernah mengalihkan tatapannya dari mataku sejak datang tadi. Dia bicara padaku seakan seperti orang yang sudah mengenalku selama seribu tahun.

“Fisika.”

“What the fuck! Lo Fisika? Kejeblos atau lo sengaja jual nyawa ke Lucifer?” Teriaknya pelan sambil menepuk meja dengan telapak tangan kirinya. Ada jam tangan yang aku lihat waktu itu. Di tangannya yang lain ada gelang berwarna perak dan cincin di telunjuknya. Kukunya sangat indah dengan warna pink kali ini, bukan merah tua seperti saat itu.

Aku tertawa. Dia lucu. Aku tidak mengerti yang dia katakan, tapi ekspresinya sangat lucu.

“Mungkin.”

“Sama dong kalo gitu! Gue sih dijeblosin sama Bokap gue! Bokap gue cukongnya Lucifer!”

Aku menghentikan kunyahan agar-agarku. Kalau dia kuliah Fisika, bagaimana mungkin aku tidak pernah melihatnya di Fisika??

“Kok aku gak pernah liat kamu?”

Nara melotot lalu tertawa terpingkal. Suara pingkalnya justru terdengar seperti tawa balita dengan suara seraknya.

“Karena gue gak kuliah di kampus lo, Disha!”

Oh.

“Tapi aku pernah liat kamu di kampusku.”

Nara mengernyitkan alisnya tampak berusaha mengingat-ingat.

“Oohyaya! Kalo lo liat gue di kampus lo artinya gue ada rapat sama BEM kampus lo. Undangan aja biasanya.”

“Kamu lagi neduh waktu itu. Hujan-hujan. Terus pacar kamu jemput, bawain tas kamu dan kamu pergi gak pake sepatu. Sepatumu kamu jinjing.”

Nara menatapku tajam.

“Lo inget sedetail itu?”

Aku menunduk melihat krim digelasku.

Mengapa ulahku terdengar seperti orang yang tidak waras dan menakutkan? Aku mendapat istilah stalker dari beberapa siswa di kelas dan seketika aku merasa demikian.

“Dia bukan pacar gue. Kalo dia pacar gue, dia akan bawain sepatu gue bukan tas gue.”

Aku tidak mengerti maksud Nara.

“Kalo dia pacar gue, dia pasti maunya peluk gue dong hujan-hujan gitu. Tapi enggak! Si Ravi Monyet selalu gak mau bawain sepatu gue karena katanya sepatu gue bau! Makanya dia bawain tas gue doang!”

Aku tertawa lagi.

Mengapa ia bisa begitu ringannya bercerita atas sesuatu yang tak aku tahu harus memulai dari mana. Mengapa ia bisa membuat aku kelihatan? Mengapa ia membuat aku merasa seperti dicitrakan dalam bentuk dan warna setelah selama ini aku seperti bayangan transparan? Apakah dia selalu seperti ini pada semua orang? Aku tidak tahu dan aku tidak peduli. Aku merasa sangat bahagia hingga ingin menangis lagi, namun berusaha kutahan tangisku dan mendengarkan ocehannya.

“Lo anak asrama kan? Gak boleh pulang malem-malem dong?”

“Gak apa-apa. Aku punya kunci gerbangnya.”

Aku terbatuk setelah menjawabnya. Batuk yang tak kunjung berhenti.

“Lo sakit?”

Aku menggeleng dan tertawa melihat Nara yang tiba-tiba khawatir.

“Shit! Lo sakit! Dan lo iya-iya aja gue tawarin frappucino! Shit!”

Aku tertawa lagi.

“Karena kata kamu tadi frappucino gak akan buat aku atau kamu sakit.” Balasku.

“Udah udah jangan dihabisin! Shit! Gue bikin sakit lo tambah parah, Anjing!”

Biasanya aku sangat sensitif saat mendengar kata-kata kasar, tapi entah mengapa, mungkin karena kekagumanku pada gadis di depanku atau atas rasa senang bertemu dan bicara dengannya, kata-kata itu justru terdengar lucu saat ia ucapkan.

“Udah yuk gue anter lo balik!” Nara mengambil gelasku dan menyedot habis isi gelasku.

“Udah habis, gak sia-sia gue bayar seratus ribu dua gelas! Yuk balik! Asrama putri yang ke arah Dago Atas kan?”

Aku masih tertawa seperti orang gila melihatnya.

“Aku bisa pulang sendiri kok, Ra.” Tolakku.

Nara tersenyum lagi. “Gak apa-apa, gue akan anter lo.”

Aku pun tidak berani menolaknya dan mengikutinya ke tempat parkir.

“Lo semester berapa Dish?”

“Aku semester tiga.”
“Gue juga.”

Nara mengarah ke sebuah mobil besar berwarna gelap dengan tulisan Wrangler di sisinya.

“Ini mobilnya si Ravi Monyet! Cowok yang jemput gue hari itu.” Ujarnya tanpa aku tanya. Aku tidak pernah naik mobil bagus sebelumnya. Membuka pintunya saja membuat aku panas dingin. Ruangannya berbau rokok dan beberapa botol menggelinding di kakiku saat aku naik. Aku berusaha melihat botol apa.

“Udah jangan diperhatiin isi mobilnya. Ini kosan gue!”

Aku melihat ke kursi belakang, ada tumpukan pakaian dan buku-buku. Nara mulai menyetir mobil dengan lincah dan keluar parkiran. Aku juga baru kali ini melihat perempuan menyetir mobil sendiri selain di tivi.

“Kamu ngekos di dalem mobil?”

“Haha, polos banget sih lo! Ya kagaklah! Gue kan bilang ngekos di Cisitu!”

Aku tidak banyak bertanya lagi. Aku takut mengganggu Nara yang sedang menyetir.

“Lo udah makan, Dish?”
“Belum, tapi aku bisa masak mi di kosan.”

Nara membelokkan mobilnya di McD tempat dia menemukan binderku.

“Gue nemuin binder lo disini.” Ujarnya sambil tersenyum. Aku mengangguk.

Aku juga lihat kamu disini, gumamku namun tak aku katakan karena aku tidak ingin terdengar seperti seorang stalker.

Nara memesan makanan lewat jendela pemesanan. Tak perlu menunggu lama, pesanan yang sudah dibungkus plastik pun jadi.

“Nih buat lo makan malem! Jangan makan mi mulu!”

“Gak usah Nara!”

Nara menekan tombol di pintunya dan seketika jendela di sampingku terbuka.

“Kalo lo gak mau, lo boleh buang sekarang, itu tempat sampah di sebelah sana.” Tunjuknya. Aku melihat Nara dengan tatapan bingung. Tentu saja aku tidak mau membuang makanan ini!
“Gue udah kenyang minum satu setengah gelas kopi! Kalo lo gak mau, makanan itu gak akan ada yang makan!”

Akupun mengangguk dan merasa bersalah telah menolaknya. Kami melanjutkan perjalanan ke asrama.

“Lo udah minum obat?” Tanya Nara saat kami berhenti di depan gerbang asrama. Aku menggeleng. Nara kemudian mengambil sebuah kotak putih dari dalam kotak besar di dekat setir lalu memberikan salah satu isinya padaku.

“Itu Nurofen, sejenis Panadol, tapi lebih kuat dosisnya. Lo minum dua pil malam ini setelah makan, lalu tidur. Besok lo akan sembuh!”

Aku membolak-balik bungkusnya dan melihat Nara bergantian. Aku tidak punya pilihan lain selain berterima kasih dan mengangguk.

“Bye Disha!”

Aku lihat mobil yang berputar arah lalu meninggalkan aku yang masih menatapnya hingga tak tampak di balik belokan.

Mungkinkah kita bertemu lagi, Ra?


Spasi

Spasi

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2017 Native Language: Indonesia
Kata orang, persahabatan yang sukses adalah saat aku dan kamu menjadi kita dan kita saling menjadi buku yang terbuka.Tapi tidak ada yang bercerita tentang apa isi dalam bukunya. Bagaimana jika buku itu berisi bahasa yang berbeda dalam aksara yang juga purba? Bahasa yang aku dan kamu tidak mengerti cara membacanya. Akankah kita bisa mencapai nirwana yang kamu sebut Valhalla? Mungkin tidak ada surga di ujung jalan kita karena surga itu mungkin ada disini. Namun kita saja yang tidak pernah mau melihat lebih dekat. Mungkin juga tidak ada neraka yang menunggu kita karena bisa jadi apa yang kita tinggali saat ini adalah neraka.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset