Spasi episode 1

-- 1 --

Bel berbunyi empat kali.Aku melepaskan nafas panjang dan membanting pelan penaku ke atas buku-buku yang terbuka di atas meja. Pak Beni, guru Biologi, melihatku dari balik mejanya dan hanya tersenyum tipis.Mengerjakan soal try-out selama hampir delapan jam rasanya menguras seluruh energi yang sudah aku segarkan dengan bersepeda sehari sebelumnya.

“Dish! Nyepedah maneh yuk sesuk, kan prei! (Dish! Sepedahan lagi yuk besok, kan libur!)” Celetuk Nilam polos.

“Prei matamu, Lam!” Jawab Jaka yang duduk di depanku.

“Aku mau bolos besok, minggu ini isinya try-out semua toh? Aku pinjem soalmu aja ya Dish!” Nilam menaik turunkan alisnya. Aku tidak menjawab apa-apa karena rasa lelah tubuh dan jenuh dalam otakku sudah mengunci bibir juga mengakukan leherku.

Minggu sebelumnya pengumuman penerimaan kampus tiba di sekolah kami. Namaku ada di jajaran diterima di salah satu kampus yang terletak di kota Bandung. Sebuah kota yang hanya aku dengar namanya dari tivi. Status calon mahasiswa membuat aku harus berusaha lebih keras lagi untuk bisa lulus ujian akhir sekolah agar impian Disha dan Bapaknya tidak berakhir di sawah-sawah. Antara semangat akan kuliah juga takut akan kiamat jika sampai tak lulus SMA seperti kobar api yang berusaha menyala di tengah hujan.

Namaku Disha. Saat itu aku hanya ingin melihat apa yang ada di balik Semeru yang raksasa. Bapak juga ingin aku hidup diterangi lampu kota, merantau seperti dirinya kala muda, melihat pemandangan selain sawah.

Pak Beni menghampiri mejaku. Jaka dan Nilam juga masih bersamaku dan menyocokkan jawaban di lembar-lembar try-out yang akan diujikan minggu depan.

“Gak usah belajar udah bisa lulus toh Dish?” Canda Pak Beni.

“Kalo ujiannya cuma Biologi sih iya Pak.” Jawabku ringan menjawab candanya. Pak Beni terkekeh dan duduk di meja Jaka.

“Kalian hafalin aja soal lima taun terakhir, gak akan jauh-jauh dari situ soalnya.” Tambahnya.

“Lima tahun terakhir, ada Fisika, Matematika, Bahasa Indonesia, Biologi, Bahasa Inggris, wes moddyaar (mati) Pak Pak!” Jawab Nilam kesal.

“Itulah tugas siswa, belajar sampe mampus. Eh, siapa aja yang masuk kampusmu nanti Dish selain kamu sama Wahyu? Bapak dulu pengen masuk sana tapi gak bisa Dish. Hebat loh kamu bisa masuk sana!”

“Belum tau Pak.” Jawabku bohong. Pak Beni meninggalkan kami bertiga. Nilam dan Jaka duduk menghadapku seketika saat Pak Beni meninggalkan ruang kelas.

“Cuma kamu sama Wahyu toh?” Jaka menyebut nama yang sudah dua bulan ini tidak pernah tersebut di bibirku. Aku hanya mengangkat bahu dan melepaskan desah kesal.
“Sabar Dish, nanti juga kalo kamu udah kuliah bakal lupa sama dia. Cari pacar baru ya Disha Sayang!” Ujar Nilam sambil menepuk-nepuk bahuku.

Wahyu adalah kekasihku. Kekasih yang memutuskan hubungan kami karena menurutnya aku selingkuh dengan seorang siswa dari SMA lain yang rumahnya juga satu dusun dengan kami. Tanpa mau mendengarkan alasan dan pembelaan jujurku, Wahyu meninggalkan aku begitu saja setelah mengucapkan “Kita putus aja ya Dish!”

Sudah satu bulan berlalu sejak aku berjalan pulang sendiri dan kehujanan karena Wahyu meninggalkan aku di pinggir lapangan sepak bola sekolah. Seperti di film-film jaman dahulu juga, Wahyu menggoes sepedanya menjauhi Disha yang kehujanan dan meratapi punggungnya.

Dari satu sekolah yang mengikuti ujian saringan masuk perguruan tinggi, kenapa hanya dua orang yang diterima di kampus yang sama? Kenapa harus Wahyu? Kenapa harus aku? Kenapa harus aku dan Wahyu?

Tapi jaminan beasiswa pemerintah daerah membuat kami tak ada yang mau mundur. Tidak aku. Tidak juga Wahyu.

Kuliah bukan hanya menjadi impian kami sebagai siswa, tetapi juga keluarga kami. Orang tua Wahyu dan orang tuaku bersahabat baik sejak masih anak-anak. Pertemananku dan Wahyu juga digadang akan berakhir di pelaminan yang mengikat kedua sahabat ini sebagai besan.

Disha dan Wahyu yang terkenal kecerdasannya di satu dusun.
Disha dan Wahyu yang setiap tahun rankingnya saling kejar-kejaran antara satu dan dua.
Disha dan Wahyu yang kedekatannya diketahui oleh seseantero dusun Candipuro.
Disha dan Wahyu, jika kelak mereka menikah maka akan menjadi Camat atau Lurah atau Presiden.
Disha dan Wahyu adalah pasangan favorit dari orang-orang yang hanya mendengar “katanya” yang merambat dari satu mulut ke telinga lainnya.

Tidak ada yang mengetahui perihal putusnya hubungan kami berdua. Jarangnya kebersamaan kami dianggap wajar dibarengi kesibukan menjelang ujian. Kecuali bagi Nilam dan Jaka. Mereka berdua mengetahui putusnya hubungan kami karena Jaka adalah sahabat Wahyu yang rumahnya juga bersebelahan dengan rumah Wahyu. Nilam adalah sahabat dekatku , meskipun rumah kami tidak berdekatan tapi Nilam adalah teman yang rela datang ke rumah jam sepuluh malam untuk meminjam jawaban PR esok hari.

Kami bertiga berjalan melewati ruang kelas 12C, ruang kelas Wahyu. Wahyu masih ada di dalam bersama beberapa siswa lainnya. Ia melihatku sekilas dan segera mengalihkan pandangannya ke teman-temannya lagi. Jaka pun pamit untuk menyusul Wahyu sementara aku melengos pergi bersama Nilam.

Sebagai perwakilan daerah yang memperoleh beasiswa penuh untuk kuliah, orang tua kami bangga dan tak berhenti bicarakan kami saat mereka di sawah. Kami juga dielu-elu dalam tembang harap akan cerahnya masa depan saat mereka menggarap ladang.

Aku tak tega mematahkan harapan Bapak akan aku dan Wahyu. Bagi kami orang yang hidup di dusun kala itu, tidaklah mudah nyatakan patah hati dan akan dipahami begitu saja oleh orang tua. Hubungan kami sudah direstui oleh kedua keluarga, seolah-olah jika kami meminta dinikahkan hari inipun, mereka akan segera memanen janur dan ukir kembar mayang.

Sejak Bapak dipanggil sekolah juga Lurah dan dikabari tentang diterimanya aku, Bapak tidak pernah berhenti menasehatiku dengan:

“Kalo nanti butuh apa-apa, kasih tau Wahyu juga ya Ndok. Biar saling tau dan saling bantu. Kalian kan sama-sama jauh dari rumah, kalian harus saling menjaga. Persiapkan mateng-mateng masa depan kalian, nanti kalo sudah lulus dan jadi insinyur menikah dan wes, adem ayem tentrem uripmu, Nak!”

Dulu aku berbunga-bunga. Sekarang, aku hanya menelan ludah dan menahan air mata untuk tidak tampak gelasnya di depan Bapak.

Aku tidak tahu bagaimana Wahyu dan keluarganya. Bulek Lastri (Ibu Wahyu) akan selalu menanyakan aku setiap hari Minggu dan memaksa aku datang ke rumahnya. Wahyu adalah anak ketiga dari tiga bersaudara yang kesemuanya laki-laki. Kakak-Kakak Wahyu sudah menikah dan bekerja dan merantau keluar Pulau Jawa. Dua cucu Bulek Lastri dan Paklek Ponaji juga laki-laki sehingga kerinduan Bulek Lastri akan anak perempuan dilampiaskan padaku.

Ia akan menyisir dan mengepang rambutku saat aku berkunjung ke rumahnya. Tak jarang ia juga akan mengeramasiku dengan merang atau kuning telur agar rambutku lebat dan indah katanya. Bulek Lastri akan berbagi cerita tentang apa saja, seakan tak pernah lelah bercerita meskipun sudah nyawah satu minggu sebelumnya.

Sejak aku tidak mengunjungi Bulek Lastri, ia selalu menitipkan sampo merang yang ia buat sendiri kepada Bapak saat mereka jumpa di sawah yang tak jauh letaknya. Beberapa kali ia juga sempat ke rumah dan menanyakan aku saat aku masih sekolah.

Sejauh ini segala sesuatu berjalan seperti rutinitas. Tidak ada curiga apapun diantara keluarga kami. Mungkin Wahyu juga berusaha keras untuk menutupi usainya hubungan kami berdua.

Detik jam tetap berputar ke kanan dan tidak pernah berhenti. Aku menguras sisa energi yang aku punya dengan membaca soal-soal ujian tahun sebelumnya. Aku memiliki keyakinan akan hasil ujian hari-hari sebelumnya, tinggal dua mata pelajaran lagi dan aku akan terbebas. Jam di meja belajar masih menunjukkan pukul setengah sembilan malam, kopi di gelasku tampak tidak memberikan efek apapun. Kantuk mulai menyapa dan menari gemulai di depan mata.

“Disha?” Suara Bapak memanggilku dari pintu kamar.
“Ada Wahyu di ruang tamu.” Tambahnya.

Kantukku sirna seketika.

Aku dan Wahyu berusaha untuk tidak saling bertemu di sekolah. Saling berusaha menghindar dengan alasan apa saja yang kami buat. Meskipun ruang kelas kami hanya dijaraki oleh kelas 12B, tapi aku dan Wahyu berhasil untuk berinteraksi sesedikit mungkin. Kesibukan ujian membuat orang lain tidak peduli dengan kerenggangan hubungan kami, lagipula kenapa mereka harus menggubris kami berdua? Hanya karena orang tua kami mengelu-elukan kami berdua lalu seluruh sekolah harus demikian juga? Aku mulai menyadari kejengahan ini.

Wahyu duduk dengan kedua tangannya terjepit diantara kedua pahanya. Di depannya ada secangkir teh, pasti Bapak yang membuatkan. Matanya yang menatap ke pintu yang terbuka tak menyadari kehadiranku sebelum kubuat derit di kursi yang kududuki.

Wahyu tersenyum dan berkedip beberapa kali saat melihatku. Senyum yang tampak ia paksakan, namun sekaligus senyum yang kuyu dan lesu.

“Lagi belajar, Dish?”

Aku mengangguk.

“Mau jalan-jalan sebentar gak Dish?”

Aku melihat jam dinding untuk mengisyaratkan padanya bahwa ini sudah malam.

Wahyu menarik nafas panjang. Tatap matanya jatuh ke kaki meja di depan kami.

“Kalo besok pulang sekolah gimana? Ketemu di lapangan lagi ya?” Wahyu menawarkan rencana baru di tempat yang sama dengan saat ia memutuskan aku dulu.

Aku tidak tahu apa yang ingin Wahyu katakan. Tapi seandainya Wahyu mengajakku rujuk, aku akan langsung mengiyakannya tanpa perlu menunggu esok hari.

Wahyu tidak mengatakan tujuannya mengajakku bertemu lagi.

Aku pun mengangguk dan Wahyu pamit pulang.


Spasi

Spasi

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2017 Native Language: Indonesia
Kata orang, persahabatan yang sukses adalah saat aku dan kamu menjadi kita dan kita saling menjadi buku yang terbuka.Tapi tidak ada yang bercerita tentang apa isi dalam bukunya. Bagaimana jika buku itu berisi bahasa yang berbeda dalam aksara yang juga purba? Bahasa yang aku dan kamu tidak mengerti cara membacanya. Akankah kita bisa mencapai nirwana yang kamu sebut Valhalla? Mungkin tidak ada surga di ujung jalan kita karena surga itu mungkin ada disini. Namun kita saja yang tidak pernah mau melihat lebih dekat. Mungkin juga tidak ada neraka yang menunggu kita karena bisa jadi apa yang kita tinggali saat ini adalah neraka.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset