Jerit tangis pecah di sebuah tanah lapang dengan jejeran batu nisan. Seorang wanita berpakaian serba hitam menangis tersedu-sedu, di depan sebuah gundukan tanah basah yang bertabur kelopak bunga di atasnya.
Semua orang yang menyaksikan kepiluan itu hanya bisa terdiam, memanjatkan doa pada Sang Kuasa di dalam hati, agar jiwa yang telah meninggalkan raganya itu di terima di sisi Yang MahaKuasa.
Satu-persatu orang yang ada di sana mulai pergi, setelah pamit dan mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya putri semata wayang wanita itu, Alisa. Semua orang menyayangkan kepergian Alisa yang secara tiba-tiba dan tragis ini. Alisa adalah gadis yang cantik dan juga pintar, prestasinya pun tak perlu diragukan. Bisa menjadi mahasiswa di universitas Epicentrium, yang merupakan universitas swasta ternama adalah salah satu bukti kepintaran Alisa. Meski universitas itu swasta, tapi yang bisa masuk hanyalah siswa-siswa berprestasi. Juga memiliki kekayaan yang mumpuni.
Kini tinggallah mama dan papa Alisa, beserta Ares yang masih setia berdiri di tempatnya menatap gundukan tanah itu. Pemuda itu menghela napas, berjalan menghampiri pasangan tersebut.
“Tante, Ares ikut berduka cita atas kepergian Alisa. Ares harap Tante bisa mengikhlaskan kepergian Alisa, agar dia tenang di alam sana.”
“Terima kasih, Ares.” Bukan wanita itu yang menjawab, melainkan suaminya. Sedangkan mama Alisa masih menangis pilu.
“Maaf, Om. Ares harus pamit.” Pria paruh baya yang dipanggil dengan sebuatan om itu, memeluk Ares sebentar, menepuk punggung pemuda itu.
“Terima kasih sudah menjaga Alisa selama ini.” Ares hanya tersenyum tipis, sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu.
***
Di sebuah ruangan kecil, ke tujuh orang duduk pada kursi yang sengaja di susun melingkar, menjadikan meja bulat sebagai pusatnya.
Kedelapan orang itu sama-sama terdiam, sebelum salah satu di antara mereka mengeluarkan suara.
“Kenapa pada diam?” tanya seorang pemuda dengan rambut sebahu. Semua orang hanya diam menatapnya dengan tatapan yang berbeda. “Come on, gak usah serius gitu! Bukankah dengan kematian Alisa kita bisa kembali berkumpul seperti ini?”
Ya, ketujuh orang itu adalah teman-teman Alisa waktu SMA dulu dan mungkin … sampai sekarang. Setelah lulus SMA mereka seperti orang yang tak saling mengenal, padahal berada di universitas yang sama. Mereka terpecah menjadi beberapa kubu, hingga kematian Alisa kembali menyatukannya.
“Lo bisa gak sih, Za, serius dikit! Alisa itu teman kita, sikap lo terkadang membuat gue berpikir kalau lo gak tulus temenan sama Alisa dan juga kami,” celetuk salah satu cewek dengan kesal.
“Munafik lo, Mon. Lo pikir gue gak tau apa yang lo pikirkan sekarang? Gue tau, lo sebenarnya senang atas kematian Alisa, dengan begitu saingan lo berkurang satu. Atau jangan-jangan–”
“Jangan-jangan apa maksud lo, hah!?” Monika menggebrak meja di depannya hingga menimbulkan suara. Matanya menatap tajam ke arah Reza yang bicara seenaknya. “Maksud lo, gue yang bunuh Alisa gitu!?”
“Ya, mungkin saja,” jawab Reza enteng.
“Jadi lo nuduh gue?”
“Siapa yang nuduh, gue cuma ngomong yang sebenarnya.”
“Lo ingin mati!?” ancam Monica, tangannya terkepal kuat. Matanya menatap penuh amarah ke arah Reza.
“Cukup! Kalian bodoh atau gimana sih? Lo, Mon, jaga emosi, lo!” ucap salah satu pemuda kembar yang dari tadi hanya diam. Dia Dava, pemuda itu menatap Monica dengan tajam hingga membuat gadis itu kembali duduk.
“Lo juga, Za. Udah jelas-jelas laporan forensik menyatakan kalau Alisa terpeleset dan jatuh karena ulahnya sendiri. Jadi apa yang lo ragukan?” celetuk Deva, kembaran Dava. Reza hanya diam, karena tak bisa membantah ucapan Deva.
Ruangan itu kembali sunyi, setelah semua penghuninya terdiam dengan pemikiran masing-masing.
“Kematian Alisa bukan sebuah kecelakaan, tapi sudah direncanakan,” ujar seorang gadis bermata bulat, yang membuat semua orang menatapnya dengan kening mengernyit.
“Maksud lo apa, Ris?” tanya Monica yang tak mengerti maksud Risa. Bukannya menjawab, Risa malah menoleh ke samping. Tepat ke arah, gadis yang matanya terlihat bengkak. Dia Emily, teman yang paling dekat dengan Alisa. Gadis itu terlihat sangat terpukul daripada yang lainnya.
“Em,” panggil Risa, gadis itu menggenggam tangan Emily yang terasa dingin. Emily hanya diam, lalu perlahan kepalanya mengangguk. Risa tersenyum melihatnya, gadis itu menatap satu-persatu orang yang ada di sana.
“Tiga hari sebelum Alisa meninggal, ada seseorang yang ngirim amplop misterius padanya.”
“Amplop misterius?” tanya Reza. Risa hanya mengangguk.
“Saat itu ban mobil gue bocor dan Alisa nawarin gue buat bareng sama dia. Lalu Alisa nemuin sebuah amplop yang sudah ada di tasnya, entah siapa yang naruh tu amplop. Dalam amplop itu isinya kertas sodoku dan di bawahnya ada semacam kalimat ancaman. Kalau kalian gak percaya kalian bisa tanya Emily yang saat itu juga ada sama gue dan Alisa.”
Risa memandang Emily, yang juga tengah dipandang oleh semua orang di ruangan itu. Emily hanya mengangguk, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Kalau kalian masih gak percaya, gue punya fotonya. Sebelum Alisa buang tuh sudoku, gue sempat ambil fotonya.”
Risa menunjukkan gambar sudoku di ponselnya. Benda pipih itu berpindah bergiliran ke tangan semua orang, kecuali Emily.
“Selesaikan dengan benar atau mati! Dari kalimat tersebut, pengirimnya mencoba menantang sekaligus mengancam,” ujar Dava.
“Tunggu, kenapa harus sudoku?” tanya Reza yang dari tadi kebingungan.
“Apa mungkin ….” Risa menggantung ucapannya.
“Binar,” timpali pemuda kembar secara bersamaan. Risa hanya mengangguk menyetujuinya.
“Ini pasti akal-akalan lo berdua, ‘kan?” tuduh Monica.
“Buat apa, Mon? Kenapa gue dan Emily harus nglakuin itu?”
“Ya bisa saja lo berdua ingin kita ketakutan, sehingga gak konsen dalam pelajaran. Dan cuma lo berdua yang dapat nilai terbaik.”
“Gue gak sepengecut itu!”
“Dan gue tau sepengecut apa lo itu!” bentak Monica.
Reza yang melihat itu hanya tertawa, bahkan tawanya terdengar sangat keras, hingga semua orang menatapnya.
“Bodoh. Mana mungkin Binar bisa nglakuin itu, kita bahkan mengantar jasadnya ke liang kubur. Kalian pikir, orang yang udah mati bakal hidup lagi. Dan kali ini gue setuju sama Monica.” Monica yang mendengar itu hanya tersenyum sinis.
“Jadi kalian nuduh gue dan Emily merencanakan semua ini!?” Risa terlanjur marah sekarang ini. Sedangkan Emily hanya diam, tak ingin ikut campur meski dirinya dituduh.
“Udah, cukup!” tengahi Dava. “Menurut lo gimana, Res?” tanya pemuda itu pada Ares yang dari tadi hanya bungkam menyaksikan perdebatan teman-temannya. “Bukan apa-apa, lo kan pacarnya Alisa. Dan gue denger, sebelum dia meninggal Alisa ada sama lo.”
Semua orang kini memandang Ares, menunggu pemuda itu angkat suara. Bukannya menjawab, Ares malah berdiri dari duduknya.
“Gue harus pergi,” ujar pemuda itu. Tanpa menunggu jawaban dari teman-temannya Ares pergi keluar.
“Masih dingin dan menyebalkan. Kalau saja dia tidak tau rahasia gue, udah gue habisin tuh cowok,” gerutu Monica kesal.
“Jangan coba-coba lo ganggu, Ares! Atau lo berurusan sama gue,” ancam Reza.
“Dasar, kacung. Kenapa lo gak sekalian pergi nyusul majikan, lo?”
“Tanpa lo minta, gue juga bakal pergi. Gak sudi gue lama-lama berkumpul sama orang-orang munafik seperti kalian.” Setelah mengatakan itu, Reza pergi, menutup pintu dengan keras hingga menimbulkan suara.