SUDOKU (Mainkan atau MATI!) Episode 4

Bab 4

“Aaa …!” Beberapa kali jeritan terus terdengar dari mulut Kian, ketika semua benda yang sengaja dilempar itu berjatuhan di lantai.
Kian melangkah mundur perlahan, berdiri di belakang Ares, menjadikan pemuda itu sebagai penutup dirinya.

Mata hitam menatap datar ke arah seorang pemuda yang menjadi penyebab suara dan berantakannya rumah ini. Tak ada rasa takut dalam matanya, seakan kejadian seperti ini sudah tidak asing lagi untuknya.

Bugh

“Aaa ….” Kian kembali menjerit, ketika sebuah hantaman keras mendarat di pipi Ares, hingga membuat cowok itu tersungkur di lantai. Sedangkan Kian, yang saat itu di belakang Ares ikut terjatuh karena tersenggol tubuh pemuda itu.

“Aw,” ringis gadis itu.

Ares yang mendengarnya seketika menatap ke arah Kian.

“Bangun lo, brengsek!”

Baju Ares di tarik paksa ke atas, hingga tubuhnya kembali berdiri seperti semula.

“Maksud lo apa, ha?!” Mata pemuda berambut sebahu, menatap nyalang penuh amarah pada Ares. Tarikannya pada baju semakin menguat, hingga membuat Ares tercekik.

Ares tersenyum remeh, lalu mengusap darah yang ada di sudut bibirnya. Dia menepuk kedua pundak pemuda di depannya dengan senyuman licik.

“Hah …. Apa yang harus gue katakan sama lo, Za?”

Gigi Reza bergemelatuk, tangannya yang menarik baju Ares semakin tergengggam kuat.
Ares melirik tangan Reza di bajunya, dan dengan sekuat tenaga dia mencoba melepaskan tangan itu satu persatu.

“Lo gak akan dapat apa-apa dengan marah seperti ini.”

Setelah tangan Reza terlepas semua, Ares memutar tubuh. Dia menatap Kian yang masih terduduk di lantai dalam diam, dan cukup lama.

“Lo bisa pulang sendiri, kan?”

Kian terdiam, sembari bangkit berdiri kembali. Gadis itu menatap Ares, baru saja dia membuka mulutnya, Ares kembali menyela.

“Pintu keluarnya di sana.” Tunjuk Ares pada pintu. “Kunci motor lo masih di tempatnya.”

Kian melongo mendengarnya. Dengan mengatakan itu, secara tidak langsung Ares telah mengusirnya.

Dasar, tak tau terima kasih

Dengan kesal, Kian melangkah pergi dari rumah itu. Ares yang melihat gadis itu berjalan sambil menghentak-hentakkan kaki hanya tersenyum tipis.

“Kita perlu bicara, ikut gue!” ujar Ares, setelah suara motor Kian yang meninggalkan rumah ini terdengar.

Satu-persatu anak tangga kini Ares naiki, hingga kakinya berhenti di depan sebuah papan bercat putih. Didorongnya papan itu setelah tangan memutar knop pintu.

Ares terdiam setelah pintu terbuka, matanya menatap Reza yang saat itu juga tengah menatapnya. Dengan isyarat mata, pemuda itu menyuruh sang sahabat untuk masuk.

Reza menatap nyalang ke arah Ares, sebelum kakinya melangkah masuk, melewati pemuda itu.

Pintu tertutup, dan tanpa aba-aba Ares memukul pipi pemuda berambut sebahu yang masih nenatapnya nyalang. Reza yang tak menduga itu, tak sempat menghindar dan pukulan itu membuatnya tersungkur ke lantai.

“Sial,” umpat Reza, kembali menatap nyalang ke arah Ares.

“Bangun lo, Za!”

Merasa tertantang, Reza kembali berdiri dan memukul perut Ares hingga pemuda itu terpukul mundur.

“Lo nantangin gue, ha?!”

Reza kembali memukul Ares dan menendangnya.

“Lo udah ngingkarin kesepakatan yang kita buat!” bentak Reza. Dada pemuda itu naik turun, kemarahannya tak terbendung lagi. Dengan brutal dia terus menyerang Ares. Sedangkan Ares, pemuda itu hanya nembendung serangan Reza yang bertubi-tubi itu. Beberapa kali serangan Reza mengenai dirinya, tetapi dia tak berniat membalas serangan itu.

“Kenapa lo hanya bertahan?! Pukul gue, banci!”

Ares memukul rahang Reza, lalu menendang perutnya hingga Reza terpukul mundur, terjatuh menabrak meja di belakangnya, dan barang-barang di meja tersebut berjatuhan ke lantai.

“Huh, pemanasan yang lumayan menguras tenaga,” ujar Ares sambil memegang perutnya. Pemuda itu terbatuk-batuk, tetapi senyuman remeh tak hilang dari wajahnya.

“Mau lo apa sebenarnya, Res?!” Ares hanya diam menatap Reza. “Lo kan yang ngirim bangkai ayam yang penuh darah itu ke nyokap gue?! Iya, kan?!”

“Bangkai ayam?”

Bibir atas Reza terangkat, gigi bertubrukan satu sama lain, lalu berkata, “Jangan pura-pura gak tau, hanya lo yang tau kalau depresi nyokap gue bakal kambuh kalau liat bangkai ayam seperti itu.”

Lagi-lagi Ares hanya diam.

“Kenapa lo diam, Res? Apa yang gue bilang itu bener, ha?!” Reza kembali berdiri, melangkah mendekati Ares. “Apa yang lo inginkan, gak cukupkah gue jadi kacung lo di depan semua orang?”

“Itu hanya bunganya,” jawab Ares tenang.
Reza melangkah mundur, lalu dia tertawa keras. Setelah cukup lama, tawa itu berubah menjadi jeritan.

“Akh.” Reza menjambak rambutnya dengan frustasi, raut wajahnya berubah menjadi sendu.
“Gue tau, gue sangat buruk. Tapi lo gak berhak!”

“Gue hanya membantu mengurangi beban lo.” Sudut bibir Ares terangkat, namun matanya menatap tajam.

“Tapi ini di luar kesepakatan,”

“Lo pikir begitu?”

“Akh, gue gak mau mati sekarang!”

Ares menyeringai, dia melangkah mendekat ke arah Reza, lalu memutari tubuh pemuda itu dengan perlahan. Dengan gerakan tiba-tiba Ares mengunci leher Reza dengan lengan kanannya dari belakang.

Reza meronta-ronta, memukul tangan yang mengunci lehernya dengan sekeras mungkin. Namun, kuncian itu tidak lepas, malah semakin mengerat, hingga Reza kesulitan untuk bernapas.

“Le-pa-sin gu-e, breng-sek!”

“Sepertinya lo belum mengenal gue dengan baik, Za. Dan lo harus mendapat hukumannya.” Ares semakin mengeratkan kunciannya. Hingga membuat Reza hampir meregang nyawa karena kehabisan napas.

“Res, le-pas!” mohon pemuda itu, rasanya ia benar-benar akan mati sekarang ini.

“Cih.” Ares meludah, lalu setelahnya, ia melepas kuncian itu dan mendorong tubuh Reza ke depan dengan keras.

Rambut sebahu milik Reza menyentuh marmer putih, ketika tubuh pemuda itu terdorong ke bawah. Kedua tangan kekar menapak pada lantai pijakan, mencoba menahan beban tubuhnya layaknya posisi orang push-up, agar tak terjatuh di lantai. Dia terbatuk, mencoba menghirup udara sebanyak yang ia bisa, setelah merubah posisinya menjadi terduduk.

Belum sempat napas Reza kembali menormal, Ares lagi-lagi mengunci dirinya. Jika tadi leher, sekarang pemuda itu mengunci tangan Reza ke belakang, dan mengikatnya dengan tali yang ia ambil dari atas meja.

“Res, jangan gila!” Reza mencoba melepaskan ikatan itu. Ares benar-benar gila. Reza tau seperti apa pemuda yang mengikatnya ini, dia terlalu kejam untuk disebut sebagai seorang sahabat. Dia lebih gila dari pasien rumah sakit jiwa.

“Gak sia-sia gue siapin tali di kamar ini,” ucap Ares sambil menyeringai penuh kemenangan.

“Res, jangan lagi!”

“Terlambat.”

Sial, Reza mengumpat dalam hati. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Ares bukanlah tandingan untuknya, setidaknya untuk saat ini.

Tubuh yang terikat itu ditarik ke atas agar berdiri, Ares menyeret Reza dan membuat pemuda itu berdiri di atas kursi. Sebuah tali yang sengaja dibentuk melingkar dengan ujung tali terikat dengan paflon atas kini membuat mata Reza membulat sempurna.

“Res, jangan lakuin ini! Lo gak akan dapat apa-apa dengan membunuh gue,” racau Reza, berharap Ares mendengarkan peringatannya dan melepaskan dirinya.

“Jinjit!”

“Res!”

“Gue bilang jinjit!”

Tak ada yang bisa Reza lakukan selain menuruti perintah Ares. Dengan terpaksa, pemuda itu mulai menumpukan seluruh beban tubuhnya pada ujung-ujung jari kaki. Ares tersenyum, lalu memasukkan kepala Reza ke dalam lubang tali di depan pemuda itu.

“Res!” Reza yang merasa nyawanya terancam seketika menyebut nama Ares dengan teriakan. Tapi sayangnya, hal itu tak membuat Ares gentar untuk melakukan aksinya.

“Lo akan—” Belum sempat Reza menyelesaikan kalimatnya, sebuah kain sudah menyumpal mulut pemuda itu hingga dia tak bisa bicara lagi, dan hanya bisa bergumam tak jelas.

Ares turun dari atas kursi tempat Reza berdiri, dia membersihakan kedua tangannya, dengan menepuk-nepuk kedua telapak tangan beberapa kali.

“Kalau lo takut mati, sebaiknya gak usah hidup,” ucapnya yang diakhiri dengan seringai. Reza melototkan matanya sambil bergumam tak jelas. “Jangan banyak gerak, atau kursi itu akan berpindah posisi, dan gue rasa lo tau apa yang akan terjadi selanjutnya.”

Sial, Reza hanya bisa mengumpat dalam hati saja. Dengan berdiri dalam keadaan berjinjit seperti ini tidak akan mudah untuk menjaga tubuh agar tak bergerak. Bergerak sedikit saja, kursi akan berpindah posisi dan tentunya, tali yang melingkar di lehernya akan dengan senang hati menjadi penyebab kematiannya.

“Tetap seperti itu sampai gue kembali.” Setelah mengatakan itu Ares melangkah menuju pintu, lalu keluar dari kamar.


SUDOKU (Mainkan atau MATI!)

SUDOKU (Mainkan atau MATI!)

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Cerita ini mengandung unsur thriller, horor juga misteri. Akan banyak adegan pembunuhan di dalamnya. Kekerasan dan misteri adalah bagian penting dari cerita ini. Jadi, penulis berharap pembaca bijak dalam mengambil isi yang disampaikan dalam cerita.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset