Dalam kegelapan yang hanya diterangi cahaya lampu remang-remang, Ares terlihat duduk di depan meja persegi panjang.
Dua kertas lusuh berisi permainan sudoku menyita seluruh perhatiannya. Dilihatnya kedua kertas itu secara pergantian dengan seksama.
Isi dari kertas itu terlihat sama persis, hanya saja di kertas sebelah kanan terdapat tambahan masing-masing satu angka dalam dua kotak besar permainan. Tepatnya pada kotak ke-3 dan ke-5, jika diurutkan dari kiri semua juga atas ke bawah.
Bunyi notif pesan kini mengubah atensi pemuda itu. Layar ponsel berwarna silver yang terletak di samping kertas sudoku mengeluarkan cahaya, lalu cahayanya meredup.
Pemuda itu menghela napas berat sebelum tangannya meraih benda pipih itu. Dibukanya aplikasi hijau, sebuah pesan masuk dari nomer yang tak ada kontaknya kini terpampang di layar.
Kami telah kehilangan jejak
Tangan pemuda itu terkepal kuat, lalu memukul meja di depannya dengan keras hingga menimbulkan suara.
Gue gak mau tau, cari dia sampai dapat
***
“Mon.”
Monica yang baru saja melangkah keluar kelas seketika menghentikan langkahnya. Dua orang pemuda berwajah mirip menghampirinya dengan tas yang disampirkan di bahu, siapa lagi kalau bukan Dava dan Deva.
“Kenapa?!”
“Wez, gak usah ketus gitu kali, Mon,” ujar Deva.
“Ck, intinya aja. Gue gak punya banyak waktu.”
“Hmm, sok sibuk lo.” Monica seketika menatap Dava dengan tajam, yang membuat pemuda tersenyum canggung. “Sorry, Mon. Sorry.”
“Biar gue jelasin.” Melihat Monica yang dalam mode tidak bisa diajak bercanda, Deva pun segera menyampaikan maksudnya. “Si Risa ngajakin ketemuan di base camp, katanya mau bahas langkah kita selanjutnya.”
“Oke. Kalian duluan aja.”
“Gak mau bareng, Mon?”
“Gue ada urusan yang harus diselesein dulu.”
“Okedeh, kita duluan.”
Setelah si kembar pergi, Monica melangkah cepat menuju toilet. Gadis itu menengok ke segala arah, memastikan tidak ada orang lain di toilet saat itu. Setelah dirasa aman, dia masuk toilet yang terletak paling ujung.
Dirogohnya saku celana, ponsel hitam kini dalam genggaman. Dengan cepat, Monica menelusuri kontak di ponselnya. Jarinya berhenti pada username A2, lalu ditekannya tombol telepon.
“Hallo, Bos.”
Suara berat dari sebrang telepone kini terdengar.
“Gue minta lo awasin dia terus. Kalau ada kesempatan, singkirin dia seperti yang lainnya, ngerti! Gue ingin, kematiannya jauh lebih buruk daripada kematian Alisa.”
Tut
Sambungan diputus secara sepihak oleh Monica. Gadis itu tersenyum licik sambil menatap ponselnya yang menampilkan sebuah foto dirinya dan juga ketujuh temannya termasuk Alisa.
“Lo akan terima akibatnya karena main-main sama gue.”
***
Setelah memastikan pesanya terkirim dan dibaca oleh Deva, dengan segera Risa keluar dari kelasnya. Gadis itu berjalan dengan amat tergesa, sampai tak melihat jika ada seseorang di depannya. Tabrakan pun tak terhindarkan. Tumpukan kertas yang dibawa oleh Kian, orang yang Risa tabrak, seketika berhamburan di lantai.
“Lo kalau jalan pake mata, dong!” bentak Risa.
Pemilik mata almond hanya menatap datar dalam diam kertas-ketas yang berserakan di lantai, tak mempedulikan bentakan Risa.
“Maaf.” Satu kata yang ditunggu Risa akhirnya keluar dari mulut Kian. Risa tersenyum puas karenanya.
“Minggir!”
Dengan keras Risa menabrak tubuh Kian, hingga gadis itu terhuyung ke belakang. Lagi-lagi Kian hanya diam. Gadis itu memutar tubuh, menatap kepergian Risa dengan tatapan tajam juga tangan terkepal. Hanya beberapa detik, setelahnya dia berjongkok untuk memunguti kertas-kertas miliknya.
“Orang yang sombong, tidak akan bertahan lama, huh,”
Lagi-lagi dengan tergesa Risa berjalan menuju parkiran. Setelah menemukan mobilnya, dengan segera gadis itu masuk dan melajukannya keluar dari area kampus.
Honda jazz berwarna putih itu membelah jalan dengan kecepatan rata-rata.
Diliriknya ke arah spion. Sebuah sedan hitam kini terlihat mengikuti mobil gadis itu.
“Mobil itu … apa dia ngikutin gue?”
Merasa ada yang tidak beres. Risa segera menambah kecepatan mobilnya. Dan benar saja, sedan hitam itu memang mengikuti dirinya.
“Kurang ajar.”
Kebut-kebutan di jalan pun tak terhindarkan. Berbagai umpatan dari penggunan jalan lainnya kini terus saja dilayangkan pada gadis itu. Namun, Risa tak peduli. Dia harus lolos dari kejaran mobil itu.
Honda jazz putih milik Risa kini segaja berbelok ke arah jalanan yang sepi. Diliriknya spion mobilnya kembali.
“Sepertinya mobil tadi gak tau kalau gue belok.”
Risa menghentikan laju mobilnya, gadis itu menghela napas panjang. Diraihnya tas yang ia letakkan di kursi bagian belakang.
Sebuah amplop kini terjatuh saat Risa mengambil power bank di tasnya. Risa mengernyitkan kening, gadis itu berjongkok untuk mengambil amplop tersebut.
Sebuah kertas berisi permainan sudoku kini terlihat ketika amplop itu dia buka. Dengan tangan bergetar, Risa mengeluarkan kertas itu dengan sempurna dari amplopnya.
“Su-sudoku yang sama.”
Gadis itu terkejut bukan main, sampai menjerit ketika suara klakson yang dibunyikan secara bertubi-tubi dan cukup keras berdengung di telinganya. Risa menatap ke depan, matanya membelalak, mulutnya menganga lebar ketika melihat sedan hitam yang mengikutinya tadi melaju dengan kecepatan tinggi ke arahnya.
“Aaa …!”
Brakk
Sedan hitam itu menghantam keras mobil Risa hingga, honda jazz miliknya bergoyang dan terpukul mundur menyamping menabrak pembatas jalan.