Surat untuk Alena episode 1

Chapter 1

Waktu dalam sunyi kutemukan remah mimpimu. Kutanyakan berulangkali kepastian tentang hal itu. Tentang kegigihan menggantungkan tiap-tiap citamu. Sandaran hidup masa depan yang terus menggila dan bergerilya dalam benak pikiranmu. Pun sebelumnya aku tak pernah mau tahu dan sekarang kenapa aku mendadak rugi karena ingin menahu?

Apa benar kegilaanmu telah menular akut pada sungkanku? Sampai hati, hingga aku melupa perihal janji dan sumpah serapah yang sempat keluar dari mulut sompralku. “Aku budakmu! Aku serdadu kumbang yang akan meluluhlantakkan mimpi-mimpi mu! Aku telanjur menggamit obsesi untuk melampiaskan semua sendumu. Menimpahmu dengan segala sengkarut yang kusebut dendam karena sikap acuh, tak pedulimu”.

Titik terang satu. Kulumat kembali ludahku. Menjijikkan memang. Tapi mau diapa? Toh aku juga manusia biasa yang hatinya bisa terbolak-balik begitu saja. Tanpa dikira. Tanpa dinanya. Tapi aku menyadari semua, meskipun telat sudah waktunya. Remang itu pelan-pelan menjadi titik cahaya. Terang yang menuntunku kembali pada beningnya mata. Mengganti jengah isian dada. Menjernihkan kusut beban kepala.

Titik terang dua. Diteduh malam berpayungkan rasi bintang itu udara memeluk kujur tubuhku hingga menggigil menembus ubun kepala. Wajahku menengadah, jiwaku masyuk meraba-raba kembali jejak payah. Di tanduk ingatan itu kita kembali bertemu. Aku kembali bertamu di bilik suara. Di ruang itu kita saling memintal saut, bertransaksi rasa hingga habisnya kata. Sementara ibu-bapakmu menitipkan kuping di daun pintu yang terbuka sengaja. Untungnya lantang suaraku tak mengusik mereka karena kebetulan aku berhati-hati meronce bisikan dada. Aku sibuk mengayam bahasa.

Tuturmu masih mulus menjejak di klise dalam kepala. “Aku hendak menjadi anak adopsi Siti Khadijah, Siti Aisyah, R. A. Kartini, Fatimah Fernisi, Gerwani, Bu Susi dan perempuan hebat lainnya. Tapi, aku tak pernah punya kuasa. Tak pernah diberi ruang untuk menghela pembelaan rasa meski seujung kuku adanya. Tradisi menjaga nasabiah telanjur kuat menggurita di sana. Lantas aku tak mampu berterus terang perihal kesediaan perjodohanku dengan lelaki pilihan Abah.”

“Teriris rasanya. Telah banyak usia aku habiskan waktu di penjara suci yang dihendaki Abah dan Mamak. Aku sibukan hidupku untuk mencukupi keinginan dan cita-cita keduanya. Hingga kuabai dengan kehendak hati dan kesadaran diriku untuk hidup merdeka. Tanpa mengekang diri dengan setumpuk alasan karena pahala, iming-iming surga dan baktiku pada mereka yang kupuja. Dan kini, saat hatiku menggetar melihat sesosok yang membuatku damai karenanya, aku tak pernah mengungkapkannya. Aku tak pernah diizinkan untuk mengutarakan rasa yang kupunya. Walaupun itu harus kueja dengan terbata-bata. Bagiku menyerahkan jiwa-ragaku untuk kepentingan orang tua adalah tahta.” Alena menghela nafas panjang diiringi sesenggukan.

“Sejak kapan aku tak punya hak atas hidupku Bil? Sejak kapan aku tak punya hak kemana aku harus memuarakan rasaku Bil? Sampai kapan harus mengekang rasaku Bil? Sampai kapan aku harus membohongi diri sendiri Bil? Sampai kapan aku harus berpura-pura sepaham dengan kehendak orang tuaku Bil? Sampai kapan aku harus menjadikan jiwa-ragaku ladang subur untuk dijajah sementara nurani kecilku mengazamkan diri untuk membuat keputusan secara mandiri, merdeka. Mungkin iya, dari dulu hingga kini aku selalu menunduk dan diam seribu bahasa jika orang tuaku sedang mendawuh. Tapi dalam diamku, batin dan nalarku sedang berkecamuk. Mau diapa sekarang Bil?”, Cetus Alena.

“Bukankah aku munafik Bil? Bukankah Nabi Adam dan Siti Hawa dipertemukan kembali di dunia karena perkara cinta? Bahkan Allah menghukum mereka karena tipu daya yang berselimut dalam kabut asmara. Jika Allah menjadikan cinta untuk membuat umatnya bahagia lantas kenapa kini aku tak dapat meraihnya? Apa pahamku akan cinta keliru? Apa iya cinta versi rasaku hanyalah ego yang tak layak kuperjuangkan? Aku sudah berputus asa Bil.”

Bilqis menimpali, “tidak Len, kamu berhak atas kebebasanmu. Kamu berhak menentukan kebahagiaan masa depanmu. Kamu punya kuasa memilih akan kemana melabuhkan cintamu. Yang masih mengganjal sekarang ini adalah kesungkananmu mengutarakan segala rasamu pada Abah dan Mamak. Jika selama ini kamu diam dan selalu tunduk, taat kepada beliau, aku pikir itu tidak salah Len. Bukankah kewajiban seorang anak adalah berbakti kepada orang tua? Mendidik anak-anaknya dengan gemblengan keras memang dibutuhkan oleh kita, agar kelak menjalani hidup tidak merana. Bukankah demikian benarnya?”.

“Adapun soal jodoh-menjodohkan aku pikir itu i’tikad baik dari orang tuamu. Karena bagaimanapun tak ada orang tua yang menghendaki kesengsaraan hidup bagi anak-anaknya. Pasti terselip alasan kenapa mereka memilih dia. Hendak menjodoh dirimu dengan dirinya. Ada standaritas yang mereka pertimbangkan matang-matang. Bukan sekadar desas-desus yang digoreng sesaat demi kepentingan komersil. Sekarang, tenangkan dulu dirimu. Dengarkanlah aku baik-baik Len.”

“Memang seharusnya perjodohan itu tidak mendadak. Menodongmu begitu saja. Alangkah baiknya jika keduanya memberi ruang diskusi terbuka untukmu menyeruakan rasa yang sesungguhnya. Setuju atau tidak. Untuk memberikan alasan dan berbagai pertimbangan gamblangnya, hingga mengikis ragumu. Dan itu setidaknya akan membuat dirimu lega serta ikhlas atas semua itu. Tapi apa daya sekarang cerita sudah di ujung tanduk. Tiga bulan sudah kamu dikhitbah lelaki bukan pilihanmu. Dan kini kamu baru mengadu kepadaku. Padahal tiga hari lagi engkau hendak menghelat akad. Ah gila. Gila kamu Len.”

“Ya, aku paham. Posisimu sebagai putri bungsu Kiai tersohor membuatmu tak bebas bergerak. Bahkan setiap tingkah lakumu saja selalu dipotret. Dikorek-korek takutnya ada borok. Tapi aku juga paham tongkat perahumu telah mulai kau dayung dengan penuh kegamangan. Penuh dengan keterpaksaan. Tapi sayangnya tak satu pun orang memahaminya dengan benar. Termasuk dirimu sendiri yang gagal paham maunya apa. Harus ke mana arah perahu itu dilabuhkan. Sementara sekarang, posisinya persis di tengah laut. Tepatnya masih berputar-putar di tempat.”

“Tak apa meskipun telat. Sekarang kamu saatnya jujur kepada orang tuamu. Mungkin iya kamu akan dicap lancang dan tidak sopan karena membantah kehendak baik orang tua. Tapi tak apa, semuanya perlu kejujuran dalam menata perjalanan hidup. Kamu sampaikan semua keluh jesahmu dengan bahasa ketulusan. Biarkan rangkai kata itu menemukan belahan jiwa kejujuran lain dalam diri Abah dan Mamak. Kamu pertahankan semampumu. Kamu sampaikan niat baik dan pilihanmu. Mungkin saja itu mampu meluluhkan hati beliau.”

“Kamu surati lelaki pujaanmu yang lengking suaranya menggeliatkan dahagamu di setiap Subuh. Adzannya selalu menyentuh hatimu. Sampaikanlah niatan dan rasamu. Sentuhlah kalbunya hingga ia berani menunjukkan batang hidungnya di hadapanmu. Di hadapan kedua orang tuamu. Suruhlah ia bergegas menghalalkanmu. Karena ini situasinya urgen dan genting. Nasibmu berada pada keputusannya.”

Lantas Alena menghela nafas panjang dan memberanikan diri jujur di hadapan Abah dan Mamak. Hingga sampailah mereka memberikan kesempatan itu pada Alena. Membatalkan khitbah menjanjikan hal indah. Tapi masanya tetap tidak berubah, orang tuanya hanya memberi jangka waktu tiga hari untuk mendatangkan lelakinya itu. Menggenapkan kebebasannya dan keberuntungan itu.

Terhitung, ini sudah dua hari semenjak Alena mengirimkan surat penegasan kepada lelaki itu. Tapi tak kunjung ada selembar surat yang melayang ke alamat rumahnya. Dibuatnya kecewa Alena bukan kepalang. Hingga akhirnya ia dirajuk Abahnya untuk bersedia meneruskan pernikahan atas dasar perjodohan itu. Kandaslah kesempatan lelaki dambaan itu. Kini Alena sah menjadi istri lelaki asing yang tak pernah dikenal sebelumnya.

Titik terang tiga. Seminggu kemudian sampailah surat itu di tangan Burhan. Sosok pendamping yang diidamkan Alena. Ya, Burhan pemilik lengking suara di setiap penghujung adzan lima waktu itu. Tapi Burhan kalang kabut seketika tatkala ia tahu bahwa kesempatan terakhirnya telah sirna termakan masa. Mungkin ini alasan kenapa di awal mula pak pos pengantar surat terus meminta ma’af atas keterlembtannya mengantarkan paket. Tidak hanya itu, mungkin ini juga jawaban atas mata kanannya yang kerap kali berkedut akhir-akhir ini.

Dengan sesenggukan akhirnya, Burhan pun membalas surat itu dengan linangan air mata. Tulisnya demikian;
“Khuamiraku Alena. Namamu selalu kuingat. Tutur katamu selalu menjadi semangat. Tapi kini, engkau menjadi pendamping hidup lelaki lain. Biarkan semua kenangan itu aku yang menyimpannya rapat-rapat. Kamu jangan. Pupuslah semua tentangku di setiap awakmu sebagai pecinta. Aku relakan dirimu hidup bahagia dengan lelaki lain yang menjadi pilihanmu. Yang menjadi jodohmu hingga maut memisahkan. Akan kukirimkan do’a terbaik untuk menyempurnakan kebahagiaan hidup barumu. Aku telah ikhlas, Alena. Ma’afkan aku yang baru bisa membalas kabar tentang sejenak kebebasanmu itu. Dan aku sedikit menyesal karena surat itu baru sampai di tangan seminggu yang lalu. Alhasil, habislah sudah kesempatan “bahagia” itu. Tapi aku tak ingin menyalahkan tukang pos. Mungkin itu salah satu jalan Allah memberikan jawaban bahwa engkau bukan jodohku.”

Titik terakhir. Ya, aku baru tersadar dan memahami betul bagaimana berkecamuknya gejolak rasa Alena waktu itu selepas bertegur kasih dengan Bilqis di warung bakso. Di sanalah aku tertegun bercampur tidak percaya mendengar pengakuan Bilqis. Ceritanya membuatku seakan-akan mejadi Qais si Majnun kekasih Laila. Tapi mau diapa, seperti halnya novel Buya Hamka tentang cintanya Zaeinuddin dan Hayati yang telanjur merasa terbuang karena pernikahan Hayati dengan lelaki lain, begitu halnya dengan aku.

Tapi rencana Allah tiada dua. Dulu Bilqislah yang menjadi sampan pesan di antara kami berdua. Dikala Burhan dan Alena dihujani rintik asmara. Tak disangka, akhirnya kini sampan itu berlabuh di hadapannya. Menjadi pendamping hidup yang saling melengkapi masing-masing kekurangannya. Mengobati getirnya hidup yang menjadikannya sinis terhadap cinta. Akhirnya Burhan pun tak sempat lagi mengucapkan kata perpisahan termanis untuk Alena, “Kutunggu jandamu, Len”. Seandainya Bilqis tahu, mungkin si Burhan sudah mati berdiri karena dijewer.

Akhirnya, kita menyadari bahwa manusia hidup di antara lingkaran cinta yang membudakan atau mungkin memberdayakan diri. Setiap manusia yang membudakan diri pada cinta terkuburlah semua cita-cita dan mimpi terbesar dalam hidupnya. Namun mereka yang menjadikan cinta sebagai upaya memberdayakan potensi diri, cintanya akan mengantarkan masing-masing pribadi pada arti dan hakikat kehidupan yang hakiki. Termasuk kebahagiaan itu menjadi salah satu arti di dalamnya.

Tertanda bukan mantan kekasih Alena.
Tulungagung, 30 Januari 2021


Surat untuk Alena

Surat untuk Alena

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Waktu dalam sunyi kutemukan remah mimpimu. Kutanyakan berulangkali kepastian tentang hal itu. Tentang kegigihan menggantungkan tiap-tiap citamu. Sandaran hidup masa depan yang terus menggila dan bergerilya dalam benak pikiranmu. Pun sebelumnya aku tak pernah mau tahu dan sekarang kenapa aku mendadak rugi karena ingin menahu?Apa benar kegilaanmu telah menular akut pada sungkanku? Sampai hati, hingga aku melupa perihal janji dan sumpah serapah yang sempat keluar dari mulut sompralku. "Aku budakmu! Aku serdadu kumbang yang akan meluluhlantakkan mimpi-mimpi mu! Aku telanjur menggamit obsesi untuk melampiaskan semua sendumu. Menimpahmu dengan segala sengkarut yang kusebut dendam karena sikap acuh, tak pedulimu".

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset