Satu orang bertambah saat aku, Winda, dan Fey menikmati hidangan mengisi tenaga. Kali ini Peter duduk di sebelahku dan kami membicarakan tentang penyerang yang akan kami lakukan esok.
“Kamu berani sekali datang ke tempat mereka.” Ucapku membuka pembicaraan.
“Aku Sebenarnya ingin menyerang mereka langsung, tetapi yang mereka bicarakan lebih penting aku sampaikan kepada kalian, daripada aku mati konyol.” Jawabnya.
“Kenapa tempat mereka begitu terbuka?, tidak seperti di sini.” Tanyaku.
“Karena aku dan kelompok ini sudah sedikit demi sedikit melawan mereka. Jika kamu tahu, dahulu penjaga tempat itu melehebihi di sini sekarang, begitu ketat sampai kami setiap hari menyerang.” Cerita Fey.
“Kenapa mereka tidak merekrut orang baru saja seperti aku?” tanyaku penasaran.
“Aku tidak tahu, yang aku tahu, jika kamu merekrut seorang penjahat bisa jadi dia adalah penghianat.” Jelas Fey.
“Pantas saja.” Ucapku mengerti.
Suasana lalu hening sejenak, memikirkan apa yang akan kita bicarakan.
“Lalu, apa kelemahan dari Merlin?” tanyaku.
“Bukannya sudah aku jelaskan.” Jawab Winda.
“Kau hanya jawab temukan jasadnya, bangunkan dan bunuh. Segampang itu?” ucapku.
“Iya memang segampang itu, Sam. Tapi menemukan jasadnya yang tidak mudah.” Ucap Fey bijak.
“Apakah Master tidak pernah memasuki bangunan itu?” tanyaku.
“Pernah, ditempat itu terdapat ruangan bawah tanah, jalannya seperti labirin, dan kamu bisa menemukan pintu yang tertutup mantra dan dijaga oleh seekor anjing.” Jelasnya.
“Binatang pun bisa seperti kita?” tanyaku.
“Aku belum pernah mencobanya, tapi anjing itu aku rasa Merlin yang menciptakannya.” Jelasnya.
“Aku tidak yakin bisa mengalahkan orang sehebat itu.” Ucapku tiba-tiba.
“Kenapa sekarang kamu menjadi tidak bersemangat?” tanya Peter.
“Tidak, aku hanya kagum, bagaimana bisa manusia menciptakan mahluk seperti itu.” Ucapku.
“Akupun bisa melakukan hal itu, Sam. Apakah harus aku membuatkanmu seekor kuda?” tanyanya.
“Tidak usah, Fey. Aku bisa terbang sendiri.” Ucapanku sedikit membuat mereka tersenyum.
“Oh iya, Sam. Bisa kau ceritakan sedikit tentang dirimu?” tanya Winda.
“Kenapa?, kalian sudah tahu aku bukan?.” Ucapku.
“Tidak apa-apa, Sam. Mungkin jika kau mati, kamu bisa ditulis dalam buku sejarah.” Canda Peter.
“Baiklah. Aku hanya seorang pengantar paket di kota ini, pendidikanku tidak lebih dari SMA dan aku tinggal sendiri di apartemen pemberian orang tuaku.” Ucapku.
“Lalu bagaimana kamu bisa mengendalikan mimpimu?” ucap Fey.
“Aku hanya terus berlatih, dan hal yang penting adalah aku harus sadar bahwa aku sudah dalam mimpiku.” Jelasku.
“Tapi kamu hebat, Sam.” Ucap Winda.
“Tidak, semua orang bisa berlatih hal tersebut jika mereka mau.” Ucapku merendah.
“Aku rasa kamu memiliki jiwa pemimpin yang bagus, Sam.” Ucap Fey.
“Terima kasih. Tapi kenapa kalian memujiku terus?” ucapku sedikit kesal.
“Tidak, kita hanya memberik semangat padamu.” Ucap Winda.
“Baiklah. Eh, Master. Apakah Master masih menyimpan buku catatan yang lain?” tanyaku.
“Buku catatan?, kamu membaca yang ada di perpustakaan?” tanyanya dan aku balas anggukan.
“Aku sengaja melenyapkannya agar tak seorang pun tahu, dan ternyata masih tersisa.” Ucapnya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Tidak apa-apa, Sam. Hanya coretan-coretan kecilku.” Ucapnya.
Fey lalu beranjak dari kursinya.
Kami bertiga lalu saling bertatapan, dan ikut meninggalkan ruangan tersebut
“Kita akan kemana sekarang?” tanyaku kepada Winda.
“Kamu mau latihan atau santai-santai saja?” tanya dia kepadaku.
“Inginnya santai sih.” Ucapku.
“Kalau gitu kita cari pakaian buat besok.” Ucapnya.
“Pakaian?, emangnya kita mau ke acara pesta?” tanyaku sedikit meledek.
“Memang, besok akan penuh cahaya dan ledakan.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Pesta kematian itu namanya.” Ucapku.
Kami lalu menuju ruang pakaian, tetapi Peter sudah terpisah sejak dari ruang makan tadi.
“Apa cuma kita bertiga yang makan disitu.” Ucapku.
“Di situ hanya orang penting saja, karena setelah makanlah kita membicarakan apa yang akan dilakukan dan hal lainnya.” Jawabnya.
Ruang pakaian sudah di depan mata, Winda Lalu membuka pintu dan kami pun masuk. Ruangan ini masih sama seperti dulu, ruangan yang cukup besar dan dikelilingi oleh cermin, bentuknya persegi dan di ujung ada tempat aku ganti pakaian dulu.
“Pakaian perang ada di sebelah sini.” Ucap Winda sambil menggeser kaca yang besar.
Aku lalu melihat banyak pakaian, lebih tepatnya jubah berwarna putih.
“Silahkan pilih, Sam.” ucap Winda.
“Pilih?, bukannya pakaian di sini sama semua?” tanyaku.
“Memang kelihatannya sama, tapi saat kamu memakainya, ada kekuatan yang kamu dapatkan berbeda-beda dari setiap jubah ini.” Jelasnya.
“Lalu bagaimana bisa aku tahu fungsi dari jubah tersebut?” tanyaku.
“Kamu harus mencobanya satu persatu.” Jawabnya.
“Aku rasa yang menciptakan pakaian ini adalah perempuan.” Ucapku sambil memilih jubah yang modelnya sama semua.
Aku lalu terhenti di salah satu jubah, dengan lingkaran emas di lengan kanan.
“Aku ingin mencoba yang ini.” Ucapku.
“Ini, pakailah diruangan itu.” Ucap Winda.
“Kenapa tidak di sini saja.” Tanyaku.
“Kamu harus melepaskan pakaianmu itu terlebih dahulu.” Jawabnya dan aku pergi ke ruang ganti.
Aku melepaskan semua pakaianku, dan memakai jubah itu. Ukurannya memang besar, telapak tangan dan kakiku tertutup oleh jubah ini.
Aku lalu keluar dan menemui Winda.
“Bagaimana?” ucapku.
“Menurutmu bagaimana.” Ucapnya singkat.
“Aku tidak tahu, dan bagaimana bisa aku mengetahui kekuatan dari jubah ini.” Ucapku bingung.
“Ayok kita ke ruang latihan sekarang.” Ajaknya.
Aku memang sedikit malu mengenakan jubah ini, karena semua pandangan tertuju kepadaku dan aku ingin cepat sampai ke tempat latihan.
“Sebenarnya ruangan ini belum cocok untukmu, tapi aku akan membantumu jika kamu kesulitan.” Ucapnya.
Kami lalu memasuki pintu paling ujung, memang beberapa pintu aku lewati begitu saja.
Seperti biasa kami duduk berhadapan dan meminum setetes air yang berada di meja.
“Persiapkan dirimu, Sam.” Ucap Winda.
Kami lalu tertidur dan roh kami yang bangkit.
“Hei, lihat jubah ini masih melekat ditubuhku.” Ucapku konyol.
“Jangan bercanda. Sekarang kamu akan menghadapi sosok ilusi yang cukup kuat.” Ucap Winda membuat aku sedikit takut.
“Baiklah kalau begitu. Kamu akan membantu jika aku dalam bahaya?” tanyaku.
“Iyah, apa kamu siap?” ucap Winda yang aku balas anggukan.
Dia lalu mengeluarkan sosok itu, sosok seorang wanita dengan jubah hitam, rambutnya terurai sebahu dan tatapan matanya penuh kebencian.
“Winda, jangan kamu katakan ini dia.” Ucapku.
“Itu memang dia, Sam.” jawabnya.
“Baiklah kalau begitu aku akan melawannya sebisaku.” Ucapku.
“Aku tahu kamu pasti akan mengerti apa kelemahannya dan ingat hal tersebut.” Nasihatnya.
“Aku sudah siap, Winda.” Ucapku.
“Mulai!” teriaknya.