Medina Nayyara
“Nay, gila!!! Kamu nikah ngak ngundang-ngundang aku !!!”
Suara cempreng Phie menusuk gendang telingaku. Kepala kusandarkan di jendela kaca mobil yang berembun. Hujan menderas mengguyur ibukota saat kami tiba. Apa ini sebuah pertanda buruk ?
“Kamu berhutang penjelasan Nay,”cecarnya.
Aku menghela nafas,”Pernikahanku bukan sesuatu yang penting,phie.”
Aku merasakan tatapan mata dari laki-laki yang duduk di sebelahku dalam diam dan juga asisten pribadinya yang dari awal terlihat tidak begitu menyukaiku. Masa bodoh dengan semuanya.
“Kamu jangan ngomong sembarangan. Aku kaget setengah mati saat Aisyah bilang kalau kamu sudah menikah dan akan tinggal menetap di Jakarta. Dan aku ngak mau tahu Nay. Kamu harus meluangkan waktu buat meet up sama aku dan suamimu juga harus ikut.”
“Oke ngak masalah. Tapi suamiku orang sibuk. Dia ngak ada waktu buat ngumpul atau sekedar meet up sama orang yang dianggapnya ngak penting. Jadi mending ngak usah berharap banyak. Tapi aku janji, aku akan secepatnya nemuin kamu.”
Phie terdiam di sana ketika mendengar nada ketusku. Lalu dia mulai nyerocos,“Gue ngak…..”
Tiba-tiba saja suara Phie di telingaku menjauh karena ponsel yang kupegang sudah berpindah tangan. Ibrahim menahan pergelangan tanganku yang berniat mengambilnya secara paksa. Aku menatapnya tajam namun diacuhkan karena dia sibuk menyapa Phie di sana.
“Hai,Phie.”
“Iya. Aku Ibrahim Zayn. Suami Nayya.”
“Ngak. Dia masih ada disebelahku lagi melotot.”
Aku mencoba menarik tanganku tapi kalah tenaga. Ibrahim tertawa sesaat lalu menganggukkan kepalanya,”Oke. Ngak masalah. Kapanpun itu kami bisa kok.”
“Iya. Nanti aku sampaikan salammu.”
“Walaikumsallam.”
Ibrahim menarikku mendekat hingga aku terjungkal di dalam pelukannya dan memasukkan ponsel milikku ke dalam tas kecil berpergianku.
“Phie, titip salam. Katanya dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan kita minggu depan.”
Aku menarik diri dan menyentakkan tanganku,”Persetan !!!”
Aku membuang muka dan duduk memunggungi Ibrahim memilih menatap jalanan di luar yang masih dinaungi hujan deras. Semua hal yang aku ingin lakukan hancur seketika karena pernikahan ini dan aku pasti ngak akan bisa kembali ke Vancouver menikmati kebebasanku. Sialan !!!!
“Kita hampir sampai Nay,”Ibrahim masih dengan suara lembutnya berbisik di belakang.
Aku diam tidak bergeming. Aku sedikit cemas dengan apa yang akan aku dapatkan di sana. Tidak ada gambaran yang masuk ke dalam bayanganku terkait kata-kata Ibrahim kemarin. Memangnya ada apa di rumah laki-laki itu ?
Mobil semakin memasuki sebuah kawasan perumahan asri yang masih dikelilingi perbukitan. Nuansa hijau dan pasti udara yang segar masih bisa dirasakan di tempat ini.
“Semua sudah siap. Kalian harus beristirahat dulu sebelum makan malam dengan semuanya.”
Aku mendengar Keenan berbicara di kursi depan.
“Baguslah kalau begitu. Aku merindukan mereka semua. Kamarku sudah kamu rombak sesuai dengan apa yang aku inginkan kemarin kan ?”
Aku semakin mengeryit bingung.
“Sudah. Semua sudah siap. Kapan pun kamu mau melakukan ritual malam pertama, semuanya perfect.”
“Keenan. Jaga omongan,”tegur Ibrahim.
Aku langsung berbalik dengan tatapan sengit,”Aku minta kamar terpisah.”
Seketika suara rem diinjak terdengar berdecit bersamaan dengan mobil yang berhenti sempurna di dekat sebuah tanah lapang. Dua laki-laki itu langsung memandnagiku dengan ekspresi kaget yang begitu kentara. Aku balik menantang dengan menatap mata mereka satu-satu.
“Hei, dia itu suamimu. Istri seharusnya tidur dan melayani suaminya. Bukannya malah minta pisah kamar,”Keenan terlihat emosi.
“Keenan,”tegur Ibrahim.
Aku mulai naik darah,”Ingat ya !!! Disini aku sudah menjadi korban pemaksaan. Diharuskan menikah dan mengikutinya. Aku sama sekali ngak mau!!”ucapanku ngak kalah sengit.
Keenan sudah mulai akan berbicara lagi ketika Ibrahim yang lebih dulu membuka suara.
“Aku ngak akan biarkan kamu tidur sendirian Nay,”Ibrahim berbicara penuh kelembutan.
Aku mendelik,”Aku memang istrimu, tapi kamu ngak berhak untuk mengaturku karena dari awal aku ngak pernah menyetujui semua ini. Kalau kalian memaksa jangan salahkan aku kalau mengambil tindakan anarkis.”
Ibrahim sontak terdiam dan menarik bibirnya dalam satu garis keras memandnagiku tidak percaya. Harus aku yang mengendalikan semuanya bukan dia.
“Nay, aku ngak bisa mengabulkan permintaanmu yang ini. Sudah tanggung jawabku untuk menjagamu.”
Aku tertawa,”Aku ngak minta pertanggung jawabanmu. Berapa kali harus aku bilang kalau kamu harus berhenti berpura-pura berlagak jadi superhero kayak gini. Aku tahu pasti, kamu memiliki maksud tersembunyi dengan menikahiku. Ngak ada laki-laki waras yang mau menikahi janda yang rusak kayak aku. Kamu ngotot ngak mau pisah kamar karena mau nyentuh aku seenaknya kan. IYA KAN ?!!!”
Aku melihat mata biru itu menampilkan ekspresi kesedihan yang nyata. Pandangannya menembus ulu hatiku seperti berusaha menyampaikan bahwa semua yang aku lontarkan tadi telah menyakiti hatinya sedemikian rupa. Tapi aku tetaplah aku. Dari awal seharusnya dia sudah tahu akan jadi apa pernikahan yang tidak jelas ini selain hanya akan menyakiti kita berdua dan dia dengan bodohnya berlagak tidak peduli bagaimana aku dan masa laluku.
“Aku bisa melihatnya. Iya kan Ibrahim Zayn ? Itu niat busukmu kan ?!”
Keenan yang kemudian angkat bicara karena bisa aku lihat Ibrahim cukup shock mendengarnya. Dia mengepalkan tangannya begitu erat, mengacak rambutnya hingga berantakan dan menoleh ke luar.
“Perkataanmu sungguh keterlaluan Nay. Tidak bisa kah kamu melihat sedikit saja kebaikan yang coba Ibrahim tunjukkan buat kamu. Bisa tidak kamu berfikir kalau banyak hal yang dia korbankan untuk bisa menikahimu. Termasuk keluarganya,”lirih Keenan.
Aku mendengus tidak peduli,”Itu lah kenapa aku bilang dia sudah gila dan bego. Laki-laki lain yang lebih waras dalam berfikir pasti akan memilih tidak terlibat dengan hal semacam ini. Semua ucapan kesedihanmu itu lebih baik kamu tunjukkan buat dia,”aku menunjuk Ibrahim yang masih saja diam,”Karena aku tidak peduli.”
Aku keluar dari dalam mobil yang langsung disambut guyuran hujan yang semakin menderas. Aku juga mendengar teriakan Ibrahim di sampingku.
“Nayya, tidak !!! Jangan pergi.”
Aku tidak paduli. Aku berlari semakin memasuki kawasan perumahan yang luas itu berlari diantara hutan dan pekarangan rumah mencoba menghindar. Aku tidak berniat menoleh ke belakang karena aku tahu walaupun perkataanku berhasil melukai Ibrahim sedemikian rupa , aku ragu kalau dia tidak akan mengejarku.
Dia memang bodoh.
Bisa-bisanya membuat hidupku semakin sulit. Aku hanya mau bebas berkelana di luar sana bukan malah menjadi seekor burung merpati yang di kurung di tempat asing. Aku hanya mau dia kembali berfikir dengan semua ini dan mengambil keputusan yang lebih waras.
Aku melambatkan laju langkah kakiku karena tidak melihat siapa-siapa di sekitarku. Tempat ini sunyi, dengan pepohonannya yang masih asri dan perumahannya yang bisa di bilang cukup mewah tapi cukup sepi. Aku mengabaikan hawa dingin yang meninggalkan jejak basah di seluruh tubuhku.
Aku lingkarkan kedua lenganku di badan dan menyeret langkah kakiku lebih jauh. Seakan-akan ada sesuatu di ujung sana yang begitu kuatnya menarikku mendekat. Aku sudah hampir mati rasa karena kedinginan dan berniat berteduh di bawah semuah kenopi rumah kayu yang digunakan sebagai gudang. Aku bersandar dan menghela nafas berat di sana mencoba mengedarkan pandangan yang buram karena hujan deras membatasi arah pandangku.
Aku mengusap wajahku dengan tangan ketika mendengar rintihan itu. Aku menajamkan pendengaranku dan tahu bahwa suara itu berasal dari dalam rumah kayu itu. Aku mencoba mengintip dan seketika terbelalak ketika menemukan seorang anak laki-laki berumur lima tahun duduk meringkuk memeluk lututnya dan menenggelamkana kepalanya di sana dengan isakan lirih. Aku tertegun melihatnya.
Jelas terlihat kalau dia ketakutan, tapi dia berusaha tetap diam di tempat dan menangis lirih. Anak itu kuat, batinnya.
Tanpa keraguan lagi, aku masuk membuat anak itu mengangkat kepalanya dan menatapnya masih dengan air mata di disana. Langkahku terhenti karena entah kenapa hatinya begitu sakit melihat raut kesedihan di sana. Wajahnya tampan walaupun dia masih kanak-kanak. Tatapan matanya tajam tapi juga sangat kekanak-kanakan. Manik matanya bergerak-gerak menatapku mungkin kaget dengan kedatanganku yang tiba-tiba,
Sedetik kemudian, anak itu menangis kencang memanggil satu nama yang membuatku tertegun.
“Maaamaaaa.”
Seketika juga naluri keibuanku langsung naik merangkak ke permukaan setelah tertidur hampir bertahun -tahun lamanya. Aku mendekatinya dan langsung memeluknya. Anak itu entah bagaimana langsung memelukku erat.
“Aku takuttt,”katanya dengan suara cadel.
Aku tertawa dan mengelus rambut hitam legamnya,”Tenang sayang. Aku sudah ada disini dan kamu akan baik-baik saja.”
Nayya menyanyikan senandung lagu bobo berharap anak itu bisa tenang dan terlelap. Setelah merasakan tidak ada pergerakan lagi, Nayya melihat anak itu yang memejamkan mata. Matanya mulai berkaca-kaca tapi dia tidak mau menangis sekarang karena rasa hangat yang menjalar di seluruh tubuhnya.
Aku mengedarkan pandangan dan melihat berbagai macam barang bekas di sana tapi penerangan cukup membuat semuanya tidak nampak menyeramkan. Hujan semakin menderas di luar sana membuatkutidak sadar telah menyandarkan tubuh di dinding belakangku dan tertidur.
Tidur nyenyakku yang kedua setelah malam itu aku tidur di samping Ibrahim.
Ibrahim Zayn
Mungkin pendapat Nayya benar. Aku memang laki-laki yang tidak waras dan sudah gila karena menerima wanita seperti dirinya untuk diperistri. Dia sudah melukaiku sedemikian hebatnya. Kenyataan bahwa dia pernah menjadi selingkuhan papiku membuatku begitu terpukul. Aku sempat bertanya -tanya apa memang dunia sekecil itu sampai kejadian seperti ini tidak terhindarkan. Tapi aku tahu, bagi yang maha kuasa, dunia ini tidak ada apa-apanya. Karena DIA yang menggenggamnya begitupula dengan semua nasib yang ada di dalamnya. Jadi seharusnya aku tidak mempertanyakan hal itu lagi karena jawabannya sudah jelas.
Demi Dzat yang maha membolak balik hati, aku hanya menginginkan kebahagiaan untuk Nayya. Agar dia tidak semakin hilang arah dan mengalami depresi akut. Beberapa minggu ini, dia bereaksi terlalu berlebihan menyebabkan daya tahan tubuhnya semakin melemah. Dokter mengatakan kalau dia mengalami guncangan batin yang hebat dan jalan satu-satunya agar dia tidak terus menerus histeris dan menangis dengan menciptakan suasana atau kondisi yang membuatnya nyaman.
Tapi masalahnya itu bukanlah hal yang mudah dilakukan oleh Ibrahim.
Butuh usaha dan tekad yang kuat karena Nayya begitu keras kepala. Padahal aku ingin sekali merengkuh tubuhnya, menyelimutinya dengan kehangatan dan akan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Aku akan memastikan semuanya berjalan sesuai dengan keinginannya ketika sampai di rumah karena biar bagaimanapun kenyamanan Nayya dan kestabilan emosinya yang kadang bisa meledak-ledak adalah yang utama bagiku.
Tapi permintaannya tadi untuk pisah kamar, sejujurnya membuatku marah.
Aku sudah melihat bagaimana dia tidur dengan linangan air mata. Tidak ada ketenangan sama sekali. Di malam setelah kami resmi menjadi sepasang suami istri, Nayya menjerit dalam tidurnya. Memanggil nama anaknya,suaminya dan keluarganya yang lain. Yang aku ketahui, bahwa kejadian seperti itu biasanya tidak hanya terjadi sekali. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana cara Nayya sebelum ini mengatasi semuanya. Tapi ternyata wanita itu sama sekali tidak ingat dan menyadarinya.
Malam itu, aku yang terbangun karena dia histeris sempat bingung karena sebelumnya aku tidak pernah dihadapkan pada situasi yang seperti itu. Tapi naluriku mengatakan bahwa, sebuah pelukan yang hangat bisa membuat seseorang jauh lebih tenang. Dari situ, aku coba untuk melakukannya. Aku memeluknya padahal dia masih terisak dan meronta. Setelah aku memeluknya lebih erat dan menyenandungkan shalawat di telinganya, rontaannya mereda. Perlahan tapi pasti dia kembali tidur bahkan sangat nyenyak di lihat dari naik turun nafasnya yang teratur.
Malam itu, untuk pertama kalinya aku menangis sambil memeluk Nayya.
Dia membawa semua beban dari kegelisahan, kemarahan di dalam hatinya sendiri. Hingga tidak sadar membuat tubuhnya menjadi semakin melemah. Dia harus dibebaskan karena aku sama sekali tidak mau hal yang buruk terjadi.
Kata dokter, saat aku mencoba berkonsultasi via telepon, kejadian seperti itu yang terus-terusan terjadi dan dibiarkan bisa menyedot jiwanya maksud lainnya adalah dia bisa kehilangan kesadarannya atau lebih tepatnya kewarasannya.
Karena itu, aku tadi merasa frustasi dan kacau saat mata nyalang sarat kemarahan milik Nayya menusukku. Permintaannya sama sekali tidak bisa aku terima karena satu-satunya hal yang dia butuhkan adalah rasa aman. Alam bawah sadarnya tahu betul akan hal itu tapi kekeras kepalaannya mengacaukan semuanya.
Ini semua bukan karena kewajibannya sebagai istri untuk melayaniku di atas ranjang. Aku menahannya bukan dengan maksud seperti yang tadi dituduhkan padanya. Demi apapun, aku tidak akan memaksakan kehendakku sebelum dia siap lahir dan batin dan aku akan menunggu tapi aku tidak bisa membiarkan dia tidur sendirian setiap malam dan masih menganggap kalau dia hanya sebatang kara tanpa penopang.
“Hujan makin deras,Zayn.”
Aku menoleh dan melihat gurat kegusaran dalam mata Keenan. Aku menghela nafas dan mengangguk. Sejak tadi kami sudah berkeliling menyusuri komplek. Semua pekerja di rumah di bantu beberapa orang juga ikut mencari Nayya. Dia tidak mungkin pergi jauh karena kompleks ini cukup luas dan gerbang depan sudah aku minta untuk di tutup.
Nayya pasti bersembunyi di suatu tempat yang teduh.
“Aku minta maaf kalau tadi memperburuk keadaan. Aku hanya tidak terima dia berbicara yang macam-macam,”ucap Keenan tulus.
Aku tersenyum,”Dia benar Nan. Aku memang lelaki gila yang mau-maunya menjadikan dia seorang istri. Kamu laki-laki normal saja terlihat tidak menyukainya. Tapi kamu tahu alasannya tidak sesimple itu.”
Keenan yang berdiri memegang payung kuningnya menundukkan wajah,”Ya aku tahu.”
“Makasih karena sudah mengerti. Ayo kita cari dia lagi.”
“Oke.”
Kami memutuskan berpencar. Aku berjalanan berlawanan arah dengan Keenan menyusuri rumah-rumah yang nampak sepi. AKu mengedarkan pandangan kesegala sudut seraya mengacak rambutku.
“Nay, kamu dimana ?”lirihku di tengah derai hujan.
AKu sampai di dekat area taman bermain ketika ponselku berbunyi. Aku mengeryit heran sesaat lalu mengangkatnya.
“Hai, Jen.”
Seseorang bernama Jane, penghuni salah satu rumah yang ada di kompleks ini yang hanya berjarak satu blok saja dari rumahku terdengar panik. Aku mengangguk cepat,”Oke. Aku kesana.”
AKu berlari menembus hujan dengan payung yang sejak tadi kupegang mengarah ke sebuah rumah bercat abu rokok. sesampainya di sana aku melihat Nayya sedang bertengkar dengan seorang wanita.
“Nayya,”panggilku.
Nayya melihatku lalu metanya membulat. Ada jejak air mata di sana yang membuatku khawatir. Nayya mendekatiku dan memeluk sebelah lenganku,”Ibrahim, tolong katakan sama wanita itu untuk tidak menyakiti Fatih atau aku yang akan membawanya.”
Aku mendengar suara seorang wanita tertawa. Bukan jenis tawa yang menyenangkan pastinya. Tentu saja aku mengenalinya. Dia adalah Martha dan anak laki-lakinya paling bungsu, Fatih. Seorang janda simpanan pejabat yang tidak pernah perduli dengan anaknya.
“Martha, kamu apakan lagi Fatih ?”
Aku mendekat membawa serta Nayya di sampingku. Wanita itu menatapku tajam,”Ck, dia siapa Zayn ? DIa tadi dengan seenaknya melarang aku mengambil anakku sendiri ?”
AKu melihat Fatih yang menangis tersedu-sedu mendengar semua perkataan mamanya di samping Jane yang sudah membawanya ke bawah lindungan atap rumahnya. aku kembali memasang wajah datar di hadapan Martha.
“Dia Nayya, istriku dan harus aku ingatkan berapa kali lagi kalau kamu melakukan tindak kekerasan sama Fatih maka aku yang akan membawanya,”ujarku tajam.
Nayya sontak menatapku,”Please,kita bawa saja Fatih ke rumah.”
Aku melihat mata Nayya yang biasanya dingin menjadi sehangat matahari saat membicarakan Fatih dan aku tahu apa artinya itu.
“Aku ibunya bukan kamu. Aku yang akan membawanya pulang !!”
Martha berbalik dan menarik sebelah lengan Fatih yang terseok di bawah guyuran hujan berlalu pergi kembali ke rumahnya. Aku menghela nafas dan menggelengkan kepala. Martha tetap tidak pernah berubah. Dia mungkin tidak memukul atau menghajar Fatih dengan keras tapi anak itu lebih banyak di acuhkan. Martha sibuk dengan pacarnya hingga melupakan memiliki anak yang masih butuh kasih sayang.
“Ibrahim,”lirih Nayya di sampingku. Aku memegang pipinya yang dingin,”Maaf Nay. Biar bagaimana pun Martha ibunya Fatih. Kita ngak punya hak untuk membawanya.”
“Tapi dia ketakutan Ibrahim. Aku tahu dan bisa merasakannya.”
Ibrahim tersenyum samar,”Aku tahu Nay. Aku tahu tapi sekarang tidak ada yang bisa kita lakukan. Kamu kedinginan dan sebaiknya kita pulang.”
Aku menoleh ke Jane yang masih memandangi kami dalam diam dengan senyuman hangat di wajahnya,”Maafkan kekacauan tadi Jane.”
Jane mengangguk,”Ngak apa-apa. AKu ucapkan selamat atas pernikahan kalian.”
“Terimakasih.”
Aku membawa Nayya yang terisak di sebelahku kembali ke rumah. Aku mengecup puncak kepalanya seraya tersenyum. Ada perasaan hangat dan lega yang menjelar di setiap inci tubuhku. Terlebih lagi, setelah ini aku tahu apa yang harus aku lakukan agar celah yang tadi sempat terbuka menjadi sebuah pintu masuk bagiku untuk bisa lebih memahami Nayya dan mengambil hatinya.
Alhamdulillah ya Allah, terimakasih karena satu petunjuk yang telah engkau berikan padaku.