Jonathan melihat ke arah mayat Marissa yang sudah terbujur kaku, wajahnya yang senang kelihatan membuatnya semakin kesal. Dia mengangkat mayat wanita itu lalu menenggelamkannya ke danau. Dia kembali ke mobil, kondisinya tidak jauh berbeda dengan Marissa. Kaca depannya bolong terkena peluru yang menembus kepala Marissa. Darah tercecer di sebagian kaca, dia tidak mungkin mengembalikan mobil sewaan ini dalam kondisi buruk.
Dia membawa mobil ini menjauh dari tempat pembunuhan Marissa, sudah tengah malam jalanan semakin sepi. Dia mencari suatu tempat yang bisa membuatnya dapat ditemukan, akhirnya dari kejauhan terlihat sebuah pom bensin. Jonathan mengendarai mobinya ke daerah semak-semak, meninggalkan mobil beserta kuncinya di dalam. Lalu dia berjalan menuju pom bensin yang memiliki mini market di area sekitarnya. Dia membeli beberapa minuman beralkohol untuk menenangkan pikiran.
Yang sudah terjadi biarlah terjadi, dia sendiri sudah siap menerima semua resiko kedepannya. Dia membuka ponselnya yang sudah diberikan oleh Jerry saat rekan polisinya datang ke hotel tempat Marissa berada yang hasinya nihil. Jerry memberikannya dan bilang Jonathan menjatuhkannya saat selesai makan di lantai atas hotel, cerita yang begitu konyol begitu pikir Jonathan.
Dia menghubungi Smith, lelaki perjaka seperti Smith tidak mungkin tidur di jam segini. Dia kadang suka datang ke kantor dalam kondisi yang sangat lemas karena tidak tidur seharian. Ucapan pertama Smith adalah menanyakan kencannya dengan Marissa, Jonathan menjawab singkat bahwa kencannya berakhir tragis.
“Bisa kamu temui aku di sini,” menyebutkan jalan serta pom bensinnya. “mobil sewaan yang aku sewa sudah mereka ambil,” padahal mobil sewaan itu dia sewa selama sehari, masih ada waktu sampai besok malam.
Smith sangat iba ketika mendengar suara Jonathan, dia seperti orang yang sedang dalam kondisi berduka. “Tunggu aku kawan, aku segera kesana.”
Smith datang dengan mobilnya, dia melihat-lihat ke area dalam mini market. Jonathan melambaikan tangannya, Smith menghampirinya dengan wajah sumringah dengan maksud meledek temannya yang dia kira ditolak mentah-mentah oleh Marissa. Smith melihat beberapa botol minuman alcohol berserakan di meja kecil ini.
“Hei kawan, apa yang terjadi?” tanya Smith, “lihat kondisimu ini, sungguh mengenaskan!”
“Marissa…dia…sungguh jalang!” ucapnya dalam kondisi mabuk, “Aku sudah berkorban banyak tuk hari ini, sampai uang tabunganku habis untuk menyewa mobil mewah sial itu!”
“Wow…kamu sangat mabuk kawan, sangat bijak sekali meneleponku di saat begini,” Smith memapah Jonathan menuju mobilnya karena untuk berjalan saja Jonathan sangat kesusahan.
Dalam perjalanan pulang Jonathan masih terus mengoceh tidak karuan, Smith hanya bisa tertawa saja melihat temannya yang berperilaku berbeda dari biasanya. Jonathan dikenal sebagai pribadi yang tenang dan jarang sekali mabuk parah seperti ini. Ketika sampai Smith kembali memapahnya menuju rumahnya, ibunya kaget melihat kondisi anaknya yang seperti ini.
“Nyonya, Jonathan hanya kebanyakan minum. Besok dia sudah kembali lagi.”
“Terima kasih anak muda,” ibunya menuntun anaknya masuk sedangkan Smith pergi dari rumah Jonathan.
Suara getaran ponsel membuat Jonathan terbangun, dia melihat dirinya berada di tempat tidurnya dengan mengenakan baju yang sama kemarin malam. Kepalanya masih pusing, dia melihat ponselnya. Grup chat dan beberapa telepon tidak terjawab dari Smith. Jonathan bangun lalu mencuci mukanya di kamar mandi, kejadian dia menembak Marissa kembali terbayang dalam kepalanya. Kedua tangannya bergetar, dia bingung apa yang harus dilakukannya.
Dia tidak bisa memberitahu ibunya tindakannya kemarin, dia duduk di atas kasurnya sambil berpikir. Marissa bukanlah orang biasa, dia adalah seorang model. Cepat atau lambat pasti polisi akan menuju ke rumah ini. Jonathan memakai pakaian lengkap ala kantoran, lalu memacu mobil bututnya dengan cepat. Ketika melewati hotel sudah banyak mobil polisi di sana, Jonathan menghiraukannya dan tetap melaju menuju parkiran gedung kantor.
Dia berjalan dengan cepat, orang-orang yang menyapanya dia acuhkan. Sampainya di lantai 48, teman-temannya melongo melihat Jonathan datang sangat terlambat. Namun Jonathan tetap berjalan, tujuannya bukan untuk ke meja kerjanya tetapi untuk menemui atasannya. Tanpa mengetuk dulu Jonathan masuk.
Jonathan mengeluarkan surat dari dalam jasnya, “Saya mengundurkan diri sekarang juga,” kepala divisinya tidak bisa berkata apa-apa karena Jonathan langsung keluar begitu saja.
Teman-temannya mencoba memanggilnya, dia pura-pura tidak mendengarkan lalu pergi dari lantai ini menuju parkiran. Saat dia keluar kerumunan mobil polisi masih ada, beberapa bahkan sedang mewancarai seseorang yang dari posturnya mirip dengan tuan Rico. Jonathan membawa mobilnya pelan melewati hotel, dia melihat tuan Rico memandanginya dengan tajam.
Ibunya bertanya-tanya ketika Jonathan sudah pulang lagi ke rumah di jam yang masih pagi. Jonathan memastikan bahwa dia mengambil cuti beberapa hari di mulai dari hari ini dan kepala divisinya setuju. Jonathan langsung meminta ibunya untuk berkemas karena mereka akan pergi dari kota ini untuk berlibur.
“Kenapa sangat mendadak sekali nak?”
“Bu, kemarin kencanku sangat buruk. Jadi aku ingin segera melepaskan penat dengan berlibur bersama ibu,” Ibunya Smith terharu mendengar ucapan anaknya.
Setelah selesai berkemas mereka berdua pergi menuju bandara karena Jonathan bilang bahwa liburan kali ini melintasi Negara. Di tengah perjalanan Jonathan melemparkan ponselnya.
“Hei!” ibunya melihat itu dan memarahinya.
“Ayolah Bu, siapa yang ingin liburannya diganggu dengan pekerjaan dari kantor?”
Di bandara keadaan sangat ramai meskipun sudah memasuki hari kerja, ibunya disuruh menunggu sebentar sementara Jonathan membeli tiket pergi ke suatu pulau wisata. Saat di loket pembelian dia melihat sebuah layar televisi sedang menanyangkan suatu berita. Berita yang ditayangkan adalah hilangnya seorang model majalah dewasa, ketika fotonya ditampilkan itu adalah fotonya Marissa. Rekaman cctv hotel juga diputar, dia merasa beruntung karena saat menjemputnya dirinya terhalang oleh servis valet yang kebetulan berdiri disampingnya.
Setelah membeli tiket dia memperlihatkan kepada ibunya, betapa senangnya ketika ibunya melihat tiket yang dibawa oleh anaknya. Beberapa jam menunggu akhirnya jadwal pemberangkatan mereka tiba. Pesawat terisi ramai, ibunya duduk didekat jendela. Jonathan bisa rileks untuk sementara waktu. Jonathan bahkan tertidur saat pesawat lepas landas, tidak lama kemudian ada seseorang pramugari yang menyentuh pundaknya.
“Pak…bapak…, ini makanannya,” ucap pramugari itu.
Jonathan masih setengah sadar saat menerimanya, lalu perlahan membuka matanya karena pramugarinya berjalan sambil melihatnya. Bola matanya seketika membesar ketika melihat dengan jelas pramugari yang memberinya makanan tadi, “Ma…Marissa!”
Jonathan panik, dia menjatuhkan makanan itu sontak orang disebelahnya melihatnya. Jonathan semakin kaget ketika tahu yang disebelahnya adalah Heather Gloris, anak Michael Gloris. Dia bangun dari tempat duduknya, semua orang lantas melihatnya. Badan Jonathan bergetar, orang-orang yang ada dipesawat ini adalah orang-orang yang dia kenal dan pernah dia temui. Termasuk Jerry yang duduk di kursi paling belakang. Lalu orang yang duduk didepannya berdiri, orang itu bukan lain adalah Smith. Jonathan mundur perlahan ketika semuanya ikut berdiri.
Dari area tempat pilot keluar seseorang, seseorang yang sudah tidak asing memakai seragam. Dia adalah tuan Rico, wajahnya sangat berseri-seri bahkan dia menebarkan senyumannya paling manis. Keringat bercucuran dari kepala Jonathan, belum lagi ketika pramugari yang memberinya makan tadi datang. Dia adalah Marissa, dengan seragam berwarna merah ketat dia menyapa Jonathan. “Malam yang sangat romantis, aku tidak akan lupa,” memutarkan lidahnya ke bibirnya.
Semua orang berdiri, melihatnya dengan tatapan sinis dan tersenyum lebar. Jonathan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, namun ibunya tidak ikut berdiri. Dia masih menatap keluar, Jonathan memanggil ibunya berkali-kali tetapi tidak ada respon. Kemudian pelan-pelan Jonathan memanggil ibunya lagi sambil menyentuh pundak sang ibu.
“Bu…ibu…kumohon,” ucapnya dengan penuh harap.
Ibunya menoleh seraya berkata, “Anakku Jonathan,” senyumnya sangat lebar sampai membelah kerutan yang ada diwajahnya.
Jonathan berteriak dengan keras, sementara itu pesawat melanjutkan perjalannya di udara.