The Red Dress episode 8

Chapter 8

Tuan Rico mengambil sebuah bangku, dia duduk di depan Jonathan, lampu ini masih menyoroti tempat duduk Jonathan. Dia masih menunduk, hidungnya masih belum berhenti mengeluarkan darah segar. Tuan Rico memajukan tempat duduknya, dia sudah dekat dengan Jonathan.

“Ingin kuberi suatu rahasia Jo..?” ucap tuan Rico pelan, Jonathan tidak banyak bereaksi. “sebenarnya kami ini,” pintu terbuka. Marissa masuk, pakaiannya masih belum benar. Rambutnya acak-acakan, lipstik dibibirnya juga berantakan.

“Di sini rupanya kalian, ayo keluar. Semua sudah menunggu,” selagi tuan Rico mengangkat Jonathan, Marissa merapihkan penampilannya seperti biasanya.

“Jangan takut, kami tidak ada melakukan apapun kepadamu. Lagipula Marissa hanya bisa ‘bermain’ dengan satu pria dalam sehari. Waktumu akan tiba secepatnya…,” menggiring Jonathan keluar.

Mereka berada diarea bawah, area yang sering dilalui oleh para room boy. Biasanya mereka mengambil peralatan untuk membersihkan kamar bekas pelanggan pakai. Saat keluar semua room boy berbaris rapih menempel didinding, mereka saling berhadapan dan memakai seragam berwarna merah. Pemandangan ini sangat menakutkan bagi Jonathan yang sudah membuka matanya sedikit demi sedikit. Mereka hanya melihat kedepan tanpa mengedipkan matanya.

Satu room boy di paling ujung lorong ini membukakan pintu lift untuk mereka, ketiganya masuk. Di dalam, ada seorang security. Berbeda dengan security yang membuat Jonathan pingsan, tuan Rico memintanya untuk mengantarkan mereka ke grand ballroom hotel ini. Security ini menuruti dan mereka semua naik ke lantai yang dimaksud. Dia juga memakai seragam berwarna merah.

Pintu lift terbuka, sama dengan tadi tapi kali staff hotel lain berjejer rapih dan lagi-lagi seragam yang mereka kenakan berwarna merah. Tuan Rico menggiring Jonathan lagi, di depan pintu grand ballroom ini berdiri seseorang yang sudah tidak asing yaitu sang resepsionis wanita. Dengan senyuman paling indah yang dia miliki resepsionis itu membukakan pintu grand ballroom. Saat dibuka, isinya sangat penuh dengan orang-orang. Mereka semua menghadap ke depan dan duduk dibangkunya masing-masing dengan baju merah melekat di tubuh mereka.

Paling depan ada sebuah panggung, Jonathan mencoba melihatnya namun belum apa yang dilihatnya. Saat sudah setengah jalan menuju panggung baru Jonathan dapat dengan jelas melihatnya. Matanya terbuka sangat lebar, mukanya sangat ketakutan. Di atas panggung ada sebuah tiang gantungan, di tiang gantungan ini tergantung orang-orang yang diberitakan hilang tempo hari. Kondisi mereka sangat mengenaskan, mereka dibiarkan tanpa sehelai pakaianpun yang menutupi tubuh mereka. Belum lagi tubuh korban yang sangat-sangat kurus bahkan seperti tulang yang hanya dilapisi kulit. Leher mereka digantung dan kedua tangan mereka diikat kebelakang.

Tangis Jonathan langsung pecah saat melihat temannya Jerry berada ditiang gantungan itu, kondisi tidak berbeda dengan korban-korban lain yang ada di sini.

“APA….APA YANG TELAH KALIAN LAKUKAN?!!!!” Jonathan berteriak keras di sana, lalu tuan Rico melepaskan ikatan Jonathan, dia berlari menuju ke arah Jerry. “Jerry…Jerry maafkan aku,” berlutut dihadapan mayat temannya. Emosinya meluap tak bisa dibendung lagi, Jonathan langsung menyergap tuan Rico dan langsung mencekik lehernya. Tuan Rico tidak melawan, Marissa juga yang melihatnya hanya diam.

“Ha..haha…hahaha,” tuan Rico malah tertawa, tidak lama kemudian semua yang hadir di ballroom itu ikut tertawa. Semakin lama tertawa mereka semakin keras.

Jonathan menguatkan cekikannya, namun tidak efek sama sekali. Tuan Rico masih saja tertawa, “Ada apa?! Kenapa kamu tidak mati hah?!”
“Semuanya! Lihatlah orang ini, begitu menyedihkan!” Marissa tersenyum.

Jonathan melepaskan tangannya dari leher tuan Rico, dia berdiri lalu melihat orang-orang didepannya yang sedang menertawakannya. Tempat itu diisi oleh orang-orang yang kenal dengan Jonathan atau orang yang pernah Jonathan lihat, seperti rekanannya di kantor, orang di kantor stasiun tv tempat orang hilang diberitakan bahkan anak dari Michael Gloris juga ada di sini.

“Smith?…,” Smith beserta rekan kerjanya di kantor, “apa…apaan ini,” memegangi kedua kepalanya lalu menghampiri Smith. “Smith!..hoi Smith!” mengoyang-goyangkan pundak Smith namun responnya hanya tertawa saja, begitu juga dengan rekannya yang lain.

Tempat ini diisi oleh orang-orang yang kenal dengan Jonathan atau orang yang pernah Jonathan lihat, seperti rekanannya di kantor, orang di kantor stasiun tv tempat orang hilang diberitakan bahkan anak dari Michael Gloris juga ada di sini. Dia melihatnya duduk dibarisan paling depan, “Heather? Hei itu ayahmu…,” menunjuk ke arah mayat Michael Gloris respon Heather juga hanya tertawa. “Kalian! Apa yang telah kalian lakukan kepada orang-orang ini?!” melepaskan amarah kepada tuan Rico dan Marissa.

Menggelengkan kepalanya, “Kami tidak melakukan apa-apa, bukan begitu Marissa?” memegang tangannnya lalu mengecupnya dengan lembut.

“Kamu yang melakukannya Jo, jika kamu tidak mengusik kami mereka tidak akan menjadi seperti ini,” ucap Marissa.

Tuan Rico mengangkat satu tangannya, ruangan itu mendadak hening. “Benar Jo, harusnya kamu memberikan kami sedikit privasi,” mulai menepuk tangannya. “salahmu!…salahmu!…salahmu!,” yang lain mengikutinya. Suaranya sangat keras hingga membuat Jonathan tak tahan lagi.

“CUKUP!” kemudian berlari meninggal ruangan itu di saat seiisi ruangan masih berteriak.

Dia membanting pintunya, sontak para staff yang ada di luar langsung memandanginya. Dia menerobos staff yang sedang berjejer rapih, menuju pintu lift satunya yang tidak ada seorang yang menjaganya. Dalam keadaan panik dia menekan tombol lift, pintu terbuka dan dia masuk. Lalu dia menekan tombol menuju lobby. Dia tertunduk lemas, tidak menyangka kenapa semua ini bisa terjadi. Lift terbuka lagi, dia keluar dan langsung berlari. Langkahnya terhenti ketika melihat tamu-tamu yang berada di sini memakai baju berwarna merah.

Orang-orang itu hanya memandanginya, dengan tatapan kosong. Jonathan melihat pintu keluar, dia berlari dan langsung saja keluar dari hotel. Hari sudah gelap, dia mencari mobilnya Jerry. Ternyata posisinya masih sama seperti tadi. Jalanan sangat sepi lalu dia menghampiri mobil Jerry, pintunya terkunci. Dia memutuskan untuk berlari menjauhi hotel tersebut sampai sekiranya keadaan dirinya aman. Dia kembali menangis, benar-benar putus asa atas apa yang terjadi.

“Hei!..Jo! Jonathan! Bangun!” dia mendengar suara, namun entah dari mana suara itu berasal. Tiba-tiba cahaya bulan sangat terang membuatnya tidak bisa melihat. “Jo!…Hei!…,” terdengar lagi suara itu samar-samar. Penglihatan Jonathan yang tadinya menghitam pelan-pelan berubah, perlahan dia bisa melihat sekarang.

“Je…jerry?” ucapnya patah-patah. “kamu masih hidup?”

“Bicara apa kamu Jo, jelas aku masih hidup! Sekarang bantu aku lepaskan ikatan ini cepat!”

Jonathan membuka matanya, dia terikat di sebuah kursi lalu melihat Jerry, yang keadaannya tidak jauh berbeda dengannya.


The Red Dress

The Red Dress

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2017 Native Language: Indonesia
The Red Dress adalah serial bertemakan horror yang merupakan lanjutan dari serial Sisters List.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset