Rumah Sherly hampir sebesar istana, ia memiliki halaman dan kebun yang sangat luas, pagar membentengi hampir setengah tinggi rumahnya, tiang-tiang penyangga besar, tidak jauh berbeda dengan rumah-rumah kerajaan di negeri dongeng, Inggrit sudah sering melihat rumahnya, ketika mengantarnya bersama kakaknya belum lama ini, atau ketika ia sedang berbagi taksi, tetapi belum pernah masuk walau sekali, ia memanggil satpam yang sepertinya sedang tidur, satpam itu terkejut ia jatuh dari tempat duduknya mungkin ia berpikir majikannya, ternyata bukan, ia menghela nafas lega lalu menghampiri Inggrit.
“ada yang bisa di bantu non?”, ia bertanya sopan,
“Sherly ada pak?”, jawab Inggrit. “oh non Sherly..
…
“Ke Bali? Sendiri?”, Inggrit terkejut.
“ya begitu non, dia selalu sendiri kalau sedang liburan, kan dia jomlo non” bisiknya mengejek,
“bapak tahu di mana ia biasa menginap?”…
“di mana ya..?”
..
Inggrit menyodorkan uang seratus ribuan. Mata si satpam berubah menjadi hijau, menyeringai lebar dan langsung menyambar uang di tangan Inggrit.
“Di Dinasty hotel non, daerah, kut.. Kutai, apa ya?”, ia mengingat-ingat,
“Oooohh, Kuta!”, teriak Inggrit, “yaaaa, itu, itu, betul non”
…
Bandara Soekarno Hatta, pagi itu sudah mulai ramai, mengingat waktu menunjukkan jam 09.00 pagi sudah hampir siang, Riza baru saja sampai, Inggrit mengantarnya, ia tidak ikut ke Bali karena ia tak mau merusak pertemuannya nanti, Riza berencana untuk menemui Sherly di Bali setelah ia tahu bahwa Sherly berada di sana.
“hati-hati ya kak”, Inggrit memeluknya manja,
“kalau urusannya sudah selesai cepat pulang, aku takut sendirian di apartemen”, tambahnya, bibirnya merajut, terlihat sedih.
Riza memegang wajah adiknya, “ya, kamu baik-baik ya, jangan sampai ada pacarmu itu di rumah, kalau sampai itu terjadi kalian berdua akanku bunuh, jelas?”, bisiknya mengancam, lalu tersenyum lembut,
“iyaaaa, itu tak akan terjadi, kakak tenang saja!”, jawab Inggrit manja,
lalu mencium pipi dan kening kakaknya. Riza pun pergi…
…
Suasana di pulau dewata memang menakjubkan, baru saja Riza menginjak bandara I Gusti Ngurah Rai Bali, ia sudah di suguhkan dengan keindahan khas pulau dewata, bangunan dan ukiran-ukiran batu di setiap sudut bandara, alunan musik tradisional khas bali dan orang-orang Bali yang memakai pakaian adat, banyak turis berdatangan dari berbagai negara.
Ini sudah yang ke sekian kalinya Riza mengunjungi pulau dewata, untuk urusan bisnis ataupun sekedar berlibur.
“pak Anton!!”, suara pria memanggil melambaikan tangan
“ya, pak Made”, jawab Riza. Orang itu kemudian mendekati Riza. Made adalah teman baik Riza dulu, sekaligus rekan bisnisnya, Made adalah pengrajin ukiran kayu jati, dan kolektor barangan antik, Dialah orang yang mendekor AA kafe hingga menjadi kafe yang sejuk namun eksotis.
Ia datang untuk menjemput Riza, karena Riza tidak tahu dan tidak pernah menginap di Dinasty hotel sebelumnya, mereka berdua bercanda sebentar lalu menuju parkiran bandara, dan langsung menuju hotel,
“aku bawakan oleh-oleh untuk pak Made”, ucap Riza sambil menunjukkan arloji mewah,
“wahhh. Merepotkan saja nih, pasti mahal ini pak Anton”, ucapnya dengan logat Bali,
“enggak ini Cuma sepuluh ribu pak”, jawab Riza asal-asalan.
“sepuluh ribu jam plastik mainan anak saya itu pak!”, tambah Made. Mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
Setiba mereka di hotel, Riza langsung memesan kamar yang bersebelahan dengan kamar Sherly, ia telah mendapatkan informasi dari Made, yang lebih dulu menyelidikinya.
Riza berpisah dengan Made dan langsung menuju kamarnya karena terlalu lelah, ia melihat sekeliling hotel, ia di suguhkan suasana tropis modern masih dengan ukiran-ukiran batu, dengan taman luas yang membentang tepat di depan kamarnya, kolam angsa dengan jembatan mungil, dan kursi taman yang serasi dengan bebatuan sungai di tepi-tepi kolam.
Ia membuka pintu kamarnya dengan hati-hati, ia tak mau Sherly tahu secepat ini, begitu pintu terbuka secepat kilat ia masuk kamar, ia melihat-lihat ruangannya, interiornya persis dengan apartemennya, ia penasaran pada pintu kaca yang membentang luas di depannya, ia membuka kordennya.. Kolam angsa yang tadi ia lihat tepat berada di depan kamarnya. Tiba-tiba..
Sherly melintas…
Ia langsung mundur menyudut dibalik korden
KLEK..
Suara kamar sebelah menutup pintu, baru saja masuk. Mengapa Riza sangat ketakutan, ia seperti penjahat yang melihat polisi datang, jantungnya berdegup, ia sepertinya tak yakin dengan yang dilakukannya bahkan ia belum menyusun kata untuk berbicara dengan Sherly, jika saja waktu dapat berputar kembali, ia lebih memilih, tak memeluk wanita itu.
Sherly merebahkan tubuhnya di tempat tidur ia baru saja makan siang, membeli beberapa camilan dan minuman alkohol ringan, pikirannya melayang jauh tak bertepi, masih saja di bayang-bayangi kejadian itu, sulit melupakan hal yang bahkan ia tak mau mengingat, tapi semakin ia menghindari bayangan kejadian itu malah semakin mendekat dan terus berputar di pikirannya.
Berlibur pun tak ada gunanya, selama dua minggu ini ia bahkan tak pernah tertidur pulas, baginya ini adalah liburan terhambar dalam Sejarah hidupnya.
Ia bangkit duduk dan membuka minuman pertamanya hari ini…
…
Setelah menghabiskan empat botol, kemudian ia terlelap tidur.
…
“kakak sudah bertemu dengannya?”, tanya Inggrit lewat telepon,
“sudah”, jawab Riza singkat,
“lalu?”, tanyanya lagi,
“kakak gak yakin, melihatnya saja nyawaku seakan lepas!”, jawab Riza lesu,
“hey.. Jadilah pria sejati, dia menyukaimu kenapa kau harus takut kak, temui dan bicara padanya!”,
Inggrit memaksa,
“kakak di mana, berisik banget?”, tambahnya, “aku di jalan Legian, nongkrong di kafe, sekaligus cuci mata lihat-lihat cewek bule seksi”, jawab Riza terkekeh,
“dasar mesum gila! Cepat kembali ke hotel, ini sudah hampir tengah malam”, pintanya perhatian,
“yaaa.. Bawel! udah dulu ya..”, Riza mengakhiri panggilannya.