sosok legam besar itu muncul begitu saja, dan tersenyum lembut memandangi bocah itu.
“apa aku sudah mati kek?”, maksudnya mau bertanya, namun itu hanya keluar dari hatinya saja, bahkan ia tak merasakan pita suaranya bergetar saat mengucapkan itu.
“tentu saja belum, kau hanya koma, tergantung keteguhan hatimu, dan keberuntunganmu”, ujar kakek itu,
Riza terkejut sepertinya kata – kata tadi tidak terucap dari bibirnya. Jadi dia bisa membaca pikiran ku? Bathinnya bergulat hebat.
“jadi, ini dimana?”, tanya bocah itu makin penasaran,
“kau berada di alam bawah sadarmu, hanya orang-orang tulus yang ingin mengubah hidupnya, untuk bisa ada di sini dan menemui aku”, ucapnya,
“kau mempunyai hati yang tulus Riza”.
**
Riza terbangun dari tidurnya, lagi-lagi ia terbangun di tempat asing, rasanya ia baru saja terbangun di padang rumput, dengan kakek tua yang penuh misteri. Dan kali ini mungkin lebih baik, karena ia terbangun di sebuah ruangan apartemen mewah tapi tentu saja bukan kamarnya, keadaan kamar yang sangat mencolok dengan furniture modern dan mewah, lantai granit lapis kayu, semua pintu di desain sliding dengan jendela yang di hiasi korden kualitas tinggi, kasur yang empuk sepertinya di tempah, dan edisi terbatas karena ukurannya lebih besar dari king size, di depan kasur membentang televisi enam puluh dua inci dengan layar melengkung ke dalam, tetapi kalau boleh memilih Riza lebih menginginkan ia terbangun di kamarnya sendiri. ia terkejut merasakan ada yang melingkar di jari manis kanannya, ia memandangi cincin emas mewah yang bukan miliknya, ia memiringkan kepala heran, yang lebih mengejutkan lagi, ia melihat jari-jarinya membesar lalu membolak-balikan telapak tangannya seakan tak percaya, mengucek-ngucek kedua matanya dan memandangi tangannya lagi dan mulai yakin itu bukan tangannya, iya beranjak turun dari tempat tidur menuju kamar mandi, yang pertama di tujunya adalah cermin,
“oh tuhan!!”, ia Cumiik,
sesosok tubuh tinggi sekitar seratus delapan puluh Cm, dengan kulit putih cerah, wajah tampan memukau, bola mata cokelat, tatanan rambut rapih. ia menampar-nampar wajahnya sendiri memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi atau berkhayal, ia kemudian mencari cermin lainnya untuk memastikan, namun hasilnya tetap sama, ia tak tahu lagi harus bagaimana, mengekspresikan antara bahagia atau sedih.
**
“halo sayang, pagi-pagi gini dah telfon, kangen ya?”, Riza mengangkat ponselnya mengolok Shrely.
“sayang? Sejak kapan aku menerima manusia yang menyerupai kadal sepertimu?”, pekik sherly kesal.
“hahaha.. galak banget non, ada apa kuntilanak beranak? Perlu sisir baru?”, tanya Riza lagi-lagi kurang sopan.
“enggak lucu!! Aku nyontek PR mu ya, aku benar-benar lelah kemarin enggak sempat mengerjakan PR”, pinta Sherly
“traktir jajan di kantin ya”, ujarnya memeras.
“ya, tanpa PR yang kuminta pun, aku yang selalu membayari jajan mu di kantin!!”, jawabnya semakin kesal.
Riza hanya tertawa, kemudian mereka mengakhiri telefonnya.
Riza berjalan sekitar lima ratus meter untuk naik angkot, menuju ke sekolahnya, ia adalah anak dari ibu yang telah bercerai, ia anak semata wayang, hidupnya sederhana namun ia anak yang sangat pintar di sekolahnya, ia merupakan juara umum se indoensia, sifatnya lucu, jail, namun baik hati, ia berparawakan sedang, kulit hitam, wajahnya cukup manis, dan terlihat formal, karena seragamnya selalu rapih dengan memasukan bajunya kedalam celana sekolahnya, banyak gadis yang menyukainya karena keenceran otaknya.
Namun ia hanya menyukai satu gadis yaitu Sherly yang merupakan sahabatnya sendiri, namun alasan persahabatan Riza enggan menyatakan cintanya.