Riza menghabiskan wine di gelas ketiganya, dan memesan lagi.
Ternyata Sherly berada tidak jauh dari kafe tempat Riza menikmati wine, Sherly berada di klub yang sangat ramai pengunjung, di tempat itu di ramaikan Dj artis dari Australia, semua Clubers menikmati dan menari-nari sedangkan Sherly hanya merasa sendiri di tempat seramai itu, hanya mengangguk-anggukan kepalanya, sambil memejamkan mata, karena hari ini ia terlalu banyak minum, tanpa ia sadari Riza berdiri di belakangnya selama kurang lebih sepuluh menit yang lalu, Made menginformasikan padanya.
Mereka berdua mabuk serta lelah dengan kesunyian dan hanya mereka yang rasakan.
Sherly masih membelakangi Riza, tubuhnya seakan bergerak sendiri mengikuti alunan musik, ia tak menyadari tubuhnya semakin miring, lebih miring lagi.
Hampir terjatuh dari bangku tinggi yang ia duduki..
Dan…
Riza dengan sigap menangkap dari belakang, menegakkan, dan memeluk Sherly.
“aku tak akan membiarkanmu terjatuh lagi, kalau kamu mau jatuhlah kepadaku”, bisiknya di telinga Sherly,
Sherly mencium aroma tubuh yang tak asing, ia tahu itu Riza, ia meletakan tangannya di pipi Riza.
“jangan lepaskan pelukanmu Za..”, ia berucap lembut.
Riza tercengang, baru saja Sherly memanggilnya
“Za”
entah karena ia mabuk atau karena ia merasakan kehadiran Riza di tubuh Anton.
“aku kangen kamu.. Lelaki lain semuanya JAHAT!”, pekiknya.
Lalu berbalik memeluk Riza,
“kamu juga jahat!! Kamu tidak ada tapi selalu ada, kamu ini sebenarnya di mana Riza!!!”, tambahnya, dan menangis di pelukan Riza.
“aku.. A.. Aku kangen kamu yang nyata, aku.. KANGEN!!!!”, pekiknya dalam tangisan.
Riza hanya membatu, ia tak tahu harus berkata apa, hanya bisa menenangkan lewat bahasa tubuh yaitu sebuah pelukan tulus, dan ia mulai membelai rambutnya, mereka berdua tak peduli dengan kebisingan musik klub yang menggetarkan seluruh ruangan, mereka bagai sepasang merpati yang saling berkejar-kejaran di antara gerombolan serigala malam.
Mereka berdua kembali ke hotel, kali ini Riza berencana menginap di kamar Sherly karena khawatir, sejak di taksi tadi Sherly sudah muntah-muntah sebanyak dua kali, sampai kamar hotel pun yang ia tuju adalah wastafel.
Riza kemudian membaringkannya, lalu ia berniat menggantikan pakaiannya karena sekujur tubuhnya di basahi keringat, namun ia adalah pria sejati bagaimana mungkin ia mengganti pakaian Sherly, pikirannya mulai kotor, ia membayangkan tubuh Sherly, ia beranjak mundur duduk di sofa yang menghadap tempat tidur, lalu ia memandangi pakaian yang dikenakan Sherly terlalu minim, kemudian pikirannya kotor lagi.
“ARRRRRGGGHHHH”, ia berteriak gusar.
Ia mendekati Sherly dan menutupnya dengan selimut, Sherly memegang tangan Riza ketika ia mau melangkah mundur, dan menarik Riza sekuat tenaganya hingga Riza terhempas ke pelukannya, dan melingkarkan tangannya ke leher Riza, wajah mereka berdekatan hanya berjarak tiga jari antar satu hidung dengan yang lain, Riza memejamkan paksa matanya, ia bertumpu pada sikunya, lalu perlahan membuka matanya,
tanpa ia sadari Sherly sudah memandanginya..
Mata mereka bertemu..
“jangan pergi Riza, kumohon..”, ucap Sherly lembut
Ia menarik Riza lebih dekat.. Lebih dekat lagi..
Riza tak bisa menahan lagi..
Pelukan Sherly melemah, ia tertidur, entah Riza harus bergembira atau bersedih.
Hampir saja ia kehilangan lagi dirinya.
Bzzz… Bzzzz getar ponsel Riza di sakunya.
Inggrit meneleponnya, ia mengabarkan berita buruk, yang menyebabkan Riza harus segera pulang, ia bergegas ke kamarnya untuk bersiap membereskan barang-barangnya dan secepatnya pergi, ia mampir sebentar ke kamar Sherly dan menuliskan sesuatu.
…
Setibanya di Jakarta ia langsung menghubungi orang-orangnya, tidak ada satu pun yang mengangkat teleponnya.
Ia mulai khawatir dengan Inggrit.
Ia menyerobot ke taksi yang ada di depannya, langsung menuju kota bandung, Riza menyuruh sopir taksi untuk menambah kecepatannya.
Setibanya di apartemen, ia melihat Inggrit di lobi apartemen, ia duduk di sofa apartemen dengan koper-koper besar seperti orang yang akan berpindah rumah, ia melihat Riza dan langsung berlari ke pelukannya.
“kau tak perlu khawatir, aku telah mempersiapkan segalanya”, ucap Riza menenangkan adiknya.
Benar saja Luna menarik semua kekayaan Riza sampai ke yang paling dasar, namun Riza sudah jauh-jauh hari mengetahui kalau
Anton memang bukan yang tertinggi, ia hanya mengelola bisnis dari Luna, mengetahui itu.
Riza akhirnya mulai menabung dan mendepositokan sebagian tabungannya serta membeli rumah sederhana di pinggiran kota, dan mereka berdua pergi menuju rumah itu.