Seluruh tabungan Riza hampir habis untuk membangun kafenya, ia meremas-remas rambut dengan kedua tangannya di depan laptop yang selalu setia menemani untuk berpusing-pusing ria menghadapi semua pekerjaannya.
“aku akan selesai jika kafe ini sepi pengunjung,” gumamnya.
“Apa aku harus menghubungi Merry untuk bergabung. Berapa aku harus menggajinya?” Riza berpikir untuk mengajak Merry bergabung, karena semua usahanya dulu maju karena buah tangan, dan kegeniusan Merry,
“ah sudahlah.” Riza berpikir itu tidak mudah, ia mungkin harus berurusan lagi dengan Luna nantinya, akan semakin rumit akhirnya.
Hari itu sangat sejuk di kota Bandung, beberapa hari ini hujan terus menghampiri kota kembang tersebut.
Riza baru saja bangun dari tidurnya, itu lebih siang dari biasanya
“Grit..!! Tolong buatkan aku kopi!,” pekiknya, di depan kamar Inggrit, namun tak ada jawaban, Riza mengetok lembut memanggil-manggil adiknya.
Akhirnya pintu di bukakan.
“Sherly!???” Riza hampir terpental di buatnya, ternyata Sherly menginap semalam di rumahnya.
“mana Inggrit?” tanya Riza gugup,
“dia kuliah pagi”, jawab Sherly cuek, sambil menguap,
“kamu tadi mau apa? Kopi? Aku akan buatkan,” tanya Sherly,
“ti.. Tidak.. A.. Aku..” belum menuntaskan kalimat Sherly kembali masuk ke kamar Inggrit untuk cuci muka.
“kamu tunggu di teras aja,” teriaknya dari dalam kamar,
“O.. Oke, maaf merepotkan,” Sherly tak menjawab.
Di teras rumah Riza suasananya lebih sejuk. Embun di tiap ujung daun dan rumput, serta gemercik air menetes sisa hujan semalam.
“ini kopimu,” Ucap Sherly datar.
“Terima kasih, Sher,”
Lalu Sherly duduk menyilangkan kakinya di kursi teras sebelah Riza, ia meminum kopi susu.
pagi-pagi Riza beruntung si suguhi pemandangan indah d sampingnya, Sherly hanya menggunakan baju kaus panjang, tanpa celana, hanya menggunakan short di dalamnya.
“apa benar semua yang di ceritakan Inggrit,” tanyanya singkat penuh arti.
“kebenaran tentang apa?” jawab Riza balik menanyakan
“semuanya! Bahwa kamu adalah kakak kandung Inggrit dan kekayaanmu di tarik semua oleh Luna?”, tanya Sherly lagi.
Riza menghela nafas panjang, ia lega bahwa Inggrit belum menceritakan jati dirinya kepada Sherly.
Karena ia merasa belum waktunya, ia harus menata ulang semua sampai semuanya berjalan dengan baik.
“ya benar,” jawab Riza singkat, “aku sedang membangun kafe ku sendiri.. Jadi..”
“aku tahu!” potong Sherly.
“Inggrit menceritakannya padaku, kapan mulai opening? Aku akan menjadi pengunjung pertamamu,” tambahnya tersenyum lembut,
“kamu akan kuberi diskon untuk jus anehmu itu,” balas Riza tertawa kecil,
“itu minuman kesehatan, bagus untuk tubuhku,” lanjut Sherly,
“tubuhmu sudah bagus tanpa meminum jus aneh itu,” lanjut Riza, melihat ke arah tubuh Sherly,
“hei! Kemana arah matamu, dasar mesum!” pekiknya tertawa,
“loh, salahkan tubuhmu, kenapa mataku yang..” elak Riza,
“aku bersumpah akan menyirammu dengan kopi, jika kau terus memandangiku!” potong Sherly, lalu mereka berdua tertawa dan hanyut dalam perbincangan hangat.
“ayo ke kafemu, aku mau lihat dekorasinya apa bisa menyaingi AA kafe,” ajak Sherly.
“oke.. Sepertinya tak akan menyaingi AA kafe, tapi setidaknya mereka kehilangan satu pelanggan cantiknya di sana,”
“apa maksudmu, semua gadis yang datang ke sana cantik-cantik, hanya saja tidak lebih cantik dariku,” Sherly melantur,
“aku setuju.. “ ujar Riza terkekeh.
Mereka berdua lalu pergi menggunakan mobil Sherly, Riza sangat senang mengemudikannya di dalamnya harum parfum khas Sherly.
“kamu akan membunuh kita berdua, jika kamu memejamkan mata pada saat menyetir,” protes Sherly.
Riza hanya tersenyum, ia membayangkan jika menikahi Sherly, mereka akan bepergian untuk berlibur berdua, mengendarai mobil bersama, tertawa riang bersama, menginap di sebuah vila dan..
“hey, apa yang kamu pikirkan!?” pekik Sherly mengerutkan keningnya. Riza tak menyadari tampang aneh keluar di wajahnya.
..
“Wow! Kafenya bagus!!” kata Sherly sesampainya mereka di kafe milik Riza.
Ia meregangkan badannya seperti orang baru bangun tidur, lalu ia berlari kecil menuju sudut ruangan yang mengarah langsung ke panorama pegunungan, ia berdiri di ujung balkon yang hanya di batasi pagar.
“ini keren!” pekiknya, ia memejamkan mata, untuk merasakan sejuknya suasana pagi itu. Riza hanya tersenyum memandanginya, ia duduk menopang dagu di kursinya.
“suatu saat kaulah yang mengelola kafe ini, bersamaku..” gumamnya
sambil terus memandangi Sherly.
Lalu Sherly berhambur duduk di sebelah Riza, matanya berbinar memandang Riza serius, ada maksud dan tujuan di matanya.
“apa?” tanya Riza, Sherly wajahnya berseri-seri semakin mendekati wajah Riza.
“aku akan membantumu mengelola kafe ini,” katanya pelan,
“apa!??” Riza tercengang, berdehem serius “boleh saja, tapi.. “ belum sempat menuntaskan kalimatnya,
“anggap saja aku sedang pelatihan untuk bahan skripsiku nanti, tak usah memikirkan berapa kamu akan menggajiku!” potongnya, sepertinya Sherly bisa membaca pikiran Riza.
Riza mengangguk ragu. “ya kita coba saja, aku memang sedang mencari Manajer untuk mengelola tempat ini,” jelas Riza, yang memang sebetulnya ia sedang membutuhkan orang untuk mengelola kafenya, ya, orang tegas dan pintar seperti Merry, namun ia percaya bahwa Sherly juga bisa, dan lagi pula ia tak perlu menggajinya.
Raut wajah Sherly seperti sedang memikirkan sesuatu, dan ia tersenyum senyum sendiri, mungkin ia memikirkan bagaimana jika ia mengelola kafe, ia akan mengatur semua ini dan itu.
Beberapa hari lagi kafe akan grand opening, Riza harus memikirkan siasat untuk menarik pengujung memperkenalkan kafenya.
…
“kau serius kak?” tanya Inggrit pada kakaknya di teras rumahnya,
“ya begitulah, dia benar-benar menginginkannya, lagi pula tak ada salahnya kan?” jawab Riza, Inggrit terdiam sejenak,
“dia pasti bisa sih, dia sangat pintar, kakak hanya perlu mengajarinya sedikit,” jawab Inggrit yakin, “dan kakak juga sekaligus Pendekatan lagi dengannya!” ujarnya senang, keduanya tertawa kecil.
“aku akan bernyanyi di kafemu, yei..” tambah Inggrit,
“itu ide yang bagus,” jawab Riza tersenyum lembut.