Ibu
Wanita paruh baya itu terus memandangi tiap sudut rumah, ia memejamkan matanya, mengingat semua kenangan indah bersama anaknya Riza. Di kamar Riza keadaan terasa hampa, kosong, sepi, tanpa senyuman, dan keluh kesah Riza. Wanita yang merupakan ibu dari Riza itu terus menatap meja belajar di mana setiap saat Riza duduk dan bergelut dengan pelajarannya, meja belajarnya itu sekarang terasa redup tanpa kehadiran pemiliknya. Riza sangat menyayangi ibunya, di meja belajar hanya ada foto Riza saat berumur dua tahun bersama ibunya, ia memasukkan foto itu ke dalam tas, dengan perlahan ia menutup pintu kamar Riza dengan perlahan sambil terus memandangi hingga pintu akhirnya tertutup rapat.
Bzzz.. Bzzz, ponselnya berdering, adiknya yang merupakan paman Riza menelepon dari Samarinda
“hallo kak, jam berapa nanti aku jemput?”, tanyanya
“aku akan mengabarimu setibanya di sana”, jawab ibu Riza
“oke kak, hati-hati.”
TUT.
Ibu Riza memutuskan pindah ke Samarinda bersama keluarganya besarnya, ia menjual rumah dan mobilnya untuk modal usaha di sana. Ia adalah seorang ibu yang mandiri, walaupun hidupnya pas-pasan ia tak pernah minta bantuan dari keluarganya. Ia benar-benar sudah tidak sanggup untuk tinggal di rumahnya lagi, terlalu banyak kenangan bersama anaknya, hampir di setiap sudut rumah.
Ia memandang keluar jendela taksi yang dinaikinya.
“pak tolong lewat taman kota.” Ucapnya
“umm.. Baik Bu ”, jawab si sopir taksi
Mereka melewati taman kota di mana Riza kecil sering meminta jatah seminggu sekali untuk datang ke tempat ini, jika tidak di turuti Riza akan merajuk tidak mau makan seharian, di sana terlihat banyak permainan, Riza sangat senang main di tempat itu.
“apa kita perlu berhenti, Bu?”
“tidak, Pak, kita langsung menuju bandara”
“Baik, Bu.”
…
Setelah sampai di bandara ibu Riza terlihat berbincang dengan seorang pria seumur-Nya.
“aku hanya ingin sekali saja melihatnya! Dia anakku juga!”, pekik ibu Riza memaksa.
“sepertinya itu tak perlu”, jawab pria itu dingin.
“dengan syarat yang telah disetujui, aku akan mengizinkan”, tambahnya
“baiklah, terserah kau saja!”, ucap ibu Riza.
Kemudian pria itu pergi, dan kembali lagi dengan gadis berkulit sawo matang, mungil dan manis. Gadis itu memiringkan kepalanya, memandangi ibu Riza.
“siapa ibu ini, Ayah?”, tanya gadis manis itu.
“ia teman sekolahku dulu, aku ingin mengenalkan ia padamu,” jawab pria itu.
“ohh.. Hai, aku Zeera!” sapa gadis itu, sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
Ibu Riza hanya tersenyum, tubuhnya seperti tergerak sendiri, langsung memeluk gadis itu, gadis itu hanya terdiam, ia merasakan kehangatan pelukan tulus dari ibu itu, yang sebenarnya adalah ibu kandungnya.
“cukup!”, pekik ayahnya, “ayo kita pergi!”,
dengan paksa mereka pergi meninggalkan ibu, yang masih terduduk sedih di lantai, anak gadis itu terus menoleh ke belakang, ia belum pernah merasakan pelukan sehangat dan senyaman itu.
“ayah, kenapa kita meninggalkannya begitu saja?” tanya si gadis polos.
Ayahnya tak menjawab hanya memasang wajah datar, dan bergegas pergi.
…
“berpindah Rumah!?”, tanya Riza yang bertubuh Anton.
“ya, rumahnya di jual kepada kepala desa di kampung sebelah,” jawab pria yang merupakan tetangganya dulu.
“bapak, benar-benar tidak tahu ia berpindah ke mana?”, tanya Riza lagi.
“ummm.. Saya hanya tahu ia ke luar kota, tapi saya tidak tahu tepatnya di mana.”
…
Suasana berkabung di sekolah Riza masih terasa, walaupun sudah satu minggu berlalu. Sherly memandangi bangku tempat Riza duduk, ia masih merasakan Riza ada di situ sedang menjulurkan lidah mengejek Sherly, Sherly kemudian duduk di bangku itu, menyentuh dan memandangi tiap sudut bangkunya
“love miss tomato strawberry,” gumamnya, membaca tulisan yang ada di sudut bangku. Sherly tersenyum, dan matanya mulai berkaca-kaca. Deki memperhatikannya dari bangku lain.
“kau ingat yang kau lakukan sebelum Riza meninggal?”, ejek teman satu genk Deki.
“hantunya akan mendatangimu.. Hiii..!!!.” tambahnya menakuti nakuti.
“diam kau!!”, pekik Deki, lalu ia pergi keluar kelas.